Apakah Busana Mempengaruhi Tindakan Pelecehan Seksual?

dic 8

Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan atau terintimidasi.

Sampai saat ini, di Indonesia, angka pelecehan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya, seluruh wanita di Indonesia yang umumnya menjadi korban, terus melakukan upayanya agar terhindar dari perilaku tidak terpuji itu, salah satunya dengan menggunakan pakaian yang menutup hampir seluruh bagian anggota tubuh.

Akan tetapi, ketua Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyimpulkan pakaian terbuka yang dikenakan perempuan tidak menjadi penyebab pelecehan seksual. Karena hasil survei bahkan menyatakan bahwa 17% korban pelecehan seksual mengenakan pakaian tertutup (yang mana dalam hal ini merupakan presentase tertinggi dalam survei atau jenis busana).

Berikut survei lengkapnya. Paparan telah menunjukkan sebagian hasil survei tentang busana yang dikenakan saat responden mengalami pelecehan seksual. Ada lima jenis pakaian yang menempati peringkat teratas yakni rok, hijab, baju lengan panjang, seragam sekolah, dan baju longgar.

Menutup anggota tubuh dengan maksud menjaga diri, tetapi wanita dengan busana tertutup dan longgar justru tempati urutan pertama daftar pakaian korban pelecehan seksual, jadi bagaimana pendapat teman-teman?

Referensi

Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021

1 Like

Seperti yang sudah tercantum pada deskripsi di atas bahwa pakaian terbuka yang dikenakan oleh perempuan tidak menjadi penyebab pelecehan seksual. Namun nyatanya seringkali perempuan yang disalahkan jika pelecehan seksual baik fisik maupun verbal menimpanya, mereka menganggap bahwa perempuanlah yang menyebabkan terjadinya pelecehan karena telah menggunakan pakaian yang terlalu terbuka, seperti terlalu mini, ketat, tembus pandang, atau yang lainnya. Padahal sudah terbukti jika pelecehan seksual tidak memandang pakaian yang dikenakan, bentuk tubuh, umur, gender, dll.

Aku sendiri pernah mengalami pelecehan fisik maupun verbal, padahal saat itu aku menggunakan seragam sekolah yang tertutup dan membawa barang yang menutupi badanku, tapi nyatanya… aku tetap mengalami kejadian tersebut. Dan yang lebih gak abis pikir adalah… kakakku yang pada saat itu sedang menggunakan mukena pun juga pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik.
So, udah bisa dilihat dan disimpulkan bahwa pakaian tuh bukan suatu hal yang selalu harus disalahkan dalam pelecehan seksual, dan public seharusnya sadar bahwa tidak ada alasan untuk menyalahkaan si korban, karena pada umumnya para pelaku pelecehan melakukan hal tersebut bukan karena melihat pakaian apa yang digunakan, tetapi melihat seberapa besar kesempatan mereka untuk melakukan pelecehan tersebut.

Referensi

Perempuan Harus 'Bijaksana' Menjaga Tubuh Hindari Pelecehan
Apakah Pakaian Seksi Perempuan Jadi Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual? - Lifestyle Fimela.com
Pelecehan Bukan Akibat Pakaian; Berbaju Longgar & Berhijab pun Kena

1 Like

Tidak. Sikap yang menyebutkan pakaian korban yang mempengaruhi adanya pemerkosaan justru akan melindungi pelaku dibandingkan korban, karena malah menaruh kesalahan di korban.

Koalisi Ruang Publik Aman menyimpulkan bahwa tak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual. Hasil survei dipaparkan Koalisi Ruang Publik Aman, Selama ini korban pelecehan seksual banyak disalahkan karena dianggap ‘mengundang’ aksi pelecehan dengan memakai baju seksi atau jalan sendiri di malam hari. Tapi semua anggapan itu bisa dibantah dengan hasil survei ini. Hasil survei ini jelas menunjukkan bahwa perempuan bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari.

Koalisi Ruang Publik Aman menjelaskan, pelecehan seksual murni terjadi 100% karena niat pelaku. Tidak ada korban yang ‘mengundang’ untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain.

Dengan demikian asumsi dan pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa pakaian yang tertutup rapat akan menghindari pelaku melakukan kekerasan seksual tidaklah tepat. Bahkan, pernyataan tersebut semakin menambah trauma emosional para korban karena merasa disalahkan, dan memberikan pembenaran atas apa yang dilalukan pelaku kekerasan seksual.

