Apakah Boleh Berbohong kepada Orang Tua demi Kebaikan?

Berbohong

Berbohong termasuk dalam dosa besar, apalagi jika dilakukan kepada kedua orangtua kita maupun salah satunya. Namun, dalam beberapa riwayat berbohong demi kebaikan diperbolehkan. Bolehkah berbohong kepada orang tua demi kebaiakan ?

Syaikh Musthofa Al Adawiy hafidzahullah pernah ditanya, “Bolehkah anak berbohong kepada ayah dan ibunya karena atau untuk suatu kebaikan?”

Beliau menjawab,

“Sepatutnya dan wajib bagi seorang anak untuk selalu berkata jujur. Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Wajib bagi kalian untuk berkata jujur. Karena sesungguhnya kejujuran membimbing kepada kebaikan. Sedangkan Kebaikan sesungguhnya akan membimbing menuju surga. Tidaklah seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga ditentukan atasnya di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Jauhilah oleh kalian kedustaan karena sesungguhnya kedustaan akan menggiring kepada kefajiran/perbuatan dosa. Sedangkan kefajiran/perbuatan dosa menggiring pelakunya kepada neraka. Tidaklah seseorang yang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta hingga ditentukan di sisi Allah sebagai pendusta” HR. Muslim no. 2013.

Akan tetapi jika dalam keadaan darurat yang menuntut untuk berdusta, misalnya dalam rangka memperbaiki atau mendamaikan maka tingkat kedaruratan tersebut harus sesuai kadarnya (Artinya dustanya harus disesuaikan atas tingkat kedaruratannya. (Allahu a’lam)). Keadaannya dalam hal semisal ini seperti dalam keadaan darurat lainnya.

Disebutkan dalam Shohih Muslim dari hadits Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abu Mu’ith, beliau termasuk salah seorang perempuan yang pertama-pertama berhijroh, yang pernah berbai’at kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau mengabarkan bahwa sesungguhnya dia pernah mendengar Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Bukanlah termasuk pendusta orang yang berdusta untuk mendamaikan hubungan antar manusia, berbicara kebaikan dan berharap/menyampaikan kebaikan”HR. Bukhori no. 2546, Muslim no. 2605.

Ibnu Syihaab mengatakan,

“Aku tidak mendengar adanya rukhshoh/keringanan untuk berdusta kecuali pada tiga hal : [1] ketika perang, [2] untuk memperbaiki hubungan antara manusia, [3] perkataan seorang suami kepada istrinya atau perkataan seorang istri kepada suaminya”.

Diriwayatkan dalam Shohih Muslim juga dari hadits Shuhaib, sesungguhnya Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“Raja-raja dahulu sebelum kalian biasa memiliki tukang sihir. Maka ketika umur tukang sihir tersebut sudah mulai tua maka dia berkata kepada sang raja, ‘Sesungguhnya aku sudah mulai tua maka utuslah kepadaku seorang anak muda agar aku dapat mengajarkan sihir kepada kalian’. Lalu sang raja mengutus kepadanya seorang pemuda yang akan dia ajarkan sihir. Ketika sang anak berada di tengah perjalanan menuju tukang sihir ada seorang rahib/pendeta. Lalu sang anak pun duduk dan mendengarkannya setiap hendak pergi menuju tempat tukang sihir tersebut. Kemudian datanglah tukan sihir tersebut lalu memukulnya. Lalu diapun mengadukan hal itu kepada sang rahib/pendeta. Maka dia menjawab, ‘Jika kamu takut (atas pukulan tukang sihir) maka katakanlah keluargaku telah menahanku’. Dan apabila engkau takut pada keluargamu maka katakanlah, ‘Aku ditahan oleh tukang sihir’……”HR. Muslim no. 3005.

Diterjemahkan dengan perubahan redaksi seperlunya dari Kitab Fiqh Ta’amul ma’a al Walidain karya Syaikh Musthofa Al Adawiy hal. 76-77 terbitan Maktabah Makkah, Mesir].

Sumber : https://m.inilah.com/news/detail/2337910/3-batasan-berbohong-demi-kebaikan-dalam-islam

Abu Bakar Ibnu Sayyid mengatakan :

والكذب ىو اإلخبار مبا خيالف الواقع والغيبة ىي ذكرك أخاك ادلسلم مبا يكره ولو مبا فيو ولو حبضرتو وىي من الكبائر يف حق أىل العلم ومحلة القرآن ومن الصغائر يف حق غًنىم

Artinya: Berbohong adalah memberikan kabar tidak sesuai dengan kenyataannya, sedangkan ghībah ( menggunjing) yaitu membicarakan saudaramu yang muslim pada perkara yang dibencinya walaupun perkara itu ada pada dirinya dan dengan kehadirannya. Ghībah merupakan dosa besar menurut haknya ahli ilmu dan orang yang menghafal al ur‟an dan dosa kecil bagi selain mereka.

