Apakah berkata kotor dapat membatalkan puasa?

Apakah perkataan kotor yang diucapkan sengaja atau pun tidak sengaja di siang hari dapat membatalkan puasa?

puasa

Pembatal puasa itu adalah: jima (bersetubuh), menyengaja muntah, haid/nifas, dibekam (beberapa ahli berbeda pendapat tentang bekam), makan dan minum.

Oleh karena itu, berkata kotor bukanlah pembatal puasa. Tetapi hal ini bukan berarti diperbolehkan, bahkan walaupun tidak berpuasa sekalipun, usahakan untuk selalu berkata yang baik-baik saja.

Dalam Ihya ‘Ulumuddin, Imam al-Ghazali memberi tiga tingkatan puasa, sebagaimana yang beliau ungkapkan:

Ketahuilah ada tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, puasa khusus dari khusus”.

Adapun tiga tingkatan tersebut yaitu:

1. Puasa umum yaitu “mencegah perut dan kemaluan dari pada memenuhi keinginannya”.

Puasa umum ini titik beratkan hanya kepada menahan hal-hal yang membatalkan, dalam bentuk kebutuhan perut dan kelamin, tanpa memandang lagi kepada hal-hal yang diharamkan dalam bentuk perkataan dan perbuatan.

Pada tingkat ini orang yang melakukan puasa tidak akan terbatas dari kemaksiatan, karena orang pada tingkat ini tidak mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula. Puasa tingkatan pemula atau kalangan awam terdiri atas dua kelompok.

  • Pertama, kelompok orang yang berpuasa karena pengaruh lingkungan semata sehingga puasanya layak disebut puasa tradisi. Ia berpuasa karena pengaruh orang tua atau masyarakat sekitarnya yang telah menjalani puasa secara turun temurun. Karena orang banyak berpuasa, ia ikut-ikutan berpuasa. Ia tidak punya pengetahuan sedikit pun tentang puasa, termasuk tentang syarat, rukun, apa-apa yang membatalkan puasa, dan sebagainya. Baginya, ia merasa cukup hanya dengan berpuasa. Puasanya tidak akan berdampak apapun kecuali lapar dan dahaga.

  • Kelompok kedua adalah orang yang berpuasa disertai pengetahuan tentang dasar dasar puasa, seperti syarat rukun, dan yang membatalkan puasa. Pada intinya puasa kelompok awam kedua ini lebih baik dari kelompok pertama, karena mereka berpuasa berdasarkan pengetahuan meskipun terbatas pada pengetahuan tentang aturan formal syari‟at, tanpa memahami hakikat puasa, seperti dampaknya terhadap kesucian hati. Jadi, puasa yang mereka lakukan sah dan sesuai dengan aturan syari‟at. Hanya saja, mereka hanya mementingkan keberagamaan lahiriah, belum memasuki tujuan kehidupan beragama yang sesungguhnya. Karena itu, puasa seperti ini dikategorikan sebagai puasa umum atau puasa pemula (bidayah), karena baru memenuhi kriteria dasar pelaksanaan puasa.

Menurut al-Ghazali, puasa tingkatan umum ini ditandai dengan upaya menahan perut dan syahwat. Karena itu, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menyebut puasa tingkatan umum ini dengan puasa badani.

2) Puasa khusus yaitu “berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya daripada dosa”.

Puasa khusus ini, disamping mencegah keinginan perut dari nafsu kelamin, juga menahan keinginan dari anggota-anggota badan seluruhnya.

Menurut al-Ghazali, perbedaan antara tingkatan umum dan tingkatan khusus terletak pada pengekangan diri yang dilakukan masing-masing. Pada tingkatan umum, orang berpuasa dengan menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan segala hal lain yang membatalkan puasa. Sementara, kalangan khusus berpuasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, disertai menahan diri dari segala perbuatan buruk. Ia menahan mata, lisan, telinga, kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari keburukan.

Ia mengendalikan matanya agar tidak melihat yang dicela agama. Ia mengendalikan lisannya agar tidak berbohong, bergunjing (ghibah), fitnah (namimah), berkata kotor (fahsy), berkata kasar (jafa’), bermusuhan (khushumah), dan membanggakan diri (mira’). Ia menjaga telinganya agar tidak mendengar segala yang tidak baik. Dan ia menjaga seluruh anggota tubuhnya, seperti kaki dan tangan dari perbuatan dosa, termasuk menjaga perutnya dari makanan yang syubhat, atau dari makanan yang halal namun berlebihan.