Sumber

Danu Damarjati. 2019. Pelecehan Seksual Tak Ada Kaitan dengan Pakaian Korban, Sepakat?. detikNEWS.

1 Like

Sesuai dengan pernyataan diatas tak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual. Baik perempuan yang berbaju terbuka maupun tertutup sama-sama berpotensi menjadi korban pelecehan seksual.

Sebenarnya yang harus diperbaiki bukan busana atau pakaian yang dipakai oleh seorang wanita, melainkan pikiran dari seorang laki-laki yang ingin mencabuli. Pakaian apapun yang digunakan oleh wanita sama sekali tidak berperan dalam mencegah atau memperbesar kemungkinan terjadinya pelecehan seksual. Berhenti untuk menyalahkan korban atau wanita dari pakaian yang ia kenakan. Dan sebaiknya sedari dini orang tua mengajarkan pada anak lelaki untuk menjaga pikirannya terhadap wanita dan bukan malah menyalahkan wanita dari apa yang ia pakai.

1 Like

Seperti yang telah dituliskan di atas, sudah sangat jelas bahwa busana yang dikenakan seorang wanita tidak ada pengaruhnya dengan tindak pelecehan seksual, dan aku sangat setuju jika pakaian perempuan bukan alasan terjadinya pelecehan seksual. Menurut survei yang telah dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman. Dari survei itu terlihat pakaian model apa saja yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual. Menurut ku dari kasus pelecehan seksual yang harus di ubah adalah mindset nya dari laki-laki (pelaku tindak pelecehan seksual), dan bukan pakaian yang dipakai wanita.

menurut saya pribadi tidak ada kaitannya antara pakaian yang dikenakan perempuan dengan pelecehan seksual, karena pelecehan sendiri terjadi karena cara pandang orang yang ingin melakukan pelecehan tersebut yang harus dibenahi, mau setertutup apapun perempuan jika pikiran orang tersebut sudah sakit maka korban tidak bisa disalahkan, jadi stop menyalahkan korban pelecehan mengatas namakan “makannya pakai baju yang sopan yang tetutup”, karena semua nya tidak menutup kemungkinan terjadi pelecehan.

Menurut saya tidak mempengaruhi, ya karena yang seharusnya bisa mengontrol nafsu adalah diri kita sendiri. Jadi jika pelaku pelecehan seksual tidak bisa mengontrolnya maka ada yang salah dalam dirinya, ntah itu nafsu yang tinggi atau kebiasaan yang buruk. Kemudian kita tidak bisa memaksa orang lain sesuai dengan standart kita, seperti kamu harus memakai pakaian tertutup agar tidak terjadi kejahatan seksual dsb. Memakai baju atau pakaian tertutup tidak menutup kemungkinan juga bisa menjadi korban dari pelecehan seksual. Jadi yang harus dikontrol adalah diri sendiri bukan mengontrol orang lain. Mengingatkan sesama teman boleh, tapi mau gimanapun hak mereka berpenampilan seperti apapun.

Saya sangat setuju dengan pernyataan busana tidak mempengaruhi tindakan pelecehan seksual, melihat fakta di lapangan masih banyak kasus pelecehan yang bahkan korbannya menggunakan pakaian tertutup/masih tergolong sopan. Akar masalah kasus pelecehan terletak pada hasrat pelaku yang mereka lampiaskan dengan tindakan yang tercela. Namun, sayangnya masih ada segelintir orang yang menyimpulkan bahwa busanalah yang mengundang kasus pelecehan seksual dengan dalih “kucing dikasih ikan ga akan nolak”. Mereka seakan lupa bahwa manusia diberi akal agar mampu menjaga pikirannya.

Sejauh ini telah banyak korban kekerasan seksual yang berani untuk buka suara tentang apa yang mereka alami. Namun sayangnya pilihan korban untuk bercerita mengenai pengalaman mereka, malah mendapat porsi pertanyaan dan perhatian berlebih oleh khalayak dibandingkan porsi pertanyaan dan perhatian pada apa yang diperbuat oleh pelaku. Bayangkan, betapa ironisnya, dimana korban justru sering mendapatkan pertanyaan “Pakaian seperti apa yang kamu kenakan?”, “Apakah celananya terlalu ketat?”, “Apakah pakaiannya terlalu pendek?”, “Apakah belahan dadanya terlihat?” atau “Apakah jenis pakaiannya yang dapat memprovokasi orang melakukan kekerasan seksual?”

