Apakah makna dari memberi nafkah kepada istri dalam kehidupan berumah tangga?

Nafkah istri adalah pemberian materi yang harus diserahkan oleh suami kepada istrinya sesuai dengan syarat-syarat yang ada. Nafkah ini biasanya mencakup pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (rumah) istri.

Apakah makna dari nafkah dalam kehidupan berumah tangga?

Nafkah secara etimologis adalah apa yang kamu belanjakan untuk keluargamu dan untuk dirimu sendiri. Anfaqa al-mal, artinya membelanjakan nafkah. Secara terminologis, memberikan nafkah berarti: mencukupi makanan, pakaian, dan tempat tinggal orang yang menjadi tanggungannya.

Syarat bagi perempuan/ istri berhak menerima belanja dari suami adalah sebagai berikut :

  1. Ikatan perkawinannya sah,
  2. Menyerahkan dirinya pada suami,
  3. Suami dapat menikmati dirinya,
  4. Tidak menolak apabila di ajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya, dan
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.

Jika dalam hal ini salah satu syarat tidak terpenuhi maka istri tidak wajib diberi belanja oleh suami. Agama mewajibkan suami membelanjakan istrinya, karena adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang istri menjadi terikat kepada suaminya dan tertahan sebagai miliknya karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat dan patuh pada suami, tinggal di rumah suami, mengatur rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Dan sebaliknya suami berkewajiban memenuhi kebutuhan istri, dan memberikan belanja kepada istri, selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak durhaka kepada suami.

Dasar Hukum Nafkah


Nafkah merupakan hak istri terhadap suami sebagai akibat setelah adanya akad nikah yang sah. Dasar hukumnya ialah: Firman Allah SWT Surat Ath-Thalaq ayat 6 dan 7 sebagai berikut:

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka…, Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (Ath-Thalaq : 6 dan 7)10

Demikian juga diatur dalam hadits Rasulullah SAW:

“Kewajiban suami terhadap istrinya ialah memberi makanan apabila makan, dan memberi pakaian apabila berpakaian. Jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkannya, serta jangan mengucilkannya dalam rumah” (Riwayat Hakim)

Maka dari ayat-ayat dan hadits diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

  1. Suami wajib memberikan kepada istri makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
  2. Suami melaksanakan kewajiban memberikan istri makanan, pakaian, dan tempat tinggal itu sesuai dengan kesanggupannya.

Kewajiban atas nafkah menurut Pasal 80 Ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  • Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
  • Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
  • Biaya pendidikan bagi anak.

Tujuan dan Prinsip-prinsip Nafkah


Dalam pernikahan jika istri hidup serumah dengan suaminya, maka suami wajib menaggung nafkahnya dan mengurus segala keperluan istri seperti : makan, pakaian, dan sebagainya, maka dalam hal ini istri tidak boleh meminta nafkah lebih dari kemampuan suaminya. Maka tujuan dari pemberian nafkah yaitu suami wajib memenuhi kebutuhan sehari-hari istrinya sesuai dengan kemampuannya.

Di dalam Al-Qur’an dan hadis tidak disebutkan kadar ataupun jumlah suami memberikan nafkah. Prinsip dasar nafkah secara umum yaitu pemberian nafkah harus sesuai dengan kebutuhan istri dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan suami memberikan nafkah. Dalam hal ini nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut dengan artian cukup untuk keperluan istri dan sesuai pula dengan penghasilan suami.

Golongan Hanafi berpendapat bahwa di dalam agama tidak menentukan jumlah nafkah. Suami memberikan nafkah kepada istri secukupnya seperti makanan, daging, sayur-mayur, buah-buahan dan segala kebutuhan yang di perlukan istri sehari-hari sesuai dengan keadaan yang umum. Standar ini berbeda dengan keadaan dan situasi setempat. Juga wajib bagi suami memberikan pakaian kepadanya. Golongan Hanafi menetapkan jumlah nafkah bagi istri ditetapkan sesuai dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan hanya melihat bagaimana istrinya. Dasar hukumnya yaitu surat Ath-Thalaq ayat 6 dan 7 diatas.

