Apakah makna dari rendah hati atau tawadhu menurut Islam?

Rendah hati

Rendah hati adalah suatu sikap dimana seseorang memiliki kelebihan atas kepemilikan materi, bakat atau kemampuannya namun tidak menonjolkannya di hadapan orang lain.

Rendah diri adalah seseorang yang menganggap bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apapun dan selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya.

Apakah makna dari rendah hati menurut Islam?

Yang dimaksud rendah hati atau tawadhu adalah merendahkan hati dan berlaku lemah lembut. Dan ini tidak akan mendongkrak pelakunya menjadi terpuji melainkan bila dibarengi karena mengharap wajah Allah azza wa jalla.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kalau sekiranya ada orang bersikap tawadhu agar Allah Shubhanahu wa ta’alla mengangkat derajatnya dimata orang, maka ini belum dikatakan telah merengkuh sifat tawadhu, karena maksud utama perilakunya itu didasari agar mulia dimata orang, dan sikap seperti itu menghapus tawadhu yang sebenarnya”.

Ucapan beliau didasari sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan (pasti) Allah akan mengangkat derajatnya”. HR Muslim no: 2588.

Syaikh Abdurahman as-Sa’di mengomentari maksud hadits diatas dengan mengatakan: "Sabdanya: “Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah”. Sebagai peringatan supaya memperbagusi niat, yaitu dengan didasari ikhlas karena Allah Nabi Muhammad didalam sikap tawadhunya tadi. karena banyak dijumpai, ada orang yang terkadang menampilkan sikap tawadhu dihadapan orang kaya, namun, niatnya supaya bisa mengais sedikit dari hartanya, atau terhadap pimpinan supaya bisa tercapai keinginannya.

Ada pula yang menampilkan sikap tawadhu dengan tujuan riya’ dan pamer, maka tujuan-tujuan semacam ini, semuanya rusak, tidak memberi manfaat sama sekali bagi pelakunya, kecuali rendah diri yang didorong rasa ikhlas karena Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rangka mendekatkan diri kepada -Nya dan ingin meraih ganjaran serta kemurahan -Nya kepada makhluk, sehingga ihsan terbaik serta ruhnya itu ada pada ikhlas karena Allah ta’ala".

Dan Nabi kita, Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah pionir terdepan dalam akhlak mulia yang satu ini, untuk menggambarkan tawadhunya Nabi kita lihat pada haditsnya Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Diceritakan oleh beliau:

“Ada seorang perempuan yang sedikit bermasalah otaknya berkata pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, saya ada keperluan sebentar denganmu”. Nabi menyahut: “Ya Ummu Fulan, apa kebutuhanmu, hingga aku bisa membantu urusanmu”. Maka beliau mengikutinya sedikit minggir dijalan kota Madinah, sampai perempuan tadi menyelesaikan keperluannya”. HR Muslim no: 2326.

Masih kisah yang menjelaskan tawadhunya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Anas radhiyallahu 'anhu beliau menceritakan:

“Pernah ada seorang budak yang berada dikota Madinah, menggandeng tangan Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu diajak pergi untuk membantu urusannya”. HR Bukhari no: 6072.

Bahkan lebih mengesankan lagi dari itu semua, sebuah hadits yang dibawakan oleh al-Baghawi dalam syarhu sunah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, diceritakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku makan sebagaiman makannya seorang hamba sahaya, dan aku duduk seperti duduknya seorang budak”. HR al-Baghawi 13/248. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam silsilah ash- Shahihah no: 544.

Dalam redaksi lain, dikatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai Aisyah, kalaulah sekiranya aku mau tentu ada gunung yang terbuat dari emas berjalan menemaniku. Telah datang kepadaku malaikat yang kain bagian bawahnya hampir setinggi Ka’bah. Dia mengatakan: "Sesungguhnya Rabbmu kirim salam kepadamu, dan berfirman: “Kalau engkau mau Aku jadikan seorang Nabi dan hamba, atau seorang Nabi dan malaikat”. Lalu aku berpaling kepada Jibril 'alaihi sallam, dan ia mengisyaratkan padaku supaya rendah diri. Maka aku jawab: “Aku rela menjadi Nabi dan seorang hamba…”. Hadits shahih diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam syarhu Sunah 13/348 no: 3683.

