Apakah diperbolehkan mengikuti beberapa mazhab dalam satu waktu ?

Misalnya seseorang yang bermazhab Shafi‘i berwudhu’ lalu menyentuh isterinya maka wudhu’nya sudah batal menurut mazhab yang diikutinya, sementara hadith shahih menjelaskan bahwa Rasulullah saw menyentuh bahkan mencium isterinya sebelum salat dan tidak berwudhu’ lagi. Karena itu, mazhab Hanafi menganggap bahwa menyentuh isteri itu tidak membatalkan wudhu’

Apakah diperbolehkan mengikuti beberapa mazhab dalam satu waktu ? atau dengan kata lain mencampuradukkan mazhab ?

Mengikuti beberapa mazhab biasa disebut dengan istilah talfiq. Talfiq adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan mengikuti berbagai mazhab secara taqlidi sehingga satu amalan ibadah yang dikerjakan itu didasarkan pada akumulasi pendapat dari berbagai mazhab.

Mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khsus yang dijalani oleh ahli fiqih (mujtahid), yang berbeda dengan ahli fiqih yang lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu. Dari kalangan Sunni, mazhab ini terdiri dari Hanafi, Maliki, Shafi‘i, dan Hanbali. Sementara dari golongan Shi‘i, mazhab terdiri dari Ja‘fariyah, Ismailiyah dan Zaidiyyah.

Menurut Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), konsep Talfiq muncul akibat kuatnya perasaan taqlid yang ditanamkan ulama mazhab di zaman berkembangnya taqlid yang mengharamkan seorang pengikut mazhab tertentu untuk mengambil pendapat dari mazhab lain. Menurutnya, ulama fiqih dan Usul al-Fiqh yang tidak membolehkan Talfiq dalam beramal jumlahnya amat sedikit, di antaranya Abu Bakar al-Qaffal (291-365 H), Ibn Hajar al-‘Asqalani, keduanya ulama fiqih Mazhab Shafi‘i dan sebagian mazhab Hanafi.

Ulama, semacam al-Safarini sebagai didukung oleh al-Ghazali dan al-Marudzi, tidak membolehkan talfiq dengan alasan,

  1. Seandainya dibukakan pintu talfiq maka rusaklah shari‘ah dan terbuka kesempatan untuk membolehkan hal-hal yang haram, termasuk pembolehan perbuatan zina, minuman keras dan seterusnya. Hal tersebut diumpamakan bahwa orang yang hendak berzina dengan perempuan yang baligh ’aqil dengan beralasan ikut Abu Hanifah yang berpendapat kesahihan perempuan untuk melakukan akad terhadap dirinya sendiri. Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali lalu mengambil pendapat Malikiyah yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan. Dengan cara seperti ini berarti ia sudah mencari jalan untuk melegalkan perzinahan.

  2. Kaidah usul, maka apabila seseorang mengikuti seorang imam dengan mazhabnya, maka yang bersangkutan yakin bahwa ucapan imam itu benar. Sedangkan pendapat lain yang berbeda dengan mazhab yang dipeganginya memiliki multi-nilai, mungkin benar atau mungkin salah. Jadi Talfiq itu membangun paradigma bahwa setiap mujtahid itu benar dan jelas hal ini bertolak belakang dengan kaidah tersebut.

  3. Mereka berargumen bahwa tidak ada dalil shari‘ah yang membolehkan Talfiq.

Sebagian ulama tidak membolehkan Talfiq dengan alasan tatabbu’ al-yusr (mencari-cari kemudahan) atau taysir al-fatwa. Taysir al-fatwa yang dimaksud adalah memberikan fatwa terhadap seseorang yang di dalamnya terhadap pilihan-pilihan yang Shara‘ membolehkannya sesuai dengan kondisi mukallaf.

Dalam konteks ini dapat dicontohkan seumpama orang bertanya kepada seorang ’alim tentang menyapu kepala sebagai bagian rukun wudhu’. Maka sang ‘alim memberikan jawaban berdasarkan mazhab Shafi‘i yakni wajib membasuhnya sebagian kepala saja, kemudian ditanya masalah menyentuh zakar tanpa kain, maka si ‘alim memberikan jawaban bersandarkan kepada mazhab Abu Hanifah.

Sementara pihak lain melakukan antitesis terhadap argumentasi sebelumnya.

  1. Pendapat sebelumnya mengatakan bahwa Talfiq ini hanya memberikan kemudahan bagi mukallaf, namun perlu diingat bahwa kemudahan dalam shari‘at yang mu‘tabar memang didukung oleh dalil baik yang khusus atau umum.

  2. Meskipun secara umum Talfiq cenderung menghasilkan kemudahan dalam pengamalan shariat tapi kadang pula menghasilkan produk hukum yang berat. Contohnya: larangan melempar jamarah pada malam hari didasarkan pada pendapat Imam Ahmad, dan mengharuskan bayar dam (denda) bagi orang memotong rambut sebelum melempar jamarah itu didasarkan pada pendapat Imam Malik.

  3. Larangan Talfiq tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah ataupun Qawl al-Sahabi. Sahabat sendiri tidak terikat dengan pendapat orang lain, bahkan mereka memiliki independensi dalam mengeluarkan pendapat dalam memahami nass.

Sebagian usuliyyun dan fuqaha membolehkan Talfiq karena darurat dengan alasan seseorang bermazhab dengan imam tertentu, maka ia tidak boleh menyalahinya.

Syeikh Mar’i al-Karami, sebagaimana dikutip oleh Ghazi ibn Mursyid, memiliki sikap yang sangat tegas terkait dengan Talfiq. Ia berpendapat bahwa Talfiq adalah keniscayaan apalagi bagi orang ’awam untuk melakukan Talfiq. Kalau tidak, menurutnya, mengakibatkan ketidakvalidan ibadah dan muamalah mereka dan lebih jauh lagi akan berdampak pada kesempitan dan kesulitan yang jelas bertentangan dengan maqasid al-shari‘ah yang dibangun atas dasar atas kemudahan dan keringanan.

Ulama yang membolehkan talfiq > antara lain Imam Kamal bin Hummam (w 861 H/ 1458 M), Ibn Nujaim (w.970 H/1563 M), keduanya ulama fiqih Mazhab Hanfi, al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dan Ibn Urfah al-Wargami al-Tunisi atau Ibn ‘Urfah al-Maliki (w. 803 H/1400 M), keduanya ulama fiqih Mazhab Maliki dan sebagian besar ulama mazhab Shafi‘i.