Apakah berhubungan suami istri atas dasar suka sama suka dapat dipidana?

Apakah berhubungan suami istri atas dasar suka sama suka dapat dipidana?

image

Berhubungan suami istri tanpada ada ikatan yang resmi, maka dianggap sebagai perzinahan. sedangakan, definisi Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.

Kejahatan zina dirumuskan dalam pasal 284, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.

(1) Diancam dengan pidana penjarara paling lama sembilan bulan:

1 a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;

1 b. Seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;

2 a. Seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui bahwa yang turut bersalah telah kawin;

b. Seorang perempuan yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya;

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72,73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika suami/istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Mengenai kejahatan zina yang dirumuskan pada ayat (1) saja, terdiri dari empat macam larangan, yakni:

  1. Seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina, padahal pasal 27 BW berlaku baginya;

  2. Seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW, berlaku baginya;

  3. Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;

  4. Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa Pasal 27 BW, berlaku baginya;

Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu:

  1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istri;

  2. Bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW;

  3. Dirinya sedang berada dalam perkawinan;

Apabila pada laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27 BW, sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 BW, dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukam kejahatan zina, akan tetapi telah turut serta melakukan zina, yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri.

Turut serta melakukan zina ini, dilihat dari pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger). Jadi untuk berkualitas turut serta dalam berzina, diperlukan empat syarat, yaitu:

  1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suaminya atau bukan istrinya. Orang ini tidak harus telah menikah;

  2. Dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 BW;

  3. Temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 BW;

  4. Diketahuinya (unsur kesalahan: kesengajaan) bahwa:

    a. Temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristri, dan
    b. Yang Pasal 27 BW berlaku bagi temannya bersetubuh itu.

Dengan disebutkan hanya pasal 27 BW sebagai ukuran, timbul keganjilan. Warga negara Indonesia yang tunduk pada pasal 27 BW adalah orang-orang Eropa dan Cina. Yang tidak tunduk adalah orang-orang indonesia asli, orang-orang Arab, India dan Pakistan, serta orang-orang lain yang bukan orang Eropa kecuali Cina. Maka, tidak hanya orang-orang Islam di antara orang-orang Indonesia asli dan lain-lain, tetapi orang kristen di antara mereka tunduk kepada peraturan bahwa tindak pidana zina hanya dapat dilakukan oleh seorang isteri, tidak boleh seorang suami, sedangkan mereka tunduk pada peraturan monogami.

Hal ini tidak logis. Sementara itu, apabila baik laki-laki maupun perempuannya tidak tunduk pada pasal 27 BW, kedua-duanya, baik laki-laki maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga tidak ada tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya.

Begitu juga apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan artinya tidak sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal 27 BW, maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zina maupun turut serta melakukan zina.

Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogami, dimana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami. Apa yang dimaksud dengan bersetubuh atau persetubuhan,

Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya menyatakan bahwa persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani.

Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksudkan dalam Pasal 284 (1) KUHP merupakan suatu opzettleijk delick atau suatu tindak pidana yang harus di lakukan dengan sengaja. Itu berarti unsur kesengajaan tersebut harus terbukti ada pada diri pelaku, agar ia dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur kesengajaan dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana perzinahan yang diatur dalam pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a atau b dan angka 2 huruf a ataub KUHP.

Jika unsur kesengajaan dalam bentuk kehendak atau dalam bentuk maksud untuk melakukan perzinahan pada diri pelaku ternyata tidak dapat di buktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum atau ontslag van rechtsvervolging bagi pelaku.

Di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan angka 2 huruf b KUHP, undang-undang telah mensyratkan adanya pengetahuan para pelaku yakni bahwa ketentuan yang diatur dalam pasal 27 Burgerlijk Wetboek itu berlaku bagi dirinya atau berlaku bagi laki-laki dengan siapa seorang pelaku wanita itu telah melakukan perzinahan.

Jika di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku, pengetahuan tentang berlakunya ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 Burgerlijk Wetboek ternyata tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum atau oleh hakim, maka hakim akan memberikan putusan bebas atau vrijspraak bagi pelaku. Tentang perbuatan mana yang apabila dilakukan orang dapat dipandang sebagai suatu perzinahan, ternyata undang-undang tidak memberikan penjelasannya, seolah-olah dimaksudkan dengan perzinahan sudah jelas bagi setiap orang.

Oleh karena itu, hakim harus adil dalam memutuskan perkara sehingga tidak ada rasa cemburu atau sakit hati terhadap kedua pelaku perzinahan tersebut.

Seperti telah dikemukakan, bahwa KUHP maupun RUU-KUHP tidak melarang orang-orang melakukan hubungan seksual, baik dengan lawan jenis maupun sejenis, asal dilakukan atas dasar suka sama suka dan keduanya telah dewasa serta keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah dengan yang lain.

Meskipun Pasal 420 dan Pasal 422 RUUKUHP mengatur tentang larangan bagi orang-orang yang tidak terikat perkawinan (bujang dengan gadis, atau duda dengan janda) melakukan persenggamaan di luar perkawinan, namun menurut kedua pasal tersebut, hubungan persenggamaan yang dilakukan orang-orang bersangkutan baru dapat dianggap melanggar kesusilaan, apabila masyarakat setempat merasa terganggu rasa kesusilaannya. Dan orang yang dapat melakukan pengaduan adalah hanya orang-orang tertentu, yaitu keluarga dari kedua bela pihak atau salah satu pihak sampai derajat ketiga, atau Kepala Adat setempat, atau Kepala Desa atau Lurah setempat.

Orang-orang selain mereka (Kepala Adat, Kepala Desa/Lurah) tidak berhak melakukan pengaduan kepada pihak yang berwajib.36 34 Yang dimaksud dengan mukah ialah melakukan hubungan seksual terhadap lawan jenis, dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa ada ikatan pernikahan sah menurut agama maupun Undang-Undang yang membenarkannya.

Sementara itu dalam KUHP Republik Indonesia, kategori zina muhsan dan ghairu muhsan tidak dikenal. Dalam Pasal 284, zina hanyalah zina yang yang pelakunya sudah terikat dengan akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi dalam rumah tangga dan termasuk dalam delik aduan, sehingga di samping KUHP tidak mengenal istilah zina ghairu muhsan, di dalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama para pelaku suami atau istri yang tetap merasa aman dengan delik perzinahan yang dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak dapat dituntuk karena tidak diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan.

Jadi, berarti Pasal 284 KUHP ini tidak akan berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat, dan bahkan memberi peluang.”

Referensi :

  • Ahmad Muslih Wardi, Hukum Pidana Islam, h. 72-73. 29 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Bogor: Politea, 1995)
  • KUHP dan KUHAP Beserta Penjelasannya ( Cet. 1; Bandung: Citra Umbara, 2006)
  • Widjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Cet. 3; Bandung: PT Refika Aditama, 2010),
  • Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
  • Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan (cet. 2; Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
  • Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP (Cet. 3; Jakarta: Sinar Grafika, 2010) * Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi (Cet. 2; Jakarta: Prenada Media, 2004)