Apakah Gubernur Basuki Tjahaya Purnama dapat aktif kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta?

Saat ini terjadi pro-kontra terkait status Basuki Tjahaya Purnama setelah masa cuti kampanye Pilkada DKI selesai, apakah Basuki Tjahaya Purnama dapat aktif kembali, mengingat saat ini Basuki Tjahaya Purnama sedang dalam proses pengadilan.

Yang menjadi tema diskusi pada masyarakat luas mengenai Pasal 83 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014

“Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dimana banyak pengamat yang menyatakan bahwa seharusnya Basuki Tjahaya Purnama diberhentikan sementara dengan mengacu pada pasal tersebut, sedangkang pemerintah, yang diwakili oleh Mendagri, menyatakan bahwa Basuki Tjahya Purnama dapat aktif kembali setelah masa cuti kampanye-nya berakhir.

Bagaimana pendapat anda ?

Menurut beberapa sumber, memang Ahok dapat aktif kembali setelah masa cuti kampanye-nya ber-akhir. Berikut artikel dari CNN Indonesia terkait aktifnya Basuki Tjahaja Purnama menjabat sebagai Gubernur DKI pada tanggal 12 Februari besok.

Jakarta, CNN Indonesia – Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan kembali aktif menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 12 Februari mendatang. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkata, masa nonaktif Ahok segera berakhir seiring masa kampanye pilkada DKI yang selesai Sabtu besok.

Tjahjo mengatakan, Ahok akan menyelesaikan tugas gubernur hingga Oktober 2017.

“Besok masa kampanye habis. Pelaksana tugas gubernur sudah menyerahkan jabatan kepada Pak Ahok,” ujar Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (10/2).

Tjahjo mengatakan, meskipun Ahok kini berstatus terdakwa pada kasus dugaan penistaan agama, ia tidak dapat memberhentikan mantan bupati Belitung Timur itu. Ia berkata, pemberhentian dapat dilakukan jika calon atau kepala daerah tertangkap tangan aparat melakukan perbuatan pidana.

Merujuk UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, Pasl 83, Tjahjo juga baru berhak memberhentikan kepala daerah yang dijatuhi vonis hukuman penjara di atas lima tahun penjara.

Tjahjo menuturkan, pemberhentian itu pernah diterapkan kepada mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah. Sebelum divonis bersalah pada kasus korupsi, Atut tetap menjadi gubernur.

Atut, kata Tjahjo, baru diberhentikan Juli 2015 ketika Mahkamah Agung menertbitkan putusan peninjauan kembali .

“Saya harus adil, teman-teman pejabat lain yang kasusnya di bawah lima tahun, sepanjang tidak ditahan ya tetap menjabat,” ucap Tjahjo.

Pasal 83 UU 23/2014 mengatur alasan pemberhentian sementara kepala daerah. Alasan untuk menerbitkan surat nonaktif gubernur adalah dakwaan melakukan perbuatan pidana yang diancam pidana penjara paling singkat lima tahun.

Saat ini Ahok masih menjalani proses pengadilan. Jaksa Penuntut Umum belum mengajukan tuntutan hukuman kepada Ahok.

Mungkin perlu sedikit diluruskan, bahwa Pasal 83 menyatakan,

“Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Jadi didakwa saja sudah cukup sebagai alasan untuk memberhentikan seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tanpa perlu menunggu dijatuhi vonis hukuman oleh hakim.

Pendapat ini juga sama seperti pendapat yang disampaikan Mahfud MD terkait pernyataan Mendagri.

“Pasal 83 ayat 1 itu kan jelas, seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa, bukan menjadi tertuntut ya, yang sudah menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Tidak ada pasal lain yang bisa menafikkan itu,” kata Mahfud di gedung KPK pada Kamis (9/2) malam.

Saat ini, Ahok sendiri sudah berstatus terdakwa dengan dakwaan dua pasal berbeda yakni pasal 156 atau pasal 156a dengan ancaman masing-masing empat dan lima tahun.

“Karena UU-nya jelas bunyinya, bukan tuntutan seperti dikatakan Mendagri. Mendagri katakan menunggu tuntutan. Lho di situ terdakwa, berarti dakwaan. Jadi tidak ada instrumen hukum lain,” ujarnya.

“Ya cabut dulu pasal itu agar tidak melanggar hukum. Presiden boleh mencabut pasal itu, misalnya dengan hak subjektifnya, asalkan mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan pasal itu,” katanya.

DIkutip dari berita Republika

Memang terlihat bahwa terdapat perbedaan antara dijatuhi hukuman dengan status terdakwa, atau didakwa.

