Apakah Alasan untuk Menikah Muda?

menikah muda

Saya tiba-tiba teringat tentang seminar yang baru saja saya datangi, seseorang pemateri menyarankan agar kita untuk menikah muda atau lebih tepatnya setelah lulus S1. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan tugas seorang laki-laki untuk menafkahi, jika lulus S1 langsung dapat kerja belum tentu gaji tersebut cukup untuk kebutuhan rumah tangga ?

3 Likes

Ya benar sekali, tanggungjawab seorang suami sangat berat, terutama dalam menafkahi anak dan istrinya.

Menurut saya pribadi, untuk urusan rizky atau dalam hal ini bisa dikatakan pekerjaan suami apakah menunjang untuk pernikahan nya, seorang lelaki yang sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, bisa dikatakan mapan dan mampu untuk menikah belum tentu setelah menikah dia masih mendapatkan pekerjaan nya, bisa saja hilang pekerjaan nya, atau mungkin tetap kekurangan walaupun bekerja dengan gaji yang tinggi .

Namun sebaliknya, seorang lelaki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, atau mungkin belum mempunyai pekerjaan, belum tentu keluarganya tidak ternafkahi, bisa saja dia mendapatkan pekerjaan yang dapat menunjang kebutuhan hidup keluarganya, tidak ada yang tahu soal itu.

Saya pernah membaca NOVEL tentang NIKAH DINI yang isinya benar2 real, kisah nyata.
Keduanya masih mahasiwa di UI, baik sang calon istri maupun suami, tapi karena mereka sudah mantap dan yakin bahwa urusan rizqy sudah diatur oleh Allah SWT,mereka pun melangsungkan pernikahan, bahkan setelah pernikahan mereka masih bisa melanjutkan perkuliahan mereka dengan baik sampai lulus. Dan mereka sekarang sukses sebagai seorang penulis, banyak buku yang sudah mereka terbitkan, salah satu nya buku NOVEL yang saya baca.

Kesimpulan nya, rizky itu ditentukan oleh Allah SWT, bukan soal jabatan, pekerjaan, atau status sosial. Jadi jangan takut soal nafkah, itu semua sudah diatur oleh-Nya, yang kita harus perhatikan dalam hal NIKAH DINI ialah kesiapan mental kita, kedewasaan, serta apakah kita mampu menanggung semua tanggungjawab sebagai seorang suami. Karena banyak contoh kasus pernikahan yang hanya dilakukan sederhana, bahkan sang suami maupun istri tidak mempunyai pekerjaan, bisa dikatakan kurang cukup untuk kebutuhan hidup keluarga nya, namun pada akhirnya bisa bahagia, bahkan bisa sukses.

Mungkin itu saja sedikit tanggapan dari saya, bila terdapat tanggapan atau perkataan yang kurang enak, keliru, mohon maaf .
Mohon maaf juga bila referensinya kurang detail.
Trmksh

BTW, topik nya bagus gan . :grin:

1 Like

Apakah definisi dari menikah muda ? Apabila mengacu pada data UNICEF, pernikahan muda, atau disebut pernikahan anak, adalah pernikahan yang dilakukan sebelum umur 18 tahun.

Saat ini, UU Perkawinan di Indonesia menyatakan bahwa usia terendah untuk perkawinan yang sah bagi anak perempuan adalah 16 tahun dan anak laki-laki 19 tahun. Undang-undang ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak 2002 (direvisi pada tahun 2014) yang menyatakan bahwa usia anak adalah di bawah 18 tahun dan orang tua bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan usia anak.