Tatkala Aisyah ditanya apakah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan pekerjaan dirumahnya? Beliau menjawab:

“Ia, beliau biasa menambal sendalnya, dan menjahit bajunya sendiri, dan melakukan pekerjaan rumah seperti halnya kalian melakukannya dirumah kalian”. Hadits shahih dikeluarkan oleh Baghawi dalam Syarhu Sunah 13/242 no: 3675.

Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bisa berdo’a:

“Ya Allah hidupkanlah hamba dalam keadaan miskin, dan wafatkanlah dalam keadaan miskin, serta bangkitkan diriku bersama orang-orang miskin kelak pada hari kiamat”. HR at-Tirmidzi no: 2352. Dinilai hasan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi 2/275 no: 1917.

Tatkala ada seorang sahabat datang kepada beliau lalu memujinya sambil mengatakan: “Duhai sebaik-baik makhluk”. Beliau justru menimpali: “Itu adalah Ibrahim 'alaihi sallam”. HR Muslim no: 2369.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Kalau seandainya aku dipenjara seperti Yusuf lamanya tatkala dipenjara, pasti aku akan tetap memenuhi tugasku ini (berdakwah)”. HR Bukhari no: 3372. Muslim no: 151.

Hal ini menunjukan bagaimana sikap tawadhunya beliau, karena beliau mendapat ujian yang tidak pernah ada seorangpun yang mendapat semisal dengannya.

Masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dibawakan sebuah hadits dari Abu Burdah, dirinya mengkisahkan: "Aisyah pernah keluar kepada kami sambil memegang baju dan jubah yang usang, lalu mengatakan: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dicabut ruhnya dalam keadaan memakai dua baju ini”. HR Bukhari no: 5818. Muslim no: 2080.

Dalam riwayat-riwayat diatas menjelaskan bahwa beliau adalah imam (pemimpinnya) orang-orang yang bertawadhu, dan ini tidak mengherankan karena tawadhu merupakan sifatnya para Nabi. Sebagaimana dijelaskan dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing”. Maka para sahabatnya bertanya: 'Tidak pula engkau wahai Rasul? Beliau menjawab: “Tidak pula aku. Dahulu aku biasa menggembala dibebukitan miliknya penduduk Makah”. HR Bukhari no: 2262.

Sehingga sangat wajar sekali bila Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya untuk bersikap tawadhu dan rendah diri. Sebagaimana haditsnya Iyadh al-Majaasyi’i radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu padaku agar kalian bersikap rendah diri, hingga tidak ada seorangpun yang merendahkan saudaranya, dan tidak berlaku lalim satu sama lain”. HR Muslim no: 2865.

Salah satu petuah yang pernah diberikan Abu Bakar kepada kita ialah: “Kami mendapatkan kemuliaan akhlak ada pada takwa, kekayaan pada keyakinan, serta keluhuran pada rendah diri”.
Dan Aisyah radhiyallahu 'anha pernah mengingatkan: “Sungguh betapa banyak orang yang lalai pada ibadah yang paling afdhal yaitu tawadhu”.

Faidah sikap rendah hati atau tawadhu:

  1. Salah satu jalan yang akan mengantarkan pada surga.

  2. Allah Shubhanhu wa ta’alla akan mengangkat kedudukan orang yang rendah hati dihati manusia. Dikenang kebaikannya oleh orang lain serta diangkat derajatnya diakhirat.

  3. Bahwa sikap tawadhu terpuji itu ditujukan pada orang-orang beriman, adapun pengumpul dunia serta orang yang sesat maka bersikap rendah hati terhadap mereka akan menjadikan kehinaan.

  4. Sifat tawadhu sebagai bukti akan keindahan akhlak serta pergaulannya.

  5. Bahwa sifat tawadhu merupakan sifatnya para Nabi dan Rasul.

Referensi

Kitab Nadhratun Na’im fii Makarimi Akhlakir Rasul Karim shalallahu 'alaihi wa sallam 4/1268.

