Apa yang yang Anda ketahui tentang Sholat Ghaib?

Sholat Ghaib

Apa yang yang anda ketahui tentang salat ghaib?

1 Like

Shalat ghaib adalah shalat atas jenazah yang tidak bersama-sama dengan orang yang menshalatkan, meskipun jenazah itu sudah dikuburkan. Sebenarnnya menshlatkan jenazah yang kemungkinan telah dishalatkan, berdasarkan apa yang telah dilakukan Nabi tidak menjadi halangan, karena Nabi pernah menshalatkan jenazah sahabatnya yang telah dikubur selama satu bulan pada saat menggalnya Nabi belum menshalatkan. Demikian juga sholat di atas kubur, sebagaimana hadits berikut :

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: “Bahwa Nabi saw menshalatkan (seseorang) di atas kubur, sudah (dikubur) sebulan lamannya.” (HR. Ad Daruquthny).

Dari riwayat Bukhari dan Abu Hurairah, Nabi pernah kehilangan seorang penyapu masjid (ada yang mengatakan wanita dan ada yang menyatakan ia pria). Ketika nabi menanyakannya, dijawab oleh para sahabat bahwa yang ditanyakannya itu telh meniggal dunia dan seakan-akan menganggap orang itu remeh. Nabi pun memerinthakan menunjukan kuburan orang itu, kemudian menshlatkan di kuburannya.

Shalat ghaib adalah shalat jenazah dimana jenazahnya tidak ada di hadapan kita (ghaib). Baik karena jenazah itu berada di tempat yang jauh tidak terjangkau untuk dishalatkan ataupun shalat yang dilakukan karena jenazah sudah dikubur.

Dalil Sholat Ghaib


Bahwa Rasulullah SAW menshalati jenazah Raja An-Najasyi pada hari kematiannya. Beliau SAW keluar menuju mushalla dan menyusun shaf dan bertakbir empat kali. (HR. Bukhari)

Rasululah SAW mengajak kami menshalati jenazah An- Najasyi Raja Habasyah pada hari wafatnya dan beliau berkata,”Mintakan ampunan untuk saudaramu”.
(HR. Muslim)

Kedua hadits di atas adalah faktwa yang tidak terbantahkan bahwa Rasulullah SAW memang benar-benar telah melakukan shalat ghaib kepada jenazah An-Najasyi Raja Habasyah. Raja ini telah memeluk agama Islam dan menyatakan keimanannya.

Bahkan Al-Quran Al-Karim secara indah menggambarkan bagaimana sang raja melelehkan air mata tatkala mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-quran.

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang- orang yang menjadi saksi.(QS. Al-Maidah : 82)

Raja Najasyi adalah orang yang membela pelarian dari kalangan shahabat dan melindunginya, tatkala mereka diminta oleh Rasulullah SAW untuk berhijrah. Bahkan dia menolak permintaan Amr bin Al-Ash sebagai perwakilan petinggi Quraisy untuk mendeportasi mereka ke Mekkah.

Namun meski pun secara fatwa beliau melakukannya, ternyata ketika menarik kesimpulan hukum, para ulama berbeda pendapat tentang masyru’iyah shalat jenazah secara ghaib. Sebagian mengakui pensyariatannya dan sebagian lain tidak mengakuinya.

Pendapat Yang Tidak Mendukung Sholat Ghaib


Mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak mengakui masyru’iyah shalat ghaib ini, walaupun faktanya Rasulullah SAW dan para shahabat melakukannya.

Alasannya karena peristiwa dimana Nabi SAW dan para shahabat melakukan shalat atas jenazah An-Najasyi merupakan kekhususan, atau disebut juga minkhushushiyatin-nabi.

Hal itu terbukti bahwa selain kepada An-Najasyi, beliau SAW tidak pernah melakukan shalat ghaib ini. Padahal ada begitu banyak umat Islam yang wafat di tempat yang jauh dari Madinah, baik keluarga ataupun para shahabat beliau. Namun tidak sekalipun tercatat beliau SAW melakukan shalat ghaib kepada mereka, kecuali hanya pada An-Najasyi saja.

Maka kejadian ini menjadi sesuatu yang bersifat spesial, unik dan khusus. Dan tidak perlu dijadikan dasar bagi kita untuk menjadikannya sebagai bagian dari ibadah yang masyru’ dan tidak perlu bagi kita untuk melakukannya.

Pendapat Yang Mendukung


Mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab Al-Hanabilah dalam zhahir mazhabnya justru berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa shalat ghaib ini tetap disyariatkan buat kita hingga akhir zaman lewat hadits-hadits di atas.

Adapun dalam masalah detailnya, memang para ulama yang mengakui adanya masyru’iyah shalat ghaib ini sendiri terkadang saling berbeda. Misalnya sebagaimana disebutkan oleh dalam kitab I’anatut Thalibin :

Tidak sah shalat jenazah atas mayit yang ghaib yang tidak berada di tempat seorang yang hendak menyalatinya, sementara ia berada di negeri (daerah) di mana mayit itu berada walaupun negeri tersebut luas karena dimungkinkan untuk bisa mendatanginya.

Para ulama menyamakannya dengan qadha atas seorang yang berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi pedoman adalah ada tidaknya kesulitan untuk mendatangi tempat si mayit. Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya, misalnya karena sudah tua atau sebab lain maka shalat hgaibnya sah. Sedangkan jika tidak ada kesulitan maka shalatnya tidak sah walau berada di luar batas negeri yang bersangkutan.

  • Ibnu Taimiyah

Meski masih mewakili salah satu elemen dari mazhab Al-Hanabilah dan mengakui masyru’iyah shalat ghaib, namun Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa Al-Kubra memberikan syarat, yaitu orang yang dishalati adalah sosok yang penting.

Dilakukan shalat ghaib ini untuk orang yang punya kedudukan tinggi di kalangan kaum muslimin.

Dalam fatwa yang lain, Ibnu Taimiyah sebagimana dinukil oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab Zaadul Ma’ad, mengatakan bahwa syarat disyariatkannya shalat ghaib hanyalah ketika seorang muslim wafat sendirian di negeri kafir, dimana jenazahnya tidak dishalatkan oleh orang di sekitarnya. Maka kita yang muslim meski berada di tempat yang jauh dari jenazah, diwajibkan untuk menshalatkannya yaitu dengan cara shalat ghaib.

Yang benar bahwa jenazah ghaib bila wafat di suatu negeri yang sama sekali tidak ada menshalatkannya, maka kita shalatkan dengan shalat ghaib, sebagaimana shalat yang dilakukan oleh Nabi SAW kepada An-Najasyi yang wafat di negeri kafir dan tidak ada yang menshalatkannya. Namun bila sudah dishalatkan maka tidak perlu lagi shalat ghaib atasnya, karena kewajiban untuk meshalatkan sudah gugur dengan sudah dishalatkannya oleh umat Islam.

  • Masalah Jarak

Batasan ”ghaib” adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: “Jika sudah di luar jangkauan pertolongan.”

Sedangkan bila berdasarkan Keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU se-Jateng 1984, maka ketentuan jarak untuk shalat ghaib ada tiga versi yaitu jarak 44 meter, 1666 meter (1 mil) dan 2000 – 3000 meter.