Sikap yang mempertanyakan pakaian seperti apa yang dikenakan korban, adalah sikap yang menunjukkan bahwa korban memprovokasi kekerasan seksual yang terjadi padanya. Dengan demikian, hal tersebut justru lebih melindungi pelaku dibandingkan korban, dan pelaku berpotensi lepas dari sanksi ketika ia menggunakan alasan yang senada, yakni menggunakan alasan pakaian yang dikenakan korban “mengundang” pelaku untuk melakukan kekerasan seksual.

Asumsi bahwa pakaian adalah pemicu utama seseorang mengalami kekerasan seksual, terbantahkan oleh temuan survei tentang pelecehan seksual di ruang publik yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada tahun 2019, yang dilakukan di 34 Provinsi di Indonesia. Survei tersebut menemukan fakta bahwa saat peristiwa pelecehan seksual terjadi korban mengenakan rok/celana panjang 18%, baju lengan panjang 16%, seragam sekolah 14%, hijab 17%, dan baju longgar 14%. Begitu juga dengan larangan perempuan keluar malam agar terhindar dari kekerasan seksual, menurut survei tersebut waktu kejadian pelecehan seksual justru terbanyak pada siang hari, yakni 35%, lalu kejadian di sore hari 25%, malam hari 21%, dan pagi hari 17%.

Dengan demikian asumsi dan pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa pakaian yang tertutup rapat akan menghindari pelaku melakukan kekerasan seksual tidaklah tepat. Bahkan, pernyataan tersebut semakin menambah trauma emosional para korban karena merasa disalahkan, dan memberikan pembenaran atas apa yang dilalukan pelaku kekerasan seksual.

Jadi, dengan segala fakta yang ada, pakaian apapun yang dikenakan, bila pelaku menjadikan tubuh perempuan sebagai objek seksual maka kekerasan seksual tetap terjadi. Itu karena cara pandang pelaku yang demikian menghilangkan rasa hormat pelaku pada perempuan, dan saat melakukan perbuatannya pelaku tidak lagi peduli pakaian seperti apa yang digunakan korban.

1 Like

Kalo pertanyaan ini ditanyakan dulu, aku akan menjawab IYA. Tetapi karena ini ditanyakan pada zaman saat ini, maka aku akan menjawab TIDAK. Because belum lama ini kita mendengar berita bahwa seorang perempuan yang mengenakan MUKENA pun tetap mendapatkan pelecehan seksual secara fisik, ini sangat membuktikan bahwa sudah tidak ada korelasi negatif antara pakaian yang dikenakan dengan perilaku pelecehan. Pakaian saat ini menjadi media victim blaming untuk memojokkan korban, sehingga menyebabkan korban menjadi semakin stress dan frustasi. Padahal, tindakan pelecehan ini tuh murni niat pelaku yang memang pikirannya, maaf, mesum. Kalo di pikir-pikir, masa iya ada perempuan yang senngaja memancing atau menumbalkan diri untuk di lecehkan, kan tidak.
Kaya contoh misalnya, kita pergi naik transportasi umum. Ngga mungkin dong kita sengaja memperlihatkan dompet kita, barang-barang berharga kita di dalam bus kepada orang-orang biar sengaja di jambret? Kita menjaganya dengan sangat hati-hati dan baik, tapi bukan tidak mungkin kita ‘kecolongan’, kan? Ya gitu, pasti adaa aja orang yang punya niatan buat ngejambret. Artinya, semua itu murni karena niat pelaku, bukan kita yang ‘menawarkan’

Jika melihat dari pernyataan diatas mengenai hubungan pakaian yang dikenakan oleh wanita terhadap perilaku pelecehan seksual, maka menurut saya memang tidak ada hubungannya sama sekali karena pelecehan seksual sendiri pada basicnya memang tidak memandang lokasi, waktu, atau bahkan pakaian yang sedang dikenakan oleh korban pelecehan tersebut baik itu yang berpakaian terbuka ataupun tertutup. Hal ini tentunya juga sangat berhubungan dengan budaya patriarki yang masih sangat kental di Indonesia yang dimana banyak kasus pelecehan terhadap kaum perempuan, kesalahannya dianggap terjadi pada kaum perempuan itu sendiri dalam hal berpakaian.