Sikap Rendah Diri atau Tawadhu’


Pengertian Tawadhu’

Sikap Tawadhu ‟ terdiri dari dua kata yakni sikap atau yang dalam bahasa Inggris disebut attitude adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu perangsang, kemudian Tawadhu‟ secara etimologi Arab kata, Tawadhu‟ berasal dari kata yang mempunyai arti (rendah hati). Selain ada kata lain yang artinya tempat, letaknya.

Tawadhu‟ menurut terminologi adalah merendahkan hati dan santun terhadap sesama. Dengan kata lain Tawadhu ‟ merupakan sikap seseorang yang tidak melihat dirinya memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lain.

Sedangkan Tawadhu ‟ menurut ahli tasawuf, seperti yang dipapqarkan Al-Ghozali adalah mengelurkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama daripada kita . Tawadhu‟ menurut ahmad athoilah hakekat Tawadhu ‟ itu adalah sesuatu yang timbul karena melihat kebesaran Allah, dan terbukanya sifat-sifat Allah.

Tawadhu ‟ merupakan sikap rendah hati yang condong kerah positif yaitu menyangkut hal-hal mulia. Tawadhu ‟ pemimpin bukanlah selalu merendahkan diri dihadapan orang yang dipimpinnya, akan tetapi seorang pemimpin mampu untuk tidak memanfaatkan jabatan untuk tidak menindas dan melecehkan orang yang dipimpinnya. Namun dalam kenyataannya sedikit orang yang yang memiliki sikap Tawadhu‟ . Ketika orang sudah memiliki gelar yang banyak, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, atau Tawadhu ‟. Padahal seharusnya orang-orang yang disebutkan tadi hendaknya meniru ilmu padi, yaitu “kian berisi kian merunduk”

Tawadhu‟ adalah ridho jika dianggapmempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu‟ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak

Ibnu Hajar berkata “ Tawadhu‟ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya ada pula yang mengatakan bahwa Tawadhu‟ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya . Jelas dikatakan bahwa Tawadhu‟ bukanlah sikap seorang yang pesimis, merendahkan hati bukan karena kekurangan ataupun karena kesalahan seperti sabda rosul dalam hadits tersebut.

Artinya: “ amat baiklah orang yang merendahkan diri pada bukan pada karena kemiskinan. Membelanjakan harta yang dikumpulkannya bukan pada maksiat. Mengasihani orang hina dan miskin, dan bercampur bergaul dengan ahli fiqih hikmah.” (HR. Ath-Tabrani Al Bazzar dari Anas)

Seorang yang rendah hati bukan karena kekurangan atau bahkan orang rendah hati karena kelebihannya maka Allah akan mengangkat derajatnya.

Artinya:” Allah ta‟ala tidak menambahkan seseorang hamba dengan kema‟afan selain kemuliaan. Dan tiada seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan diangkat oleh Allah. ”(HR. Abu Hurairah)

Artinya: “ Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali- kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung .”(QS. Al-Israa‟: 37)

Tingkatan-Tingkatan dari Tawadhu’


Tawadhu’ kepada Allah

Tawadhu ‟ kepada Allah yaitu tunduk kepada wahyu Allah yang dibawa Rosulullah (agama) dan patuh terhadap kebenaran. Hal ini dapat dapat dilakukan dengan 3 hal :

  1. Tidak menentang perintah Allah
    Pertentangan yang biasa dilakukan adalah pertentangan dengan akal, qiyas, perasaan dan politik. Pertentangan dengan akal sebagaimana dilakukan oleh orang sombong dan ahli filsafat yang menentang nash dan wahyu dengan akal pikiran mereka merusak karena beranggapan jika akal dan nash bertentangan, mereka akan lebih mendahulukan akal dan mengabaikan nash. Pertentangan yang selanjutnya adalah dengan qiyas yang dilakukan orang sombong dari kalangan ahli fiqih yang berpendapat jika qiyas bertentangan dengan pendapat, logika, dan nash, maka akan memperdahulukan qiyas dan tidak memperdulikan nash. Kemudian pertentangan dengan perasaan dilakukan orang sombong yang menyimpang dari kalangan kaum sufi, yang berpedoman pada perasaan dan mengabaikan nash jika bertentangan. Golongan yang ke empat adalah pertentangan dengan politik yang dilakukan orang sombong yang menyimpang dari kalngan penguasa dan pemimpin yang zhalim, karena beranggapan ketika syari‟at dan kepentingan politik saling bertentangan yang lebih di utamakan adalah kepentingan politiknya.

