Apakah laki-laki sering mengalami Toxic Masculinity? apakah dampaknya terhadap mental?

Sejak kecil, banyak anak laki-laki yang diajarkan untuk menjadi pria yang tangguh dan kuat. Mereka kemudian memandang aktivitas “rumahan” seperti memasak dan menyapu hanya patut dilakukan perempuan. Anggapan yang lalu kepleset menjadi perilaku menonjolkan kekerasan ini merupakan contoh dari toxic masculinity. Apa arti istilah tersebut?

Toxic masculinity dapat didefinisikan sebagai perilaku sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Dalam toxic masculinity, definisi maskulinitas yang lekat sebagai sifat pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Definisi senada dipaparkan dalam sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Psychology. Studi ini mengartikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang difungsikan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap perempuan.

Dari definisi di atas, pengertian toxic masculinity memang sesuai dengan makna harafiahnya, yakni maskulinitas beracun. Artinya, orang yang menunjukkan perilaku itu memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan standar maskulin pada laki-laki.

Dengan adanya toxic masculinity, apakah menurut Youdics apakah ada dampaknya buat mental laki-laki?

2 Likes

Toxic masculinity atau yang secara harfiah berarti maskulinitas beracun. Istilah tersebut digunakan untuk mendeskripsikan pembatasan perilaku berdasarkan peran gender yang kaku, berfungsi untuk memperkuat struktur kekuasaan yang berpihak pada dominasi laki-laki. Sederhananya, toxic masculinity merupakan perilaku sempit yang terkait dengan peran gender ekerasan, keagresifan, dan tidak boleh menunjukkan emosi yang dianggap lemah.

Efek dari Toxic Masculinity

Tanpa kita sadari, pandangan dan ungkapan semacam yang telah dijelaskan diatas dapat memberikan pengaruh negatif pada perilaku laki-laki di kemudian hari. Terutama kaitannya dengan kesehatan mental. Beberapa penelitian mengungkapkan pembatasan norma maskulin yang kaku dapat memberikan efek terhadap laki-laki sebagai berikut :

  1. Tekanan psikologis yang lebih besar. Laki-laki terkadang merasa mereka perlu menyembunyikan atau menghindari pengekspresian emosi yang sedang mereka rasakan. Terkhusus, emosi dan perasaan yang berkaitan dengan kerentanan pribadi yang dianggap sebagai karakteristik feminin.
  2. Risiko depresi dan kecemasan yang lebih besar. Seperti yang diungkapkan sebelumnya. Menahan emosi menimbulkan kerentanan untuk mengalami depresi.
  3. Penyalahgunaan zat dan obat-obat terlarang. Laki-laki cenderung tidak mencari bantuan karena tidak ingin dianggap lemah. Hal tersebut, terkadang membawa laki-laki untuk mencari coping mekanisme yang tidak sehat, seperti penyalahgunaan zat alkohol, hingga narkoba atau obat-obatan yang dilarang.
  4. Risiko terkena gangguan kesehatan, seperti meningkatnya tekanan darah tinggi.
  5. Masalah terkait dengan hubungan dengan pasangan hingga terjadinya kekerasan. Toxic masculinity dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, karena sikap laki-laki yang berusaha mendominasi dan mengontrol pasangan, dengan ancaman berupa tindak kekerasan.

Bohong jika saya belum pernah merasakan Toxic Masculinity ini. Dari kecil mungkin banyak orangtua yang secara tidak sadar menanamkan perilaku ini lewat perkataan maupun perbuatan, contoh nya seperti “Laki-laki itu gak boleh nangis”, “laki-laki itu harus kuat”, “laki-laki itu harus suka bola” dan lain sebagainya. Efeknya? hingga menuju kedewasaan anak-anak tersebut “dipaksa” untuk menyukai hal tersebut ataupun berperilaku sesuai dengan perkataan dari orangtuanya.

Pengalaman saya mengalami toxic masculinity ini memang pastinya ada beberapa perkataan dari orangtua dan teman yang menuju kearah sana yang akibat nya menuju remaja saya merasa masih kurang jujur pada diri sendiri dan selalu menyembunyikan perasaan sedih. Namun seiring berjalannya waktu dan ada aktivitas sosial yang saya lakukan seperti sekolah dan kuliah, saya mulai mengerti dengan adany hak kebebasan pada diri. Saat ini saya lebih jujur dan terbuka pada diri sendiri dan tidak mempedulikan perkataan orang lain yang merujuk pada toxic masculinity ini. Karena menurut saya bohong pada diri sendiri merupakan hal yang buruk dan juga toxic yang akan berdampak pada diri kita kedepannya.