Misalnya, wanita yang berpakaian terbuka tau ketat di tempat umum paling sering disalahkan dalam kasus pelecehan seksual, karena pakaian mereka mengundang hasrat bagi para pelaku untuk melakukan pelecehan seksual. Tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar, karena tindakan cabul dan pelecehan seksual itu sebenarnya datang dari pikiran si pelaku baik secara sadar maupun tidak sadar. penyebabnya pun bermacam - macam, entah itu bisa jadi karena pengaruh video porno dan lain sebagainya. Menggeneralisir pakaian perempuan sebagai salah satu penyebab utama dari pelecehan seksual adalah sebuah kesalahan mengingat kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan yang berpakaian terbuka, namun juga banyak terjadi pada perempuan yang berpakaian tertutup sekalipun.

Tetapi sekali lagi, keadaan masyarakat kita yang sebagian besar masih patriarkhi selalu memandang pihak perempuan sebagai pihak yang bersalah dan boleh jadi, rape culture sendiri bukanlah suatu masalah yang serius mengacu pada lemahnya Undang - Undang perlindungan perempuan di Indonesia yang ditandai dengan lambatnya pengesahan RUU PKS. Inilah mindset yang sebenarnya harus kita ubah, jika pakaian perempuan tidak memiliki hubungan dengan perlakuan pelecehan seksual yang mereka terima. Patut diingat, pelecehan seksual terjadi karena adanya sebuah intention dari kaum laki - laki yang terpengaruh oleh banyak hal seperti video porno sehingga mereka melakukan pelecehan seksual jika ada kesempatan untuk melakukannya tanpa mempedulikan pakaian yang dikenakan si perempuan.

Kalau menurut saya tidak. Seseorang diperbolehkan untuk berbusana seperti apa yang ia inginkan, kita tidak boleh menyalahkan orang yang berbusana selama itu membuat diri dia percaya diri. Dalam kasus tindakan pelecehan seksual seharusnya tiap individu lah harus bisa mengontrol nafsu mereka masing-masing. Setuju dengan pendapat teman-teman yang menjelaskan kasus pelecehan seksual juga bisa saja terjadi kepada orang yang berbusana selalu tertutup. Maka dari itu nafsu masing-masing individu lah yang harus dikontrol dan harus selalu menggunakan akal sehatnya.

seperti pernyataan diatas tidak ada kaitan antara pakaian dan pelecehan seksual. karena meskipun pakaian perampuan sudah tertutup mereka juga masih mengalami pelecehan seksual, karena yang perlu diperbaiki adalah cara pandang dan pikiran pelaku pelecehan seksual bukan pakaian korban itu sendiri.

1 Like

Menurut pendapat saya, busana tidak mempengaruhi tindakan pelecehan seksual, seperti yang terjadi sekarang-sekarang ini, seseorang perempuan yang sedang sholat di masjidpun masi menjadi korban pelecehan seksual. Jadi, kita tidak boleh melihat dari sisi busana. Seseorang yang melakukan tindakan pelecehan seksual itu yang harusnya di benahi otaknya, bukan busana si korban yang di benahi. Tidak ada salahnya menggunakan pakaian apapun, yang salah itu otak yang melakukan tindakan pelecehan seksual.

Menurut pandangan saya dari kasus-kasus pelecehan yang selama ini, busana yang dikenakan seseorang tidak mempengaruhi tindakan pelecehan seksual. Menyalahkan pakaian korban pelecehan seksual adalah hal yang tidak relevan dalam hal ini. Kasus pelecehan seksual terjadi 100 persen karena niat pelaku. Tidak ada korban yang “mengundang” untuk dilecehkan. Dengan kata lain, busana yang dikenakan korban bukan tanda “persetujuan” untuk dilecehkan.

Berdasarkan data Laporan Survei Nasional Pelecehan di Ruang Publik, bahwa jenis pakaian yang digunakan korban sangat beragam, seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%). Bahkan pakaian tertutup pun juga mengalami pelecehan seksual. Untuk itu, tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain terlepas dari busana apapun yang dikenakannya. Sudah saatnya kita mengubah pola pikir kita yang malah sering menyudutkan dan menyalahkan korban.