Kalau merujuk pasal 83, status terdakwa saja sudah cukup sebagai alasan untuk dilakukannya pemberhentian sementara kepala dan wakil kepala daerah.

Tetapi mengacu ke kasus mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, yang diberhentikan sebagai Gubernur setelah divonis, yaitu pada Juli 2015 (Undang-undang tersebut dikeluarkan tahun 2014).

Jadi alasan terkuat Mendagri adalah acuan terhadap kasus yang dialami Gubernur Atut tersebut.

Dapat tulisan menarik terkait dengan kasus diatas,

###TANGGUNG JAWAB KONSTITUSIONAL PEMBERHENTIAN GUBERNUR: SUATU CONDITIO SINE QUA NON

Oleh: Dr. Hendra Nurtjahjo,SH. MHum

Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila


Pengantar

Persoalan pemberhentian Kepala daerah terkait dengan perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang diacu berdasarkan pada ketentuan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini sebagai konsekuensi kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat bukan machtstaat). Pemberhentian Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (untuk selanjutnya disingkat BTP) sebagai Kepala Daerah-- murni harus didasarkan pada perspektif hukum dan tidak dalam perspektif politik.

Inilah konsekuensi dari pilihan Negara Hukum yang kita anut. Adanya intervensi politik terhadap hukum akan mendegradasi kedudukan negara hukum (nomocracy) dan berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial (mobocracy) yang akan menuai perpecahan bangsa dan negara.

Kontroversi pemberhentian Gubernur DKI Jakarta yang dijabat oleh BTP ini menimbulkan persoalan karena Presiden dan Menteri Dalam Negeri belum juga mengambil tindakan hukum atas keadaan yang terjadi.

Masa cuti kampanye yang memiliki konsekuensi status non aktif Kepala Daerah yang dijabat oleh BTP telah berakhir pada tanggal 11 Pebruari 2017, konsekuensinya BTP sudah dapat aktif kembali sebagai Gubernur pada tanggal 12 Pebruari 2017.

Namun demikian, disisi lain, BTP telah menyandang status sebagai terdakwa dalam kasus hukum pidana penodaan agama yang sedang berlangsung di Pengadilan Jakarta Utara.

Ada tiga ketentuan hukum terkait dalam kasus ini yaitu, Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pemilihan Kepala Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan hukum :

  1. Apakah Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti BTP sebagai Gubernur Non Aktif,

  2. Apakah Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI Jakarta,

  3. Apakah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu.

  4. Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif Ombudsman,

  5. Adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur BTP dalam konteks politik hukum ?

Lima hal inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Penjelasan dan penafsiran hukum atas ketentuan hukum positif yang berlaku menjadi pegangan dalam analisis hukum tentang pemberhentian Gubernur ini.

Tentu saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari nuansa politik dan tafsir kepentingan kekuasaan yang ada dibalik kontestasi hukum positif yang ada. Hal inilah yang menuntut pentingnya analisis politik hukum dalam kasus ini.

Analisis Norma Hukum dan Konstitusionalitas Pasal Pemberhentian Gubernur.

Setiap pejabat publik termasuk Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden memikul tugas konstitusional untuk menjalankan hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian.

Dalam konteks penegakan undang-undang pemilihan kepala daerah, dalam hal ini DPR, Presiden, dan Menteri Dalam Negeri merupakan pihak yang mengemban kewajiban konstitusional untuk menjalankan hukum dan undang-undang terkait kasus hukum jabatan Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalani kasus pidana dalam status sebagai terdakwa kasus penistaan agama.

Status terdakwa ini membawa konsekuensi hukum pemberhentian jabatan Gubernur DKI yang disandang oleh BTP yang harus ditegakkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Tanggung jawab konstitusional pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine qua non bagi Presiden, yaitu suatu kondisi yang mengharuskan Presiden untuk ‘mau tidak mau’ melakukan pemberhentian BTP dari jabatan Gubernur sebagai penegakan dari hukum yang berlaku.

Pasal 83 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan norma hukum bahwa “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pada pasal ini pula dalam ayat tiga menunjukkan adanya kewajiban hukum dari Presiden untuk memberhentikan Gubernur BTP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Pasal ini memiliki kekuatan konstitusional untuk dijalankan oleh seluruh lembaga dan aparat hukum terkait sepanjang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai hukum positif dan tidak dicabut keberlakukannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Artinya, pasal 83 memiliki konstitusionalitas yang harus dijalankan oleh pengemban amanah konstitusi yaitu Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara yuridis beban konstitusional ada di tangan Presiden, namun demikian secara politis ini berat bagi Jokowi karena BTP adalah rekan seafiliasi yang dicalonkan oleh partainya, yaitu PDIP.

