Apakah hutang kredit otomatis diwariskan apabila debitur meninggal dunia?

debtguides.co.za

Apakah hutang kredit otomatis diwariskan apabila debitur meninggal dunia?

Ketika seseorang meninggal dunia, pada prinsipnya hak dan kewajiban si pewaris beralih kepada ahli warisnya. Begitu pula dalam hal terjadinya kredit, debitur meninggal dunia, adalah hak ahli waris untuk menerima harta pewaris dan kewajibannnya untuk melunasi utang dari harta yang diterimanya itu. Hak dan kewajiban debitur meninggal beralih kepada ahli waris diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kewajiban ahli waris untuk membayar utang debitur meninggal diatur dalam Pasal 123 KUHPer dan Pasal 1100 KUHPer, sebagai berikut

Pasal 123 KUHPer

Semua utang kematian, yang terjadi setelah seseorang meninggal dunia, hanya menjadi beban para ahli waris dan yang meninggal itu”.

Ketentuan dalam pasal ini memandatkan bahwa jika seseorang meninggal dunia sedang ia meninggalkan utang, maka kewajiban utang tersebut beralih kepada ahli warisnya untuk diselesaikan. Begitu pula jika debitur kredit meninggal, kewajiban pembayaran utang beralih kepada ahli waris.

Pasal 1100 KUHPer

“Para waris yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu”.

Ahli waris yang menerima harta pewaris (misalkan usaha yang dibiayai bank) mendapatkan beban kewajiban utang dari hartwa warisan yang diterimanya itu. Ahli waris yang berhak menerima warisan dilihat dari silsilah dengan orang yang meninggal.

Pengaturan mengenai prioritas ahli waris diatur dalam Pasal 832 ayat (1) KUHPer terdapat 4 (empat) golongan.

Pasal 1318 KUHPer

Pasal 1315 KUHPer, mengandung pengertian bahwa

“Para pihak tidak boleh mempunyai tujuan untuk mengikutsertakan orang lain atau mengikat pihak ketiga selain daripada mereka sendiri”.

Suatu perjanjian hanya berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 1340 KUHPer

“Persetujuan hanya berlaku anatara pihak-pihak yang membuatnya…”

yang dikenal dengan asas perjanjian bersifat tertutup, terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam Pasal 1316 hingga 1318 KUHPer.

Pasal 1318 KUHPer

“Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan ahli warisnya…”,

berisi ketentuan yang memperluas daya kerja perjanjian terhadap ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1318 KUHPer dengan tidak adanya ketentuan khusus bahwa perjanjian ditujukan kepada pihak ketiga ketika pewaris meninggal, maka ahli waris berkewajiban untuk melanjutkan perjanjian kredit.

Menurut Pasal ini pada saat melakukan perjanjian kredit, pewaris dianggap melakukan perjanjian tersebut untuk dirinya sendiri dan ahli warisnya jika suatu hari ia meninggal. Hak yang dimiliki ahli waris adalah untuk menerima atau menolak harta warisan dari pewaris.

Keputusan menerima warisan akan berakibat pemikulan beban kewajiban pembayaran kredit. Keputusan menolak akan mengakibatkan ahli waris terhindar dari beban kewajiban membayar kredit pewaris.

KUHPer mengatur hak ahli waris terhadap warisan dalam pasal sebagai berikut:

Pasal 833 KUHPer

Pasal 833 KUHPer menyebutkan,

“Ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.”

Harta yang ditinggalkan pewaris secara otomatis menjadi milik ahli waris akibat dari kematian.

Pasal 1023 KUHPer

Pasal 1023 KUHPer berbunyi:

“Semua orang yang memperoleh hak atas suatu warisan, dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar mereka dapat mempertimbangkan, apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisan itu secara murni, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, atau pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir dan tentang itu mereka harus melakukan suatu pernyataan di Kepaniteraan Pentelah jatuh meluang warisan tersebut, pernyataan mana akan dibukukan dalam suatu register yang disediakan untuk itu.”

Pasal tersebut mengandung pengertian, terhadap harta waris yang menjadi obyek dan jaminan kredit, ahli waris boleh menentukan sikap menerima atau menolak warisan tersebut. Ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris dan karenanya juga dianggap tidak pernah menerima apa-apa dari warisan. Dalam pelaksanaannya dengan tegas siapa yang menerima warisan dan melanjutkan hutang pewaris. Kesepakatan dan persetujuan siapa yang menjadi ahli waris sah dan mengikat para ahli waris.

Pasal 1318 KUHPer

Pasal 1318 KUHPer,

“Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri dan ahli warisnya…”,

yang memperluas daya kerja perjanjian terhadap ahli waris, sehingga ahli waris berhak untuk menjadi pihak yang menggantikan posisi pewaris dalam perjanjian kredit.

Jaminan pada dasarnya ada 2 (dua), yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Sifat jaminan perorangan akan hapus ketika orang tersebut meninggal. Sifat jaminan kebendaan akan melekat kepada siapapun orang yang memilikinya. Dalam hal kredit Jaminan Fidusia debitur meninggal UU Fidusia tidak mengatur mengenai tanggungjawab ahli waris secara tersurat dalam UU Fidusia.

Hanya Pasal 4 UU Fidusia yang berbunyi,

“Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok…”.

Pasal tersebut dapat diartikan bahwa apabila perjanjian kredit (perjanjian pokok) hapus perjanjian Fidusia akan mengikuti perjanjian pokoknya. Dengan beralihnya perjanjian beralih kepada debitur baru. Dengan begitu ahli waris yang menerima warisan berupa benda yang dibebani Fidusia, maka ahli waris memikul pula beban Fidusia pada benda hasil pewarisan tersebut dan menjadi pihak dalam Perjanjian Fidusia tersebut.

Meninggalnya seorang debitur, apabila tanggungjawab penyelesaian kredit telah sepakat diambil oleh seorang ahli waris, maka hutang dan jaminan milik debitur meninggal secara de jure beralih menjadi milik ahli waris. Langkah hukum seperti apa yang akan diambil untuk penyelesaian kredit, menjadi kewenangan ahli waris yang menerima pewarisan tersebut.