1 Like

Tidak. Seperti sumber dan informasi yang ada pada penjelasan pertanyaan, kebanyakan gaya berpakaian korban pelecehan seksual ialah rok, hijab, baju berlengan panjang, seragam sejolah, dan baju yang longgar. Dari sini saja sudah terlihat bahwa gaya berpakain terbuk atau tertutup tidak bisa dikaitkan dengan pelecehan seksual. Semua perempuan sama sama berisiko mengalaminya tidak peduli apapun pakaian yang dikenakan nya. Seperti pernyataa yang saya kutip dari salah satu spesial standup comedy dar Pandji Pragiwaksono: " Mending dilihat tapi tidak dipikirin daripada, tidak dilihat tapi dipikirin mulu. Ini adalah konsep aurat ".

1 Like

Menurut saya memang ada kemungkinan jika menggunakan pakaian yang terbuka dapat mengundang perlakuan yang negatif, tetapi saya juga tida bisa pungkiri bahwa orang yang mudah berfikir hal tidak baik seperti itu juga salah. Kita sebagai manusia memang memiliki nafsu tapi jika kita tidak mengendalikannya maka kita sudah terhitung menjadi orang yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki agama. Jadi menurut saya, kita tidak bisa hanya menyalahkan wanita yang menggunakan pakaian terbuka tetapi kita juga harus liat bahwa sebagian pria tidak memiliki perilaku yang baik. Banyak juga kasus yang tidak berhubungan denga pakaian terbuka, hal ini lebih membuktikan bahwa pelecehan seksual ini tergantung dengan moral masing-masing.

1 Like

Saya setuju dengan pendapat-pendapat yang ada diatas, bahwa tidak ada kaitannya jenis pakaian yang dipakai oleh perempuan dengan kasus pelecehan seksual, melainkan hal itu disebabkan oleh pikiran sang pelaku sendiri. Apalagi jika pikiran sudah menjadi kacau ataupun tidak memiliki kesadaran, yang bisa disebakan oleh pengaruh obat-obatan maupun alkohol. Karena tidak memiliki kesadaran maka tindakan pelecehah seksual dapat terjadi. Saya merasa tidak ada cara yang pasti untuk mencegah tindakan pelecehan tersebut, yang bisa dilakukan hanyalah meningkatkan kewaspadaan, jangan ke tempat yang banyak laki-lakinya dan jangan pulang terlalu malam, jangan percaya 100 % kepada orang yang dekat kecuali keluarga sendiri.

Menurut saya pribadi, pakaian bukanlah faktor utama seseorang mengalami pelecehan seksual. Berdasarkan survei yang telah disebutkan di atas juga setiap jenis pakaian mengalami pelecehan seksual. Menurut saya, pelecehan seksual terjadi karena pikiran dan nafsu yang tidak terkontrol dari pelaku kepada korbannya. Manusia mampu untuk berpikir secara abstrak, terutama bagi mereka yang berusia di atas >12 tahun. Jika manusia mampu untuk berpikir abstrak, baik korban perempuan tersebut berpakaian tertutup ataupun terbuka, jika pelaku memang memiliki pikiran dan nafsu yang tidak terkontrol maka dia tetap bisa memikirkan hal-hal negatif tentang korbannya.

Menurut saya, pakaian atau busana tidak memengaruhi seseorang untuk dijadikan sasaran sebagai korban pelecehan seksual.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kebanyakan korban malah dari pakaiannya yang tertutup, maka anggapan seseorang menjadi korban pelecehan karena pakaiannya yang terbuka adalah salah. Seorang atau sekelompok pelaku bejat pelecehan seksual tidak melihat bagaimana pakaian korban (tertutup atau terbuka), dari kalangan mana korban (seorang yang biasa saja atau memiliki latar belakang bagus), usia berapa korban (dari anak sampai dewasa ada saja yang menjadi korban pelecehan seksual), maupun situasi lingkungan atau situasi korban itu sendiri.

Maka yang sangat patut disalahkan adalah ‘otak selangkangan’ si pelaku. Bagaimana bisa seseorang (re: pelaku) tidak memiliki hati nurani, kesopanan, dan pengendalian diri (nafsu) bagi dirinya sendiri? Tidak paham akan aturan norma dan nilai di masyarakat serta agama? Juga tidak paham akan mental dirinya bahkan si korban? Pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus penyebab mengapa ada orang yang melakukan pelecehan seksual. Adapun jawaban dari pertanyaan ini adalah bagaimana seharusnya masyarakat bahkan aparat negara membenahi diri, membenahi pelaku pelecehan.