Apakah bertaubat dapat dilakukan setiap hari ?

Taubat adalah meninggalkan dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.

Apakah setiap hari orang dapat bertaubat?

Taubat merupakan salah satu tema penting dan asasi yang terdapat dalam Islam. Seluruh agama samawi menaruh perhatian terhadap masalah ini. Taubat di sisi para wali dan arif juga memiliki kedudukan khusus.

Taubat diharuskan pada setiap saat dan setiap detik; karena manusia meski boleh jadi tidak melakukan dosa secara lahir namun was-was setan dan pikiran-pikiran yang bercabang dalam dirinya yang dapat membuatnya lalai dari mengingat Tuhan. Dan apabila diasumsikan bahwa mereka juga aman dari was-was setan, maka hatinya tidak terlepas dari kelalaian dan adanya kekurangan dalam mengenal Allah Swt, sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Kesemua ini adalah kekurangan dimana jalan kembalinya adalah melalui taubat pada setiap kondisi dan keadaan; karena itu para pelancong di jalan Allah (sâlik ilallâh) dan para wali pada setiap saat senantiasa dalam keadaan bertaubat.

Meski para ahli linguistik memaknai taubat itu sebagai merujuk dan kembali dari dosa namun jelas bahwa hal ini tidak memiliki makna terkait dengan para nabi dan washinya; karena mereka terjaga dan terpelihara dari dosa dan kesalahan.

Dalam riwayat disebutkan,

“Rasulullah Saw bertaubat setiap harinya sebanyak tujuh kali sementara beliau tidak melakukan dosa.”

Karena itu taubat Rasulullah Saw dan para washinya disebabkan oleh turunnya mereka ke dunia materi dan jasmani ini serta sibuk terhadap hal-hal yang mubah, tidur, makan yang tidak dapat dihindari. Kesibukan-kesibukan ini terkadang menghalangi mereka dari makam syuhud dan tenggelam di dalamnya serta menyebabkan mereka tertinggal dari dzikir secara berterusan; karena itu taubat dan istighfar mereka dilakukan disebabkan oleh masalah ini.

Sehubungan dengan hal ini terdapat ungkapan bijak yang menyingung masalah di atas, yaitu, “hasanât al-abrâr sayyiât al-muqarrabin” (kebaikan-kebaikan boleh jadi ketaatan bagi abrâr namun perbuatan-perbuatan ini dinilai sebagai maksiat bagi muqarrabin). Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh abrar (orang-orang baik) merupakan ketaatan namun boleh jadi kebaikan-kebaikan itu dinilai maksiat oleh para muqarrabin (golongan para wali dan nabi).

Dengan penjelasan ini harus dikatakan bahwa tidak hanya setiap hari dimana setiap detiknya manusia harus dalam kondisi taubat bahkan apabila manusia juga tidak melakukan dosa satu pun, kesibukannya pada masalah-masalah keseharian akan menyebabkannya lalai dari Allah Swt. Posisi jauh seperti ini meniscayakan adanya rujuk dan kembali (kepada) Allah Swt.