Namun demikian, dalam konteks menjalankan tugas kenegaraan, Presiden sebagai negarawan harus dapat mengenyampingkan kepentingan politik guna menjalankan legal reasoning (argumentasi hukum) yang nyata ada. Hal ini berkaitan dengan sumpah jabatan Presiden yang harus senantiasa menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali.

Terkait dengan persoalan (1) Apakah Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti BTP sebagai Gubernur Non Aktif, hal ini tentunya tidak relevan untuk dikontradiksikan.

  • Pertama, ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir sesuai dengan Peraturan KPU.

  • Kedua, tidak ada lagi istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye talah berakhir dan status non aktif sudah expired.

  • Ketiga, status non aktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara hukum.

  • Keempat, status non aktif dapat diberlakukan kembali, namun harus dengan legal basic yang berbeda yaitu, pasal 83 (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemberhentian Kepala Daerah dengan status terdakwa.

Sehingga, hal ini harus dipahami, bila tuntutan masyarakat untuk non aktif bukan didasarkan atas UU Pilkada, melainkan berdasarkan UU Pemda, dua rezim hukum yang berbeda namun setara dalam keberlakukannya sebagai perangkat hukum.

Sehingga dapat dipastikan bahwa Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 adalah norma hukum yang masih berlaku konstitusionalitasnya dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemberhentian Gubernur sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta.

Persoalan ke (2) Apakah Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, Pasal 83 ayat 1 membebankan kewajiban untuk memberhentikan itu kepada Presiden, bukan kepada Menteri Dalam Negeri.

Hal ini adalah kewajiban konstitusional Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, dan Menteri Dalam Negeri dan Sekretariat Negara hanya menjalankan proses administratif pemberhentian tersebut (administrative law process).

Pemberhentian ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda adalah sebagai pemberhentian sementara, bukan definitive (pemberhentian tetap).

Pemberhentian tetap oleh Presiden sesuai ayat 4 Pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian sementara oleh Presiden ini tidak perlu menunggu usulan dari DPRD DKI Jakarta sebagaimana secara langsung dapat dipahami dari Pasal 83 ayat 1.

Namun demikian baik DPR maupun DPRD dapat mengingatkan secara moril (memberikan aba-aba atau warning) kepada Presiden bahwa kewajiban konstitusional ini harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Pemberhentian ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan atau tuntutan dari Jaksa Agung atau Jaksa Penuntut Umum karena beberapa hal.

  • Pertama, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya ‘tuntutan jaksa penuntut umum’ melainkan ‘kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.’
    Pasal pemberhentian tersebut tidak menunjukkan perlunya keterlibatan jaksa penuntut umum, melainkan besar ancaman yang tertera di dalam undang-undang terkait pasal yang didakwakan.
    Hal ini adalah hal yang lazim dalam suatu kasus hukum lainnya, tidak ada yang pernah didasarkan atas berapa lama hukuman yang dituntut oleh jaksa.
    Malahan hal ini menjadi janggal bila harus menunggu pembacaan tuntutan jaksa. Penafsiran hukum yang mengharuskan menunggu berapakah tuntutan hukum dari jaksa adalah penafsiran hukum yang mengada-ada dan menimbulkan pretensi hukum yang anomaly.
    Apakah Jaksa akan menuntut dibawah 5 tahun atau diatas 5 tahun, itu adalah persoalan lain yang sama sekali tidak menjadi syarat dari Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014.

  • Kedua, hal ini juga tidak perlu dikaitkan dengan apakah ada penahanan atau operasi tangkap tangan yang berhasil dilakukan oleh aparat hukum.
    Mengapa ? Karena hal ini tidak dipersyaratkan secara normatif di dalam pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014. Baik penahanan maupun OTT (Operasi Tangkap Tangan) tidak menjadi unsur norma hukum didalam pasal tentang pemberhentian kepala daerah tersebut.
    Ketiga hal ini bukanlah tuntutan pidana lain dari kasus pidana yang sedang dijalankan, melainkan konskekuensi hukum administrasi terkait jabatan publik yang diemban oleh BTP dalam status terdakwa.
    Sehingga hal ini merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan, seperti kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara, Gubernur Banten, dan lain-lain. Sama sekali tidak terkait dengan perlunya tuntutan jaksa penuntut umum, penahanan, atau OTT.

Persoalan ke (3) Apakah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu, berdasarkan pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Alasan yuridis berdasarkan ilmu perundang-undangan bagi suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu untuk dikeluarkan adalah adanya kegentingan memaksa.