  2. Tidak menuduh dalil agama tidak tepat atau tidak relevan.
    Jika melihat suatu dalil dari agama yang sulit dipahami tidaklah bergegas memiliki penafsiran bahwa dalil agama tersebut tidak relevan akan tetapi berpikir bahwa hal tersebut merupakan keagungannya yang tersimpan didalamnya mutiara keilmuan yang belum ditemukan.

  3. Tidak pernah berfikir untuk menyangkal nash
    Jika menurut anggapan orang menyangkal nash dengan dalil perkaan syeikhnya, gurunya, pemimpinnya,logika, akal perasaannya, dan siasat politiknya akan dimaafkan Allah itu tidak dibenarkan.

  4. Bersyukur atas nikmat Allah.

Tawadhu ’ kepada sesama mahkluk :

  • Menghormati orang lain
  • Sederhana dalam berkehidupan
  • Suka menolong
  • Patuh kepada orang tua
  • Patuh kepada guru atau dosen
  • Tawadhu ‟ dalam menuntut ilmu
  • Lemah lembut kepada sesama

Keutamaan-keutamaan Tawadhu’


  1. Tawadhu‟ dapat mengangkat derajad dan kedudukan hamba.
    Seseorang yang telah dikaruniai akal sesungguhnya memiliki kewajiban untuk senantiasa menerapkan Tawadhu‟ dan menjauhkan diri dari kesombongan. Walaupun Tawadhu‟ itu tidak bisa merubah manusia secara fisik, namun jika seseorang semakin memperbanyak ke Tawadhu‟ annya, niscaya derajadnya akan semakin tinggi. Rasulullah bersabda :

    Tidaklah berkurang harta karena sedekah, tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf, kecuali dia akan mendapatkan kemuliaan, serta tidaklah seseorang menerapkan sikap Tawadhu‟ karena Allah, kecuali Allah pasti mengangkat derajadnya . (HR. Muslim).

  2. Tawadhu ‟ menghasilkan keselamatan, mendatangkan persahabatan, menghapus penderitaan dan menghapus pertentangan. Rasulullah bersabda :

    ”Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadu‟ sehingga seseorang tidak merasa lagi sombong terhadap orang lain dan tidak berlaku aniaya kepada orang lain. (HR. Muslim)

Referensi :
  • Amaly Baihirul Herry,metode metode menghafal Al Qur‟an, ,
  • Salim Syaikh Bin „Ied al-Hilali, Hakekat Tawadhu‟ Dan Sombong Menurut Al-Qur‟an Dan As Sunah , terj Zaki Rahmawan, PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI‟I, Jakarta, 2007 cet 2,
  • Hawwa Said, Inti Sari Ihya‟ Ulumuddin ( mensucikan jiwa ) Robbani Press.
  • Al-Ghozali , Ihya ‟ ulumuddin jilid 5, terj Ismail Yakub, CV. Semarang, 1988
  • Al-Qur‟an dan Terjemahan Departemen Agama RI,Demak, Hafidz, PT. Tanjung Mas Inti Semarang, 1992,
  • Syaikh Salim Bin „Ied al-Hilali, Hakikat Tawadhu‟ Dan Sombong Menurut Al-Qur‟an Dan As-Sunah terj Zaki Rahmawan,jakarta, PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI‟I, 2007 cet 2

Makna takwil dari tawadhu’ adalah sebagai berikut :

  1. ta ت : ini huruf tambahan yang memberi pesan bahwa sesuatu ini mesti dikerjakan dengan sebuah kelemah lembutan…
  2. waw و : rendah/hina
  3. alif ا : huruf tambahan
  4. dhot ض : sesat/penuh cela/kotor
  5. ain ع : sesuatu yang tinggi

Jadi makna tawadhu’ adalah merasa diri itu rendah dan sesat (penuh cela), agar mencapai sesuatu yang tinggi (derajad, moralitas dan sebagainya)

Mursyid Syech Muhammad Zuhri