Cak Nur menyebut puasa tingkatan ini dengan sebutan puasa nafsani (psikologis).

Berangkat dari konsepsi al-Qur‟an, bahwa kehidupan yang sebenarnya hanya ada disisi-Nya yaitu akhirat, maka manusia seharusnya memandang segala kenikmatan yang bersifat lahiriah dan hanya bersifat semu sehingga tidak pula larut di dalamnya. Seperti orang-orang yang berada pada tingkat puasa khusus, benar-benar disadarkan untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diingini oleh anggota-anggota tersebut.

Tujuannya untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya yakni keterangan batin.

Puasa menurut Imam al-Ghazali adalah pada hakekatnya sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi, apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat, maka motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. akan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah. Sebagaimana yang beliau jelaskan:

“Bila dalam diri kita telah tumbuh kerinduan untuk bertemu dengan Allah SWT. dan bila
keinginan kita untuk mendapatkan makrifat tentang keinginan-Nya nyata dan lebih kuat
daripada nafsu makan dan seksual anda berarti anda telah menggandrungi taman
makrifat ketimbang surga pemuas nafsu indrawi.

Adapun puasa khusus yaitu puasanya orang-orang shalih, maka puasa itu adalah menahan anggota-anggota badan dari dosa-dosa. Kesempurnaan puasa khusus ini dengan enam hal, diantaranya:

  • Memejamkan dan menahan mata dari melebarkan pandangan kepada segala sesuatu yang tercela dan dibenci kepada sesuatu yang menyibukkan hati dan melalaikan dari Allah „Azza wa jalla.

  • Memelihara lidah dari berbicara tanpa arah, dusta, menggunjing, mengumpat, berkata buruk, berkata kasar, permusuhan dan pertengkaran dan melazimkan diam dan sibuk dengan mengingat Allah Yang Maha Suci dan membaca kitab suci Al-Qur‟an. Ini adalah puasa lidah. Sufyan berkata: “Menggunjing itu merusak puasa.”

  • Menahan pendengaran dari mendengarkan segala sesuatu yang makruh, karena segala sesuatu yang haram diucapkan adalah haram pula untuk didengarkan.

  • Menahan seluruh anggota badan baik kaki maupun tangan dari dosa-dosa dan makruh. Dan menahan perut dari hal-hal yang syubhat pada waktu berbuka. Maka tidak ada artinya puasa dimana puasa itu mencegah dari makanan yang halal kemudian berbuka dengan barang yang haram.

  • Tidak memperbanyak makanan yang halal pada waktu berbuka puasa dengan memenuhi perutnya. Tidak ada satu tempatpun yang lebih dibenci oleh Allah Ta‟ala dari pada perut yang penuh dengan barang yang halal.

  • Setelah berbuka puasa hendaklah hatinya tergantung dan goncang antara takut dan harapan, karena ia tidak mengetahui apakah puasanya diterima, maka ia itu termasuk orang yang didekatkan kepada Allah atau tertolak maka ia termasuk orang yang dimurkai.

3) Puasa khusus dari khusus “yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah SWT. secara keseluruhan.

Puasa khusus dan yang khusus menurut beliau adalah puasanya para Nabi, orangorang siddiq dan yang dekat dengan khalik, menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi, sehingga hatinya lupa terhadap Allah SWT. kecuali masalah-masalah dunia yang mendorong kearah pemahaman agama, karena hal tersebut dianggap sebagai tanda ingat kepada akhirat.

Dalam bukunya Imam al-Ghazali yang berjudul “menangkap kedalaman rohaniah peribadatan Islam”, menerangkan bahwa sehingga mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa apabila hari-harinya terisi dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut bermula dari rasa kurang yakin dengan janji Allah SWT untuk mencukupkan dengan rizkinya.

Tingkatan akhir (nihayah) yang menjadi puncak capaian manusia dalam perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang sudah mencapai tingkatan ini, selain harus mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa, ia juga harus mengendalikan nafsu psikologis agar tidak memikirkan segala sesuatu selain Allah. Baginya, segala bentuk pikiran, imajinasi, dan ilusi yang menjauhkan kita dari Allah akan merusak puasa. Bagi kaum arif, hanya satu yang menjadi tumpuan pikiran dan segala aktivitas, yaitu Allah.

1 Like