Kalau menurut ahli yaitu Weigert, dia bilang jika muncul ya Toxic Masculinity ini berhubungan erat sama pembentukan identitas diri dari hubungan individu ke lingkungannya melalui komunikasi. Pembentukan identitas diri melalui komunikasi menurut Weigert terbagi tiga yaitu keluarga, masyarakat dan rekan kerja. Di dalam komunikasi dengan keluarga terdapat “Definisi Langsung” dimana orangtua secara terang-terangan memberi tahu siapa kita dengan melabeli kita dan perilaku kita. Definisi langsung ini dapat membuat anak berpikiran seperti hal tersebut hingga dewasa. Menurut saya hal ini akan berdampak pada mental health seseorang secara jangka panjang, karena dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak jujur pada dirinya dan mengalami tekanan psikologis karena sering menyembunyikan perasaanya dan berpura-pura kuat.

Betul adanya jika (kebanyakan) laki-laki sering merasakan toxic masculinity tersebut, tidak bisa dipungkiri. Apalagi di zaman sekarang masih terbawa stereotype laki-laki selamanya dan harus menjadi manusia yang tangguh dan kuat serta dominan, dan bisa dibilang, mindset seperti itupun ada karena cara berpikir orang dari masa lalu juga.

Umumnya, seorang laki-laki akan dianggap maskulin jika memiliki sejumlah karakteristik sifat yang memenuhi ‘standar’ kelaki-lakian. Berikut adalah sejumlah hal yang dipercaya merepresentasikan karakteristik maskulin pada laki-laki:

  • Kekuatan
  • Kekuasaan
  • Agresif
  • Penuh kendali
  • Mandiri
  • Kesetiakawanan.

Akan tetapi, karakteristik sifat di atas dianggap usang karena kenyataannya tidak semua laki-laki memilikinya. Seorang laki-laki juga bisa memiliki sifat yang dianggap sebagai feminim, seperti lemah lembut atau sensitif. Begitu pula pada wanita, yang bisa memiliki sejumlah karakteristik yang dianggap sebagai maskulin. Toxic masculinity dianggap berbahaya karena jadi membatasi sifat seorang pria dalam hidup dan bermasyarakat. Bukan tidak mungkin hal ini malah dapat menimbulkan konflik, baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.Maskulinitas beracun juga jadi menjadi beban tersendiri bagi para pria yang dianggap tidak memenuhi “standar” yang telah diyakini. Apabila seorang pria dibesarkan dalam lingkungan yang 'mengagungkan toxic masculinity , ia jadi menganggap bahwa dirinya hanya harus menunjukkan sifat maskulin dalam arti sempit tersebut agar bisa diterima di masyarakat. Sebagai contoh, pria didoktrin untuk tidak boleh menunjukkan kesedihan apalagi sampai berujung tangisan. Menunjukkan rasa sedih dan menangis diyakini merupakan karakterisitik feminin sehingga yang boleh melakukannya hanyalah perempuan. Celakanya, maskulinitas beracun bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental (dan fisik) kaum Adam, mengingat bahwa menahan emosi berpotensi memicu stres dan depresi.

Toxic masculinity di masyarakat kita masih sangat lekat dan susah dihilangkan. Seorang anak laki-laki dituntut untuk menjadi sosok laki-laki ideal di kalangan masyarakat. Bila kepribadian dan tingkah laku mereka melenceng sedikit saja dari tuntutan masyarakat, mereka akan dianggap bukan lelaki. Saya sering melihat orang yang hanya karena suka memasak, bermain boneka, bermake up, tidak suka olahraga, dan gampang menangis dicap kemayu dan tidak jantan oleh orang-orang sekitar. Tidak ada panduan resmi tentang bagaimana menjadi seorang laki-laki, jadi akan keliru untuk memberikan definisi tentang apa artinya menjadi seorang pria atau menjadi maskulin, tetapi ada beberapa kesamaan yang disepakati oleh kebanyakan pria. Kepemimpinan, menafkahi, melindungi keluarga, bertanggung jawab, dan keberanian cenderung menjadi nilai inti dari kejantanan yang dipegang masyarakat luas.

Jika tekanan masyarakat pada laki-laki semakin tinggi, toxic masculinity masih akan menjamur. Efeknya, ada kemungkinan laki-laki yang merasa dirinya tidak masuk dalam kriteria tersebut menolak kepribadian dalam dirinya. Sehingga ia akan berusaha menjadi apa yang masyarakat harapkan meskipun itu membuatnya tidak nyaman atau merasa tertekan. Selain itu, perlakuan dari orang yang memandangnya miring bisa menurunkan kepercayaan dirinya dan jika berlanjut semakin dalam dapat mengakibatkan depresi.