Perkawinan usia anak melanggar sejumlah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak (KHA) yang di antaranya sebagai berikut:

  • Hak atas pendidikan : perkawinan usia anak mengingkari hak anak untuk memperoleh pendidikan, bermain, dan memenuhi potensi mereka karena dapat mengganggu atau mengakhiri pendidikan mereka

  • Hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan (termasuk kekerasan seksual) : perkawinan usia anak meningkatkan kerentanan anak perempuan terhadap kekerasan fisik, seksual, dan mental

  • Hak atas kesehatan : perkawinan usia anak dapat meningkatkan risiko anak perempuan terhadap penyakit dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dini. Selanjutnya, perkawinan usia anak membatasi kontrol anak perempuan atas tubuh mereka sendiri, termasuk kemampuan seksual dan reproduksi mereka

  • Hak untuk dilindungi dari eksploitasi: perkawinan usia anak seringkali terjadi tanpa persetujuan anak atau melibatkan pemaksaan yang menghasilkan keputusan yang ditujukan untuk mengambil keuntungan dari mereka atau merugikan mereka daripada memastikan bahwa kepentingan terbaik mereka terpenuhi

  • Hak untuk tidak dipisahkan dari orang tua mereka (dipisahkan dari orang tua bertentangan dengan keinginan mereka) : perkawinan usia anak memisahkan anak perempuan dari keluarga mereka dan menempatkan mereka dalam hubungan dan lingkungan yang asing dimana mereka mungkin tidak dirawat atau dilindungi, dan dimana mereka tidak memiliki suara atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan atas kehidupan mereka sendiri.

Praktik perkawinan usia anak seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap status kesehatan, pendidikan, ekonomi, keamanan anak perempuan dan anak-anak mereka, serta menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat.

Berikut adalah dampak pernikahan anak, baik dampak bagi ibu muda, anak-anaknya maupun dampak bagi masyarakat.

Bagi anak perempuan

Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan.

Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun, dan secara global kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun.

Anak perempuan menghadapi risiko tingkat komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia.

Terdapat kajian yang menunjukkan bahwa perkawinan usia anak di Indonesia berhubungan dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap risiko persalinan dini. Anak perempuan yang telah menikah cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah.

Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak. Menurut salah satu laporan, 85 persen anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya kesempatan kerja. Terdapat sekolah di Indonesia yang menolak anak perempuan yang telah menikah untuk bersekolah.

Anak perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah lebih tidak siap untuk memasuki masa dewasa dan memberikan kontribusi, baik terhadap keluarga mereka maupun masyarakat.

Mereka memiliki lebih sedikit suara dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan kurang mampu mengadvokasi diri mereka sendiri atau anak-anak mereka. Mereka juga kurang mampu untuk memperoleh penghasilan dan memberikan kontribusi finansial bagi keluarga. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan angka kemiskinan.

Perkawinan pada usia muda membebani anak perempuan dengan tanggung jawab menjadi seorang istri, pasangan seks, dan ibu, peran-peran yang seharusnya dilakukan orang dewasa, yang belum siap untuk dilakukan oleh anak perempuan. Perkawinan ini juga menimbulkan beban psikologis dan emosional yang hebat bagi mereka. Selain itu juga terdapat kesenjangan usia, dimana anak perempuan jauh lebih muda dari pasangan mereka.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah pada usia dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk bunuh diri, sebagian dapat disebabkan mereka tidak memiliki status, kekuasaan, dukungan, dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.

Selain itu mereka juga kurang mampu untuk menegosiasikan hubungan seks aman, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi menular seksual seperti HIV.

Kajian lain juga menunjukkan bahwa pengantin anak memiliki peluang lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan emosional, serta isolasi sosial, yang merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka di dalam rumah tangga mereka.

Pengantin muda lebih sering mengalami kekerasan. Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga dianggap wajar oleh sebagian besar orang muda: 41 persen anak perempuan usia 15-19 tahun percaya bahwa suami dapat dibenarkan dalam memukul istrinya karena berbagai alasan termasuk ketika istri memberikan argumen yang bertentangan.

image

Bagi anak-anak mereka

Perkawinan usia anak memiliki dampak antargenerasi. Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahunan.

Bayi yang dilahirkan oleh pengantin anak juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk lahir prematur, dengan berat badan lahir rendah, dan kekurangan gizi.

Hal ini berhubungan langsung perempuan menikah yang pada saat kehamilan dan persalinan masih berusia sangat muda, ketika mereka sendiri memiliki tingkat kekurangan gizi yang lebih tinggi dan tubuh mereka belum tumbuh sempurna.

