Apakah ateis di Indonesia layak mendapat tempat di masyarakat?

Sebagaimana kita tahu, Indonesia merupakan negara yang agamis. Mendasarkan hukumnya pada Pancasila yang menyebut Ketuhanan dalam sila pertama, negara dan pemerintah sendiri mengakui akan adanya Tuhan dan mewajibkan masyarakat untuk beragama. Di Indonesia menjadi ateis tampaknya belum bisa menjadi pilihan hidup yang dinyatakan secara terbuka karena masyarakat yang sangat agamis. Padahal memilih untuk tidak beragama sejatinya adalah hak asasi manusia.

Seluruh kehidupan sebagai seorang warga negara di Indonesia tak jauh dari urusan agama. Keluarga di Indonesia mewariskan agama kepada anak-anaknya karena lingkungan sosial yang religius. Bahkan hingga membuat KTP pun, kita sempat harus mencantumkan agama, walaupun belakangan ini kolom agama dapat dikosongkan. Mereka yang menyatakan diri sebagai ateis lantas dimusuhi, didiskriminasi dan dicap sebagai orang yang tidak beriman. Menyimpang, salah, berdosa, jahat dan pasti masuk neraka. Bahkan mereka juga diasosiasikan dengan PKI. Kurangnya literasi membuat masyarakat menyamakan PKI dan komunisme dengan ateisme.

Orang-orang yang berani menjadi ateis di Indonesia sudah menempuh banyak konflik dan pergumulan sebelum mereka berani untuk mempertanyakan kebenaran kepercayaan yang mereka anut sebelumnya. Pemikiran mereka tidak lagi terkungkung dalam batasan dogma-dogma agama, mereka merasa agama tidak memberikan informasi yang memadai untuk diterima secara intelektual. Orang-orang beragama di Indonesia yang mungkin belum berani berpikir kritis seperti mereka menganggap kaum ini sesat, hanya karena kekritisan pikirnya.

Mungkin ini memang topik yang agak sensitif di Indonesia mengingat banyak dari kita yang merupakan orang beragama termasuk saya. Namun saya ingin membawa topik ini ke Dictio dan mengetahui tanggapan kalian mengenai isu ini. Menurut kalian, apakah ateis layak mendapat tempat di masyarakat Indonesia?

Referensi

Aziz, N. (2017). Apakah ateisme memang tidak punya tempat di Indonesia?. BBC. Diambil dari Apakah ateisme memang tidak punya tempat di Indonesia? - BBC News Indonesia

Rijkers, M. (2020). Menjadi Ateis di Negeri Religius Indonesia. Dwinesia. Diambil dari Menjadi Ateis di Negeri Religius Indonesia – DW – 21.03.2020

1 Like

Pertanyaan ini saya rasa, cukup sulit ya untuk di jawab. Pertama - tama dari segi kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan, di negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia sebenarnya tidaklah dilarang, karena memang pada kenyataannya, tidak ada hukum yang secara konkrit melarang seorang warga negara Indonesia untuk menjadi seorang ateis. atheisme sendiri dalam definisinya adalah sebuah pandangan yang tidak mempercayai adanya sosok Tuhan dan tidak memeluk suatu agama tertentu. tetapi ada juga orang yang mengakui adanya sosok Tuhan, tetapi tidak memeluk suatu agama tertentu yang sering disebut sebagai agnostik. Di Indonesia sendiri, istilah atheis dan agnostik sering disama ratakan, padahal kenyataannya adalah, atheis dan agnostik merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Jika kita bertanya bagaimana penerimaan atheis dan agnostik di Indonesia, saya berpendapat jika tentu saja mereka ini juga seharusnya layak mendapatkan tempat di masyarakat, karena yang menjadi poin permasalahan disini adalah tentang pandangan dan kepercayaan. Saya juga menganggap jika beragama atau tidak adalah pilihan dari masing - masing orang yang tidak bisa diutak - atik dan bagian dari hak asasi manusia. Tetapi dalam cakupan yang lebih besar lagi, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya Indonesia adalah negara religius yang dimana asas Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum sebagai poin pertama di dalam landasan idiil kita yakni Pancasila. Sebagai salah satu poin di dalam landasan idiil, ketuhanan yang maha esa seolah menegaskan status kita sebagai bangsa yang beragama.

Tidak dapat di pungkiri memang, persepsi dan penerimaan sebagian besar masyarakat Indonesia lebih cenderung kearah negatif jika sudah menyangkut soal atheisme dan agnostik yang membuat para penganut kedua aliran ini kebanyakan lebih memilih menutupnya dari publik. Tetapi ada juga sebagian kecil orang yang berani mengungkap identitas mereka sebagai atheis dan agnostik. sering juga para penganut agnostik dan atheisme ini menerima sentimen negatif dari masyarakat entah itu berupa cibiran dan lain sebagainya. Selain itu berbagai aturan administrasi kependudukan tidak jauh-jauh dari identitas agam yang membuat para ateis dan agnostik terpaksa harus mencantumkan satu agama tertentu di KTP dan KK mereka.

Jika sila pertama menjadi rujukan seseorang beragama, idealnya rujukan sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menjadi dasar memperlakukan manusia lain termasuk para ateis dan agnostik.

