Apakah hukum mengadopsi anak dalam Islam?

Mengadopsi adalah untuk mengambil ke dalam keluarga seseorang (anak dari orang tua lain), terutama akibat perbuatan hukum formal. Hal ini juga dapat berarti tindakan hukum mengasumsikan orangtua seorang anak yang bukan milik sendiri.

Apakah hukum mengadopsi anak dalam Islam?

Islam, membolehkan seseorang mengadopsi anak untuk di asuh, dididik dan diberikan hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Bahkan, untuk anak-anak yatim yang tidak diketahui orangtuanya, atau anak-anak miskin yang sudah jelas orangtuapun Islam tetap membolehkan.

Bahkan itu dianggap sebagai sarana untuk menolong anak-anak Islam memperoleh pengasuhan, pendidikan, kebutuhan primer dan sekunder yang terpenuhi oleh orangtua angkatnya, yang kelak anak mengangkat derajatnya, derajat orangtua kandungnya sekaligus orangtuanya dan tentu akan menjadi pribadi yang lebih baik dalam memperjuangkan dakwah Islam.

Dalam adopsi, tidak begitu saja dilakukan oleh calon orangtua angkat. Ada beberapa peraturan yang cukup ketat didalam Islam, untuk membuktikan jika adopsi dalam Islam tidak sama dengan mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak sendiri.

Untuk itu cermati 7 hal yang perlu diketahui dari adopsi secara Islami berikut ini:

1. Nasab anak tetap melekat padanya.

Bukan seperti pada jaman jahilillah Arab dahulu, dimana nasab anak tergantikan dengan orangtua angkatnya, dan diberi hak tanpa kecuali pada anak tersebut sampai hak waris juga, dan hal ini jelas salah.

Nasab anak tetap melekat pada garis keturunannya. Bukankah saat diakherat nanti anak akan dipanggil dengan nama ayahnya, bukan ayah angkatnya?

Untuk itu jangan sesekali adopsi anak dengan menghilangkan nasab orangtuanya dengan mengganti nama orangtua pada akte anak dengan nama pengadopsi.

2. Anak angkat tidak berhak mendapat warisan.

Dalam hal ini memang hukum waris Islam tidak memasukkan anak angkat sebagai ahli waris. Pada masa jahiliyah, dimana anak anak angkat mendapat waris bahkan menghalangi ahli waris sebenarnya, menimbulkan perselisihan yang cukup serius.

Maka, Islam datang dengan meluruskan tentang hal itu. Lalu bagaimana menyikapinya jika orangtua angkat meninggal? Bisa dengan cara diberi hibah, atau berwasiat pada anak angkat untuk mendapatkan bagian, namun jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga dari jumlah harta waris.

3. Ada batas kemahroman pada anak angkat.

Meski sudah diasuh sejak bayi, anak angkat bukanlah mahromnya. Maka tetap ada batasan melihat bagi anggota keluarga lainnya pada anak angkat.

Ini yang kurang disadari oleh banyak orangtua angkat, yang merasa karena sudah dianggap anak sendiri dalam hal perilaku, membuka aurat bahkan saling sentuh walau anak sudah remaja atau dewasa terbiasa dilakukan. Padahal hal itu sebenarnya terlarang dalam Islam.

4. Hak perwalian Nikah.

Saat anak angkat siap menikah, hak perwaliannya tetap pada ayah kandungnya atau kakek atau saudara laki-lakinya. Orangtua angkat tidak punya hak perwalian, meski orangtua dan kerabatnya tidak diketahui sekalipun, maka wali hakim yang akan menjadi perwaliannya.

5. Mantan Istri dari anak angkat halal untuk dinikahi.

Hal ini menunjukkan jika anak angkat itu memang berbeda dengan anak kandung, dimana bekas istri anak kandung haram hukumnya dinikahi.

Peristiwa Rasulullah yang menikahi mantan istri Zaid bin Haritsah, yakni Zainab yang menjadi perbincangan dikalangan masyarakat kala itu, karena dianggap Rasulullah menikahi mantan istri anaknya yang haram hukumnya.

Padahal Zaid adalah anak angkat, bukan anak kandung dan ini beda.

“Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah). ‘Tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah’, dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engaku takut kepada manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engaku takuti. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, Kami (Allah) nikahkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadikan beban bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan kepustusan Allah pasti terlaksana.” (Al-Ahzab [33] : 37).

6. Mengadopsi anak, berarti mendidik dan memelihara.

Jika ada seseorang yang mengadopsi anak yatim atau anak yang terlantar juga miskin dengan tujuan untuk memuliakan mereka dengan mendidik dan memelihara yang baik, itu pahala bagi pengadopsi, namun jika ada tujuan lain yang menguntungkan diri sendiri, seperti asuransi, menguasai harta anak yatim atau bahkan niatan buruk lainnya, maka hal tersebut merupakan dosa besar.

Beberapa kasus anak adopsi malah tidak diasuh dengan baik bahkan keadaannya memprihatinkan, karena dibedakan dengan anak sendiri, bahkan kerap dijadikan ‘pembantu’ atau di siksa, maka celaka bagi mereka yang menyia-nyiakan anak yatim atau anak adopsi, karena neraka bersiap menanti.

7. Pahala yang luar biasa besar bagi orang yang mau mengadopsi anak Yatim atau anak miskin.

Mereka yang memiliki sikap luhur demikian akan mendapatkan penghargaan yang tinggi dalam Islam dan mendapatkan pujian luarbiasa. Rasulullah sampai-sampai memberikan pengandaian yang sangat indah bagi yang mengadopsi anak-anak yatim ini:

“Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini, sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah, lalu ia renggangkan antara keduanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, tidak ada dosa bagi orang yang mau mengadopsi anak-anak miskin, terlantar atau yatim, bahkan pahala mengalir deras untuknya.