Apakah dalam pandangan Islam sujud takzim itu dibolehkan?

Sujud takzim

Sujud takzim adalah sujud yang digunakan untuk menghormati, bukan untuk menyembah. Misalnya menghormati raja dengan gerakan sujud didepannya.

Apakah dalam pandangan Islam sujud takzim itu dibenarkan?

Dalam al-Qur’an disebutkan dua sujud kepada selain Tuhan. Pertama sujud para malaikat kepada Nabi Adam As dan kedua sujud saudara-saudara dan ayah-ibu Nabi Yusuf kepada Nabi Yusuf.

Al-Qur’an menyatakan,

“Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskanku dari penjara dan ketika membawamu dari dusun padang pasir (ke sini), setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Yusuf [12]:100)

Terkait dengan masalah ini terdapat beberapa kemungkinan:

  • Pertama, Sebagian penafsir berkata: Kita memiliki dua jenis sujud; pertama sujud penyembahan dan ibadah yang terkhusus untuk Tuhan sebagai kebalikan dari ibadah kepada matahari, berhala, bintang-bintang dan selainnya yang dilakukan orang-orang musyrik. Kedua, sujud takzim dan penghormatan yang dilakukan kepada para raja, sultan, para nabi dan para pembesar lainnya dan hal ini mengikut kepada perintah dan larangan Ilahi.

    Dalam syariat Islam sujud seperti ini yang sangat dilarang dalam Islam namun tidak termasuk jenis syirik. Allah Swt mewajibkan sujud semacam ini terkait dengan Nabi Adam dan merupakan ekspresi ketaatan kepada Allah Swt. Karena itu, setan menjadi terkutuk akibat penentangannya terhadap perintah sujud ini. Akan tetapi dalam syariat Ibrahim dan para nabi Bani Israel dibolehkan bahkan disanjung. Bukti dari klaim ini adalah sabda Rasulullah Saw apabila sujud kepada selain Tuhan dibenarkan maka sujud itu adalah sujud para wanita kepada para suaminya. Hal ini tidak bermakna para wanita menyembah suaminya melainkan bentuk takzim dan penghormatan kepada para suami.

  • Kedua, Yang dimaksud dari ayat ini bahwa sesuai dengan perintah Nabi Yusuf supaya mereka dimuliakan dan diberikan ruang khusus di istana dan mendudukkan mereka di atas singgasana. Ketika Yusuf masuk, terpancar cahaya Ilahi yang bersumber dari keindahannya yang membuat takjub semua orang yang melihatnya sedemikian sehingga mereka tanpa sadar merebahkan diri seraya bersujud kepadanya.

    Namun sujud ini bukan untuk ibadah, lantaran sujud yang bermakna ibadah terkhusus untuk Tuhan dan tidak seorang pun pada setiap mazhab yang dibolehkan untuk sujud kepada selain Tuhan. Tauhid ibadah merupakan bagian penting masalah tauhid yang diseru oleh seluruh nabi. Demikianlah maksud tauhid ibadah.

    Karena itu, bukan Yusuf, yang merupakan seorang nabi Allah yang memberikan izin kepada mereka untuk bersujud dan beribadah kepadanya juga bukan nabi-nabi besar seperti Ya’qub melakukan hal ini juga bukan al-Qur’an yang menyebutnya sebagai sebuah perbuatan yang pantas dilakukan atau minimal membolehkannya. Oleh itu, sujud yang disebutkan di atas adalah sujud untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Tuhan yang memberikan seluruh kedudukan agung dan anugerah kepada Yusuf dan mengatasi segala kesulitan dan musibah yang diderita oleh keluarga Ya’qub. Dalam kondisi seperti ini sujud yang ditujukan untuk Tuhan lantaran dilakukan untuk takzim atas anugerah yang diberikan kepada Yusuf. Dan menurut pandangan ini kata ganti “lahu” (kepada Yusuf) tentu saja berkenaan dengan Yusuf, dan akan sejalan dengan makna ini.

    Sebagaimana pada kisah Adam juga, sujud para malaikat adalah untuk Tuhan yang telah menciptakan makhluk (Adam) dan entitas sedemikian agung. Sujud ini sejatinya adalah ibadah untuk Tuhan yang menjadi sebuah dalil untuk pemuliaan dan pengagungan makam Nabi Adam. Hal ini dibenarkan tatkala seseorang melakukan sebuah perbuatan yang sangat penting dan kita bersujud kepadanya lantaran Tuhan menciptakan hamba sedemikian agung dimana sujudnya untuk Tuhan juga untuk memuliakan orang tersebut.

