Apakah Khitbah atau lamaran adalah wajib?

Menikah adalah suatu momen yang sangat istimewa yang terjadi pada diri manusia. Dengan menikah sesuatu yang dulu dilarangpun akhirnya bisa bernilai ibadah, oleh karenanya menikah sangat dinanti oleh para muda-mudi yang telah baligh.

Apakah Khitbah (lamaran) diwajibkan?

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.

Khitbah sifatnya tidak wajib. Dikarenakan pernikahan pun merupakan sunnah.

Landasan syariat Khitbah (tunangan)

”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…”(Al-Baqarah: 235).

Seluruh kitab dan kamus bahasa Arab membedakan antara kata-kata “khitbah” (melamar) dan “zawaj” (menikah). Demian juga adat/kebiasaan membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang telah menikah; dan syari’at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut.

Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan akad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi jika ingin melakukan istikharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.

Khitbah, meski dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya kebiasaan yang tujuannya hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.

Dari hadits diatas mayoritas ulama’ menyimpulkan bahwa hukum dari tunangan adalah mubah.
Namun sebagian ulama’ cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi’i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkaramustahab (disukai).

Hal ini dengan alasan bahwa akad nikah adalah perjanjian luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.

1 Like