Apakah yang anda ketahui tentang Chairil Anwar?

Chairil Anwar

Apakah yang anda ketahui tentang Chairil Anwar?

1 Like

Chairil Anwar adalah seorang penyair Indonesia dan anggota “generasi 1945” penulis. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi individu. Anwar lahir dan besar di Medan, Sumatera Utara, sebelum pindah ke Batavia bersama ibunya pada tahun 1940. Pada saat yang bersamaan ia mulai memasuki lingkaran sastra setempat. Setelah menerbitkan puisi pertamanya pada tahun 1942, Anwar terus menulis. Namun, puisinya terkadang disensor oleh Jepang. Hidup dengan pemberontak, Anwar menulis secara luas, sering tentang kematian. Dia meninggal di Jakarta karena penyakit yang tidak diketahui.

Karyanya berurusan dengan berbagai tema, termasuk kematian, individualisme, dan eksistensialisme, dan sering multi-interpretasi. Menarik pengaruh dari penyair asing, Anwar menggunakan bahasa sehari-hari dan sintaksis baru untuk menulis puisinya, yang telah dicatat membantu perkembangan bahasa Indonesia. Puisi-puisinya sering dibangun secara tidak teratur, tetapi dengan pola individu.

Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Sebagai seorang anak, dia keras kepala dan tidak mau kehilangan apa pun; ini mencerminkan kepribadian orang tuanya. Ia juga dimanjakan oleh orang tuanya. Ia bersekolah di sekolah-sekolah lokal untuk penduduk asli Indonesia, sampai putus sekolah pada usia 18. Anwar kemudian mengatakan bahwa dia tahu dia ingin menjadi seniman sejak usia 15 tahun, setelah menulis puisi dengan gaya yang dominan saat itu.

quoteanwar

Setelah perceraian orang tuanya, ayahnya terus mendukung secara finansial dia dan ibunya, yang pindah ke Batavia (Jakarta setelah kemerdekaan Indonesia). Meski awalnya berniat melanjutkan sekolahnya, ia akhirnya putus lagi. Di Batavia ia bercampur dengan banyak anak-anak Indo yang kaya, serta memainkan adegan sastra lokal. Meskipun tidak menyelesaikan sekolahnya, ia mampu menggunakan bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman secara aktif.

Setelah puisi Anwar “Nisan” (“Kuburan”; konon yang pertama), terinspirasi oleh kematian neneknya, ditulis pada tahun 1942, Anwar memperoleh penghargaan. Namun, puisinya terkadang masih ditolak. Sebagai contoh, pada tahun 1943, ketika ia pertama kali mendekati majalah Pandji Pustaka untuk menyerahkan puisi-puisinya, sebagian besar ditolak karena terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Sphere Co-Prosperity Sphere Asia Timur. Namun, beberapa, termasuk puisi “Diponegoro”, mampu melewati sensor. Selama periode ini ia terus bergaul dengan penulis lain, bertukar ide dan kemudian menjadi pemimpin di antara mereka. Ia kemudian mendirikan majalah Gema Gelanggang. Dia menulis puisi terakhirnya, “Cemara Menderai Sampai Jauh” (“Pohon Cemara Ditabur Jauh”), pada tahun 1949.

Anwar meninggal di Rumah Sakit CBZ (sekarang R.S. Ciptomangunkusomo), Jakarta, pada 28 April 1949; hari berikutnya, dia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak. Penyebab kematiannya tidak pasti, dengan beberapa menyarankan tipus, beberapa sifilis, dan beberapa menyarankan kombinasi keduanya serta tuberkulosis. Sarjana Belanda sastra Indonesia, A. Teeuw menyarankan bahwa Anwar sadar bahwa ia akan mati muda, menunjuk ke “Jang Terampas dan Jang Putus” (“Yang Disita dan Rusak”), yang memiliki tema menyerah,dan meramalkan bahwa dia akan dimakamkan di Karet.

Semasa hidupnya, Anwar menulis sekitar 94 karya, termasuk tujuh puluh satu puisi. Sebagian besar tidak diterbitkan pada saat kematiannya, tetapi kemudian dikumpulkan dalam beberapa koleksi karyanya yang diterbitkan secara anumerta. Dari jumlah tersebut, Anwar menganggap hanya 13 puisi yang benar-benar bagus. Buku yang pertama kali diterbitkan adalah Deru Tjampur Debu (Roar Dicampur dengan Debu) , yang diikuti oleh Kerikil Tadjam dan Jang Terampas dan Terputus (Tajam Kerikil dan yang Disita dan Rusak). Meskipun beberapa puisi dalam koleksi tersebut memiliki judul yang sama, mereka sedikit berbeda. Karya-karyanya yang paling terkenal adalah “Aku” (“Aku”)

Chairil Anwar selalu dikenang dengan puisinya yang penuh akan makna. Berikut beberapa puisi yang sering dipentaskan oleh penikmat dunia teater.

AKU
Karya: Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari, hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

puisichairil

Karawang Bekasi
Karya: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1 Like

Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada tanggal 26 juli 1922. Ia berpendidikan Mulo (SMP) kelas I di Medan dan kemudian pindah ke Mulo Jakarta sampai kelas II.

Dia mulai menulis dalam tahun 1943 (permulaan zaman pendudukan Jepang); dan meninggal di RSUP Salemba Jakarta pada tanggal 24 April 1949.