  • Ketiga, Yang dimaksud dengan sujud adalah maknanya yang luas: artinya tunduk dan rendah hati; karena sujud tidak selamanya berarti dengan maknanya yang popular dikenal orang, melainkan terkadang bermakna segala jenis rendah hati. Karena itu, sebagian penafsir berkata bahwa pemuliaan dan sikap tawadhu yang berkembang pada waktu itu bermakna menunduk dan memuliakan. Dan yang dimaksud dengan sujud pada ayat di atas adalah menunduk dan memuliakan. Akan tetapi dengan memperhatikan redaksi “kharu” yang bermakna merebahkan diri ke bumi dapat disimpulkan bahwa sujud mereka tidak bermakna melengkungkan dan menundukkan kepala.

  • Keempat, Sebagian penafsir besar lainnya berkata, “Ibadah adalah seorang hamba menyatakan penghambaannya dan secara praktik menetapkan penghambaan dan ibadahnya serta senantiasa ingin kekal dalam penghambaan. Karena itu, praktik ibadah harus bersifat aktual yang memiliki kelayakan untuk mengekspresikan ketuhanan Tuhan atau kehambaan hamba. Seperti sujud dan ruku atau berdiri di hadapan kaki maulwa atau berjalan di belakangnya dan sebagainya. Semakin besar kelayakan ini maka ibadah dan penghambaan semakin besar.

Dari setiap amalan yang menunjukkan keagungan Tuhan dan kerendahan hamba, yang paling jelas dan paling benderang adalah sujud; karena ketika seseorang bersujud ia tersungkur ke tanah dan menempatkan dirinya di atas tanah, namun sujud bukanlah ibadah secara esensial, melainkan yang penting itu adalah niat beribadah. Dengan demikian, apabila digambarkan adanya halangan dalam sujud maka mau tak mau dari sisi larangan syariat atau rasional. Dan apa yang terlarang secara syariat atau rasional yaitu ketika manusia bersujud untuk selain Tuhan ingin menetapkan rububiyah yang selain Tuhan. Namun apabila maksudnya sujud semata-mata untuk penghormatan atau pemuliaan, tanpa adanya keyakinan terhadap rububiyah baginya, melainkan semata-mata ingin berbasa-basi dan melakukan penghormatan maka tiada dalil untuk mengharamkannya secara syariat atau secara rasional.

Apa yang dituntut oleh perasaan keberagamaan yang umumnya dilakukan oleh orang-orang beragama secara lahir adalah bahwa secara umum amalan semacam ini dikhususkan untuk Tuhan dan untuk selain Tuhan meski sekedar berbasa-basi dan penghormatan, sebaiknya ia tidak merebahkan dirinya ke tanah. Perasaan keberagamaan seperti ini tidak dapat diingkari namun tidak juga demikian bahwa setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan keikhlasan tentang Tuhan bermakna bahwa mengamalkan perbuatan untuk selain Tuhan itu terlarang.

Sujud Nabi Ya’qub dan saudara-saudara Yusuf adalah untuk Tuhan namun Yusuf laksana Ka’bah adalah kiblat. Karena itu, dalam ungkapan-ungkapan Arab disebutkan, “Si fulan mengerjakan shalat menghadap kiblat.”

Demikian juga kita beribadah kepada Tuhan dan menjadikan Ka’bah sebagai kiblat dan kita menjalankan shalat dan ibadah ke arahnya karena itu sujud di hadapan Ka’bah sejatinya yang disembah adalah Tuhan bukan Ka’bah. Dan jelas bahwa tanda dan ayat Tuhan sebagaimana ia adalah ayat Tuhan tidak memiliki kemandirian dan apabila seseorang bersujud di hadapannya yang dijadikan obyek ibadah adalah pemilik ayat dan tanda (baca: Tuhan). Adapun yang lainnya tidak dijadikan sebagai obyek ibadah.

Dengan memperhatikan beberapa persoalan yang dibahas di atas menjadi jelas bahwa dalam Islam tidak terdapat sujud selain kepada Allah Swt bahkan untuk sekedar takzim dan penghormatan.

Sedemikian sehingga pada sebagian riwayat disebutkan bahwa sebagian sahabat Rasulullah Saw bermohon untuk sujud kepada beliau. Rasulullah Saw bersabda: “Laa bal usjudu liLlah.” Tidak melainkan sujudlah kalian untuk Allah.”