Well pada akhirnya, bergama dan tidak bergama itu adalah pilihan dari masing - masing orang yang tidak dapat dipaksakan apalagi sampai dipidanakan. semua bebas menganut pilihan kepercayaan mereka.

1 Like

Jika melihat kepada sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan yang maha Esa’, jawabannya sudah jelas. Secara konstitusional Ketuhanan adalah elemen dasar seorang manusia Indonesia. Jika kita tidak memiliki agama jelas kita tidak mengikuti sila 1 yang mengatakan jika Tuhan itu adalah segalanya dalam kehidupan bernegara, bukan melanggar namun Tuhan adalah pedoman wajib bagi kehidupan sehari-hari.

Dan wajar jika orang ateis dimusuhi, karena ia secara sadar melakukan hal berbeda dari yang disepakati oleh mayoritas orang indonesia dalam konstitusi. Ia secara sadar memilih untuk mengabaikan peraturan atau status quo yang ada dan hal itu tentunya dapat mempengaruhi keseimbangan dan harmoni yang sudah ada mengikuti konstitusi yang disepakati semua. Mereka memusuhi selain karena berbeda juga karena orang tersebut dianggap berkhianat atau melanggar kesepakatan bersama sejak dulu.

Ateis tidak memiliki tempat di masyarakat Indonesia jika dilihat dari sisi tatanan sosial dan kosntitusi. Indonesia dibangun atas dasar Ketuhanan dalam rancangannya dan memilih untuk tidak memiliki Tuhan jelas berlawanan keras dengan desain dasar susunan sosial Indonesia.

Namun .

Mereka yang ateis bebas berpikir seusia yang mereka mau, dan orang orang disekitar mereka pun juga tidak akan peduli … selama orang tersebut tidak merusak tatanan seperti yang dijelaskan di atas.

1 Like

Cukup sulit untuk menjawab pertanyaan ini mengingat sila pertama yang ada di pancasila berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Jika kita menggunakan sila pertama ini dalam menentukan apakah ateis dapat hidup di Indonesia, maka sudah pasti tidak layak. Namun, konteks dari pertanyaan ini adalah apakah mereka layak mendapat tempat di masyarakat dan kalau menurut saya mereka layak mendapatkan tempat di masyarakat. Alasan mengapa saya menganggap mereka layak mendapatkan tempat di masyarakat adalah mereka ini juga sama seperti kita. Namun yang membedakan hanya di bagian dimana mereka tidak mempercayai Tuhan dan persoalan agama merupakan persoalan masing-masing individu untuk mempercayainya atau tidak.

Wah pertanyaan yang agak sensitif yaa… kalau dari saya pribadi soal agama tu ya urusan masing-masing dan saya pun tidak akan mengomentari jika ada teman saya yang seperti itu. Tetapi jangan sampai hal tersebut di lumrah kan di Indonesia, takutnya jadi banyak orang yang memilih untuk tidak punya agama dan bahkan bisa mendominasi. Kalau sampe ada yang mendiskriminasi, memusuhi, dan lain sebagainya menurut saya terlalu jahat sih ya karena hal tersebut ya hanya tergantung dari pribadinya masing-masing. Bahkan orang yang punya agama pun belum tentu taat akan peraturan agamanya, jadi menurut saya jangan di kucilkan justru kita rangkul siapa tau d=orang tersebut bisa berubah pikiran untuk memiliki agama.

Ateis di Indonesia, seperti semua individu, seharusnya dihormati dan diakui hak-haknya dalam masyarakat. Keberagaman keyakinan dan pandangan hidup merupakan bagian penting dari nilai-nilai demokratis. Mendukung inklusivitas dan dialog antar keyakinan dapat memperkuat harmoni sosial. Memahami bahwa perbedaan keyakinan adalah hak asasi manusia yang perlu dihargai.

Apa tidak bertentangan dengan pancasila sila pertama ?


Sila Pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tidak secara khusus mengecualikan atau mengecam pandangan ateis. Pancasila menekankan keberagaman keyakinan dan menghormati hak setiap warga negara untuk memilih dan menjalankan keyakinan agamanya sendiri. Oleh karena itu, mendukung hak seorang ateis untuk ada di masyarakat Indonesia tidak seharusnya bertentangan dengan nilai Sila Pertama.

Penting untuk diingat bahwa Pancasila bersifat inklusif dan menghargai keberagaman. Prinsip-prinsipnya mendorong toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Oleh karena itu, mendukung keberadaan ateis di Indonesia sejalan dengan semangat kebhinekaan yang dijunjung tinggi oleh Pancasila.

Walaupun di Indonesia, pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), umumnya mencantumkan kolom agama. Hal ini menjadi salah satu persyaratan administratif dalam proses pendaftaran penduduk. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa mencantumkan agama di KTP adalah kebijakan administratif dan bukan menunjukkan kewajiban atau batasan dalam menjalankan keyakinan agama atau ketidakberagamaan. Kebebasan beragama dan berkeyakinan tetap dihormati sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Kesimpulannya, orang ateis di Indonesia sebaiknya dirangkul untuk diajak berdiskusi karena bagaimanapun “tidak percaya adanya Tuhan Sang Pencipta Langit dan Bumi” adalah pemahaman yang salah secara rasional.