Menurut golongan Syafi’i dalam penetapan jumlah nafkah bukan di ukur dengan jumlah kebutuhan, tetapi menurut golongan ini hanya berdasarkan syara’. Walaupun golongan Syafi’i sependapat dengan golongan Hanafi, yaitu tentang memperhatikan kaya dan miskinnya keadaan si suami, bagi suami yang kaya ditetapkan kewajiban nafkah setiap hari dua mud. Sedang bagi yang miskin di tetapkan satu hari satu mud. Dan bagi yang sedang satu setengah mud. Dengan dasar hukum surat Ath-Thalaq ayat 7.

Golongan Syafi‟i mengqiaskan jumlah nafkah kepada “kaffarat”. Kaffarat terbanyak yaitu dua mud (-+ 2 X 2 ½ kilogram beras) sehari, yaitu kaffarat karena merusak atau menyakiti diwaktu mengerjakan ibadah haji. Sedangkan kaffarat terendah yaitu satu mud sehari, yaitu kaffarat zhihar. Karena itu beliau menetapkan bahwa kadar nafkah maksimal ialah dua mud sehari sedangkan nafkah minimal ialah satu mud sehari. Dalam hal ini harus di sesuaikan antara suami yang kaya dan miskin. Terhadap masing-masingnya ditentukan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an yang tidak menjelaskan jumlah nafkah tertentu.

Dalam kitab Raudhah Al- Nadiyyah, yang dikutip oleh Slamet Abidin dan H. Aminuddin, disebutkan bahwa kecukupan dalam hal makan meliputi semua yang dibutuhkan oleh istri, termasuk buah-buahan, makanan yang biasa dihidangkan dan segala jenis makanan menurut ukuran yang wajar.

Istri wajib mendapatkan tempat tinggal dan peralatannya sesuai dengan kemampuan dan keadaan suami baik kaya, miskin dan kesederhanaan atau berkecukupan suami. Jika suami yang miskin nafkah yang paling sedikit diberikannya yaitu mencapai kebutuhan makan dan lauk dengan sewajarnya dan pakaian yang sewajarnya pula. Bagi suami yang sedang-sedang saja atau pertengahan, ia wajib memberikan yang lebih dari yang miskin dengan cara yang wajar dan pakaiannya pula harus lebih dari yang miskin dan dengan cara yang wajar pula. Nafkah dan pakaian itu harus diberikan dengan cara yang wajar, untuk menjaga istri dari hal-hal yang merugikan. Karena dalam hal ini diwajibkan untuk memenuhi kebutuhannya dengan sederhana. Ini yang di sebut ma’ruf dalam agama.

Di dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas jumlah nafkah yang diberikan kepada istri. Hanya dalam Surat Ath-Thalaq ayat 6 dan 7 memberikan gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada istri menurut yang patut, artinya cukup untuk keperluan istri dan harus di sesuaikan dengan penghasilan suami.

Demikian juga terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat 228 Allah SWT berfirman :

Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak (nafkah) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…”(Al- Baqarah: 228)

Pada ayat di atas tidak memberikan ketentuan kadar nafkah, hanya kata-kata ma’ruf (pantas), berarti menurut keadaan suatu tempat dan sesuai dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.

Referensi :

  • Sayyid Sabiq, (Red) Moh. Tholib, Fikih Sunnah/Sayyid Sabiq, Bandung: Alma‟arif. 1997.
  • Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta : Attahiriyah, 1996.
  • Yahya Abdurrahman, (Red) Mujahidin Muhayan, Fikih Wanita Hamil/Yahya Abdurrahman al-Khathib, Jakarta: Qisthi Press, 2005,
  • Ahmad Tirmidzi, dkk, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar. 2013
  • Syayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadits, Bandung : CV. Sinar Baru Bandung. 1993.