Dalam constitutional law hal ini lazimnya disebut sebagai emergency law atau undang-undang dalam keadaan darurat. Dalam konteks ini sama sekali tidak ada keadaan yang dapat dinilai secara subyektif oleh Presiden sebagai sesuatu keadaan yang darurat.

Pasal 83 ayat 1-5 sudah menyebutkan secara cristal clear atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah tanpa harus ditafsirkan lagi apalagi dikaitkan dengan keadaan darurat.

Namun jika hal ini juga terpaksa dilakukan oleh Presiden, rakyat akan dengan cepat menangkap gelagat politik untuk menyelamatkan BTP yang jelas-jelas dalam status terdakwa. Maka ini jelas merupakan intervensi politik terhadap hukum, dan merupakan rangsangan bagi terjadinya suatu social mob yang terus berkelanjutan. Kasus hukum pidana harus terus berjalan apa adanya, sebagaimana proses hukum administrasi negara juga harus berjalan apa adanya (law as it is).

Persoalan ke (4) Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif Ombudsman, hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Status terdakwa dari pejabat publik tentu akan mempengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut.

Hal ini dapat berimplikasi pada banyak hal dan akan terkait dengan budaya hukum yang akan ditegakkan oleh Gubernur sebagai pelayanan publik. Apapun bentuk perbuatan melanggar hukum dan etika administrasi adalah tindak maladministras dalam pandangan Ombudsman.

Ombudsman juga memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga negara terkait untuk menegakkan hukum secara tegas dan non diskriminatif. Telah adanya beberapa kepala daerah yang terkena ketentuan hukum pemberhentian tersebut merupakan preseden yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara terkait dalam hal ini Presiden, dan Menteri Dalam Negeri.

Penafsiran dan treatment yang berbeda dalam kasus ini adalah merupakan tindakan diskriminasi hukum yang dalam perspektif Ombudsman adalah tindak maladministrasi. Sehingga dalam kasus ini, dapat ditengarai bila Pasal 83 tidak dilaksanakan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri, hal ini masuk dalam lingkup maladministrasi atau penyimpangan hukum dan etika dalam menjalankan administrasi negara.

Mengarah Kepada Impeachment dan Social Mob ?

Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian Gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU No.23 Tahun 2014. Pasal tersebut adalah pasal dengan norma imperatif (Bukan Fakultatif, karena tidak ada kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut).

Ketentuan normatif itu mengharuskan Presiden untuk melaksanakannya (Suatu conditio sine qua non) secara tegas tanpa menimbang kepentingan politik apapun. Negara hukum mensyarakatkan penegakan hukum tidak boleh dilakukan atas intervensi kepentingan politik tertentu.

Hal ini merupakan hukum besi sejarah, politik harus tunduk pada hukum, walaupun hukum itu sendiri merupakan hasil dari proses politik. Kepatuhan pada hukum adalah sendi utama dalam bernegara. Pengabaian hukum akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dan berimplikasi pada runtuhnya negara.

Persoalan ke (5) Adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur BTP dalam konteks politik hukum?

Presiden adalah Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan, Kedudukan ini adalah status kelembagaan dan bukan personal. Lembaga kepresidenan dalam ketentuan konstitusi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan hukum dan pemerintahan.

Demikian pula kedudukan semua warga negara adalah sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Tentu seorang Presiden harus menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan sebagaimana yang disebut dalam sumpah jabatannya.

Apabila Presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda (discriminatory ) dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata negara.

Ringkasnya, apabila Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah undang-undang untuk memberhentikan BTP sebagai Gubernur DKI, maka hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama, proses impeachment akan bergulir sebagai proses hukum tata negara.

Langkah ini bergantung dari konstelasi politik di DPR yang akan mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Tentunya langkah ini didahului permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Hal ini tentunya merupakan proses yang panjang dan berliku.

Kedua, terbukanya alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut Presiden untuk mundur dari jabatan, atau softly movement agar Presiden menegakkan hukum secara adil (fairness).

Penutup

Kedua kemungkinan terabyte akan selalu memunculkan instabilitas politik dan memicu munculnya kerusuhan sosial yang luas (massive social mob).

Kekuatan aparat hukum yang berpihak pada kekuasaan politik akan menimbulkan korban nyawa yang tidak sedikit di pihak grass root.

Situasi ini rentan untuk munculnya intervensi kekuatan asing yang akan memiliki kepentingan ideology and capital dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal inilah yang harus kita cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab. Namun pertanyaan besarnya, mungkinkah ? ©HendraNurtjahjo


Tulisan diatas adalah hasil share di beberapa sosial media, mohon konfirmasinya apabila terdapat kesalahan.