Ketika anak perempuan masih dalam proses pertumbuhan, kebutuhan gizi pada tubuhnya akan bersaing dengan kebutuhan gizi pada janinnya.

Menurut kajian di antara 5 negara berpenghasilan rendah dan menengah, terdapat 20-30 persen peningkatan risiko kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah di antara anak-anak ketika ibu mereka berusia kurang dari 20 tahun.

Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang berusia kurang dari 19 tahun memiliki 30-40 persen peningkatan risiko hambatan pertumbuhan (stunting) selama 2 tahun dan kegagalan untuk menyelesaikan sekolah menengah.

Selanjutnya, ada kemungkinan bahwa dampak dari perkawinan usia anak yang dialami oleh anak perempuan juga akan dialami oleh anak-anak mereka, dengan kecilnya kesempatan untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, besarnya kemungkinan untuk tetap miskin, dan lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Bagi Masyarakat

Perkawinan usia anak tidak hanya mendasari, tetapi juga mendorong ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Perkawinan usia anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Meskipun kajian-kajian untuk mengetahui dampak perkawinan usia anak terhadap masyarakat sangat sedikit, tetapi perhatian terhadap topik tersebut terus berkembang. Kajian yang dilakukan oleh The World Bank memperkirakan bahwa perkawinan usia anak di beberapa negara di sub-Sahara Afrika memberikan kontribusi terhadap seperlima pelajar perempuan yang putus sekolah menengah.

Kajian tersebut menghitung bahwa setiap penundaan satu perkawinan dapat berpotensi untuk meningkatkan kemungkinan melek huruf dan menyelesaikan sekolah menengah beberapa persen. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa

investasi pada anak perempuan sampai mereka menyelesaikan tingkat pendidikan selanjutnya akan menghasilkan pendapatan seumur hidup dari kelompok anak perempuan saat ini yang setara dengan 68 persen produk domestik bruto tahunan.

Kajian lain yang dilakukan oleh UNICEF di Nepal menyatakan bahwa hilangnya kesempatan bersekolah sebagai akibat dari perkawinan usia anak adalah sebesar 3,87 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Kajian-kajian dengan temuan yang sama telah dilakukan di Bangladesh dan di negara-negara lain, dan lebih banyak riset sedang dilakukan untuk lebih memahami kerugian ekonomi dari perkawinan usia anak.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa investasi pada anak perempuan memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia selama masa produktif mereka dan penundaan perkawinan mendukung potensi ini.

Hasilnya menunjukkan bahwa kurangnya investasi dalam penundaan perkawinan bagi remaja perempuan dan hilangnya kesempatan pendidikan dan hilangnya penghasilan seumur hidup yang diakibatkannya akan terus menimbulkan dampak negatif yang kuat terhadap perekonomian Indonesia.

Sehingga, sebelum mencari cari alasan untuk menikah mudah, sebaiknya kita melakukan analisis terkait dengan dampak pernikahan muda itu sendiri.

Alasan untuk menikah adalah kesiapan kita dalam menikah itu sendiri. Keputusan apakah kita akan menikah atau tidak tergantung dalam apakah kita sudah siap menikah atau belum ?

Sehingga pertanyaan apakah alasan untuk menikah muda mungkin sebaiknya diganti dengan apakah kita siap untuk menikah muda ?

Definisi Kesiapan Menikah

Holman & Li (1997) menyatakan bahwa kesiapan untuk menikah merupakan persepsi terhadap kemampuan individu untuk dapat menampilkan dirinya di dalam peran-peran pernikahan. Kesiapan untuk menikah dapat pula dipandang sebagai sebuah aspek dari proses pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan.

“a perceived ability of an individual to perform in marital roles, and see it as an aspect of mate selection/ relationship development process.”

Larson (1988; dalam Badger, 2005) mendefinisikan kesiapan untuk menikah sebagai sebuah evaluasi subjektifdari kesiapan diri sendiri untuk dapat mengambil tanggung jawab dan menjawab tantangan dari pernikahan.