Prof. Dr. Teeuw mangatakan bahwa tentang Chairil Anwar telah lebih banyak dituliskan dan dikatakan daripada siapa pun dalam kesusastraan Indonesia – akan tetapi meskipun demikian, masih jauh juga daripada cukup apa yang telah dikatakan dan dipikirkan tentang dia itu. Makin lama kita memikirkannya, makin mengasyikkan. Chairil Anwar ini, baik sebagai penyair maupun sebagai manusia (hal yang dua ini lagi pula tak dapat diceraikan), dan makin takjublah kita mengenangkan artinya bagi kebudayaan Indonesia. Bahwa ia itu mempunyai tingkat internasional sudah lama tidak dimungkiri lagi – akan tetapi, dengan cara demikian saja belum lagi dapat kita menjelaskan artinya ataupun keajaiban timbulnya, justru dalam masa ini (1958 : 64).

Pembaharuan yang dilakukan oleh Chairil Anwar dalam bidang kesajakan kesusastraan Indonesia, baik dalam bentuk maupun dalam isi dapat kita saksikan secara nyata dalam sajaknya yang berjudul “ 1943” di bawah ini.

1943

Racun berada direguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam-membelam

Jalan kaku-lurus. Putus

Candu

Tambang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh

Lahir

Tegak

Berderah

Rubuh

Runtuh

Mengaum. Mengguruh

Menentang. Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandas

Rata

Rata

Rata

Dunia

Kau

Aku

Terpaku.

H. B. Jassin (1967 : 46) mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar “ 1943”, jelas nyata lain dari segala bentuk sajak yang pernah ada dalam persajakan Indonesia. Berbeda bukan saja dalam bentuk, tetapi terutama dalam isi, loncatan pikiran, suasana perasaan.

Chairil Anwar adalah pembawa apa yang disebut aliran ekspresionisme, yaitu satu macam aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsafan. Pikiran dan keinsafan dalam pertumbuhannya yang pertama, belum lagi diatur dan disusun, dipengaruhi oleh pikiran dan keinsafan luar, penyalahan dan pembetulan dari luar.

Dalam ekspresionisme pikiran dan keinsafan dalam tingkat pertama itu, masih sangat dekat pada perasaan dan jiwa asal dan itulah yang sejelasnya dilontarkan atau lebih tepat melontar dalam hasil ciptaan. Demikianlah buah ciptaan bukan lukisan kesan pada jiwa, tetapi jiwa, teriakan jiwa itu sendiri. Inilah ekspresionisme dalam keadaan yang paling murni.

AKU

Kalau sampai waktuku

Kumau tak seorang ‘kan merayu,

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Prof. Dr. Teeuw (1958 : 66 - 67) mengatakan bahwa Chairil Anwar adalah seorang penuh vitaliteit gunung api yang mengepul-ngepul bernyala-nyala. Satu kumpulan tenaga-tenaga nafsu hidup yang kuat.

Orang yang memakaikan ukuran biasa kepadanya menganggapnya seorang yang sombong, kasar, tidak beradat, jahat, dan sebagainya, tetapi kejujurannya dalam pengertian bahwa ia bukan berniat hendak merugikan dengan sengaja orang lain, membikin orang merasa sayang kepadanya, seperti menyayangi anak nakal tetapi belum tahu apa……

Chairil Anwar bersahabat dengan pujangga-pujangga seluruh dunia. Ia mempelajari pujangga-pujangga luar negeri. Penyair-penyair Rilke, Marsman, dan Slauerhoft sangat besar pengaruhnya kepadanya di samping pujangga pemberontak Nietzche yang sangat dikaguminya.

Pergaulannya sangat luas; ia tidak memilih bulu. Di samping bergaul dengan abang-abang becak, para pengemis dan tukang-tukang lowak, juga bersahabat dengan Bung Sjahrir, bahkan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.

Chairil Anwar mencurahkan tenaga hidupnya, sepenuh perhatiannya kepada puisi, sajak-sajaknya. Keadaan ini mengakibatkan kadang-kadang ia melupakan dirinya, bahkan setelah kawin, ia tidak sempat memikirkan keadaan rumah tangganya.

Keadaan rumah Chairil Anwar dapat dibayangkan dalam sajaknya yang berjudul Rumahku di bawah ini.

RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku terseret tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu.

Sajak di atas menurut penyelidikan H. B. Jassin adalah saduran dari sajak Slauerhoft (lihat Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45).

Selain Amir Hamzah yang memilih sajak yang berjudul Doa, juga Chairil Anwar. Kedua penyair ini memiliki latar belakang kehidupan yang sangat berbeda.

Amir Hamzah, yang sejak kecil menerima ajaran ketuhanan (agama Islam) karena ia dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama. Dengan demikian, tentu tidaklah mengherankan jika dalam sajak-sajaknya bernapaskan ajaran agama.

Lain halnya dengan Chairil Anwar, yang juga berperasaan ketuhanan adalah seorang anarkis, binatang jalang, pelanggar adat kebiasaan masyarakat, terasa mengejutkan dengan kandungan doanya. Sajaknya yang berjudul doa adalah sebagai berikut.

DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin dikelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk remuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintu-Mu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Bandingkanlah doa Chairil Anwar tersebut di atas dengan doa Amir Hamzah, yang tercantum di bawah ini.

DOA

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,

kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama

meningkat naik, setelah menghalaukan panas

payah terik.

Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan,

Melambung rasa menayang pikir, membawa angan

ke bawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang

memasang lilinnya.

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai

sedap malam menyerak kelopak.

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,

penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar

bersinar sendu, biar bersinar gelakku raya!

Doa Amir Hamzah yang terkandung dalam sajaknya di atas berisi permohonan kepada kekasihnya (Tuhan) supaya Tuhan mengisi hatinya dengan firman-Nya; dan supaya dadanya dipenuhi dengan cahaya Ilahi.

Lain halnya dengan Chairil Anwar, tidak bermohon sesuatu kepada Tuhan, tetapi mengakui kebesaran Tuhan ; dan mengakui kehinaan dirinya: Aku hilang bentuk, remuk.

1 Like