Dusta yang Diperbolehkan


Dusta ialah memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kejadiannya, baik mengetahuinya dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Sedangkan mengetahui beserta adanya kesengajaan itulah yang menjadikan orang berdosa. Tetapi adakalanya dusta menjadi mubah (boleh) dan adakalanya wajib. Batasannya adalah setiap tujuan yang baik dapat dimungkinkan mencapainya dengan berkata benar dan dusta secara bersamaan, maka hal ini haram berdusta dilakukan. Dan jika sesuatu tidak bisa dicapai kecuali dengan berdusta maka di sini dusta mubah apabila tujuan itu mubah, dan apabila tujuannya itu wajib, maka di sini berdusta itu wajib.

Seperti melihat orang yang sedang bersembuyi dari orang ẓālim (lalim) yang hendak membunuhnya atau menyakitinya maka dalam hal seperti ini berbohong wajib dilakukan karena untuk menjaga darah orang tersebut, sebagaimana keterangan Imam Fāḍil Shaikh Zainuddin bin Abdul Azīz dalam kitab Irshād al-Ibād ilā al-Sabīli al-Rashād :

Artinya: Dusta menurut ahli sunnah ialah memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kejadiannya, baik mengetahuinya dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Sedangkan mengetahui beserta adanya kesengajaan itulah yang menjadikan orang berdosa. Tetapi adakalanya dusta menjadi mubah (boleh) dan adakalanya wajib. Batasannya adalah setiap tujuan yang baik dapat dimungkinkan mencapainya dengan berkata benar dan ԁusta secara bersamaan, maka hal ini berdusta haram dilakukan. Dan jika sesuatu tidak bisa dicapai kecuali dengan berdusta maka di sini dusta mubah apabila tujuan itu mubah, dan apabila tujuannya itu wajib, maka di sini berdusta itu wajib. Seperti melihat orang yang sedang bersembuyi dari orang ẓālim (lalim) yang hendak membunuhnya atau menyakitinya maka dalam hal seperti ini berbohong wajib dilakukan karena untuk menjaga darah orang tersebut.

Keterangan di atas senada dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Fatḥ al-Mu‘īn yaitu :

Artinya :Berdusta itu haram dan terkadang wajib dilakukan seperti ketika ada orang ẓālim yang meminta tentang titipan yang hendak merampasnya maka dalam hal ini orang wajib mengingkarinya walaupun dengan berbohong dan diperbolehkan bersumpah. Apabila tidak mengingkarinya dan tidak mencegah dari memberitahu sebatas kemampuannya maka dia mengganti barang tersebut. Begitu juga wajib berbohong apabila melihat orang yang dijaga darahnya takut kepada orang ẓālim yang hendak membunuhnya. Dan terkadang diperbolehkan seperti ketika tujuan perang tidak sempurna, mendamaikan orang yang bermusuhan, dan ridonya istri tidak tercapai kecuali dengan berbohong maka hukumnya mubah.

Dalam kitab I‘ānat al-Ṭālibīn dikatakan:

Artinya: Berbohong terkadang dianjurkan dikarenakan adanya hajat atau kemaslahatan dan terkadang wajib dikarenakan adanya darurat yang menuntut.

Artinya: Di dalam Iḥyā’ dikatan batasan untuk semua itu adalah setiap perkara yang tujuannya baik yang dimungkinkan memperolehnya dengan jujur dan bohong secara bersamaan maka bohong dalam hal ini hukumnya haram. Atau hanya dengan berbohong tujuan itu akan tercapai maka hukumnya mubah apabila perkara yang dituju itu mubah. Dan wajib apabila tujuan itu wajib seperti melihat orang yang ma‘sūm (dilindungi) yang takut pada orang ẓālim yang hendak membunuh atau melukainya, dikarenakan wajibnya menjaga darahnya. Atau orang ẓālim yang meminta tentang titipan yang hendak merampasnya maka bagi orang tersebut bajib mengingkarinya walaupun dengan berbohong. Bahkan apabila diminta bersumpah maka wajib baginya bersumpah dan menyamarkan dan apabila tidak maka dia berdosa dan wajib membayar denda. Dan apabila tujuan perang tidak bisa sempurna atau mendamaikan orang yang berselisih kecuali dengan berbohong maka diperbolehkan. Apabila seorang pemimpin bertanya tentang rahasia kejelekan seseorang yang ada pada dirinya semisal zina dan minum arak maka diperbolehkan baginya berbohong dengan mengatakan saya tidak melakukannya dan baginya juga diperbolehkan mengingkari rahasia temannya.

Dari keterangan di atas jelas disebutkan bahwa berbohong hukumnya adalah haram namun pada situasi dan kondisi tertentu bisa menjadi boleh bahkan wajib dilakukan. Kebolehan berbohong tersebut jika di dalamnya ada unsur kemaslahatan yang ditimbulkan. Dan dari semua kemaslahatan yang ada dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dilindungi yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka, berbohong kepada orang tua demi kebaikan diperbolehkan dengan memperhatikan situasi dan kondisi seperti yang diuraikan diatas.