Apa yang Perlu Diketahui dari Pemahaman Marxisme Menolak Revisionisme?


Salah satu pemahaman dari marxisme adalah menolak revisionism.

Apa yang perlu diketahui dari pemahaman marxisme menolak revisionism?

Marxisme sebagai teori juga mengalami penafsiran sesuai dengan kepentingan orang berdasarkan posisinya dalam hubungan produksi di masyarakat. Marxisme sebagai ilmu kaum proletariat pun bisa terdistorsi atau mengalami revisi sesuai dengan kepentingan intelektual yang berkepentingan.

Secara potensial, sebenarnya kaum proletar mampu mengatasi kapitalisme —Marx bahkan begitu yakin akan hal ini. Akan tetapi, selama sistem kapitalisme masih hidup, dengan kelas proletar yang mengalami ketertindasan dan eksploitasi, kesadaran kebanyakan buruh juga dihegemoni oleh ideologi borjuis. (Marx mengatakan bahwa ideologi yang lahir dari kelas penindas menggambarkan ideologi dan kesadaran massa rakyat secara umum).

Namun, pada saat yang sama, kaum buruh didorong oleh posisi ekonomi mereka untuk melawan serangan kapitalis dan memperjuangkan perbaikan nasib mereka meskipun belum tahu siapa yang akan menentang sistem kapitalis secara total. Oleh karena itu, tingkat kontradiksi ini juga menghasilkan ideologi campuran yang menggabungkan unsur-unsur ideologi borjuis dan ideologi sosialis. Contohnya adalah ideologi sosial-demokrasi , ideologi partai-partai buruh Inggris dan Australia.

Dalam analisis John Molyneux117, ideologi-ideologi campuran ini memiliki dasar objektif tersendiri dalam sebuah kelas yang posisi sosialnya terletak antara borjuis dan proletariat, yaitu golongan menengah yang disebut sebagai “borjuis kecil”. Kategori ini sebenarnya memuat sejumlah lapisan sosial yang kondisinya agak berbeda, di antaranya: borjuis kecil “lama” (pedagang kecil dan sebagainya); “kelas menengah baru” (pegawai yang mempunyai posisi berwibawa dan sebagainya); birokrasi gerakan buruh barat (pejabat serikat buruh dan pejabat partai Buruh); dan kaum tani yang memiliki tanah sendiri. Grup-grup ini mengepung proletariat. Mereka jauh lebih dekat dengan kelas buruh dibandingkan dengan para kapitalis, wajarlah kalau mereka sangat memengaruhi kesadaran kaum buruh.

Atas kondisi objektif inilah, marxisme—selain selalu diserang oleh ideologi kapitalis—mengalami serangan terus-menerus. Sejarah marxisme memang adalah sejarah pertempuran melawan ideologiideologi campuran borjuis kecil itu. Contohnya, Marx sejak awal mengalami polemik-polemik melawan Proudhon dan Bakunin. Lenin juga mengalaminya melawan kaum Narodnik (Populis).

Para teoretikus, aktivis atau gerakan politik mula-mula mendukung revolusi proletarian, tetapi kemudian dengan berbagai alasan (selalu berkaitan dengan tekanan sistem kapitalis) mereka beranjak dari orientasi ini dengan tidak meninggalkan lambanglambang dan bahasa marxisme, tetapi mereka menjelmakan isinya menjadi sesuatu yang lain. Begitu proses transformasi itu terjadi, “marxisme” palsu tersebut berpindah ke para aktivis dan gerakan lain yang tidak berkaitan sama sekali dengan revolusi proletarian.

Kelompok revisionis yang sering dirujuk dalam perdebatan adalah kubu yang dipimpin Eduard Berstein dalam Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Partai ini berdiri pada 1875 di Konferensi Gotha. Argumentasi revisionis muncul secara nyata pada akhir dasawarsa 1890-an, dengan mengajukan berbagai argumentasi yang bertentangan dengan teori marxisme. Menurut mereka, kapitalisme sedang mengatasi kontradiksinya secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, usul mereka, SPD seharusnya hanya menganut reformasireformasi sosial dan demokratis saja. Kelompok Berstein ini kurang lebih sangat berterus terang tentang sikap anti-Marxis mereka.

Selain itu, revisionisme juga muncul dalam pemikiran Karl Kautsky . Kautsky menekankan pada perjuangan parlementer— dan itu dianggap jalan utama menuju sosialisme. Orientasi parlementarian ini tidak lepas dari kesuksessan SPD yang luar biasa dalam pemilihan-pemilihan. Partai ini memperoleh 9,7% dari suara pada 1884, tetapi enam tahun kemudian mencapai 19,7%—dan ini sekaligus mencerminkan pergeseran ke arah Kanan dari prinsip SPD terdahulu.

Kautsky memang pernah mengatakan bahwa kaum sosial-demokrat tidak memiliki ilusi bahwa tujuan-tujuan kita dapat tercapai lewat jalan parlementer sehingga langkah pertama dalam revolusi yang akan datang ialah untuk menghancurkan aparatus negara borjuis. Namun, jalan parlementer tetap menjadi strategi utama Kautsky dan SPD. Strategi ini berdasarkan pandangan mereka bahwa sosialisme sebagai akibat yang akan muncul secara kurang lebih otomatis dari perkembangan ekonomi. Kaum Proletariat dianggap akan sadar dengan sendirinya dan akan semakin banyak yang akan mencoblos SPD dalam pemilihan.

Jelas, pandangan itu menganggap bahwa kaum buruh seakan tidak berada dalam hegemoni kesadaran kapitalis—dan juga birokrat partai SPD yang menikmati hidup enak. Ideologi sosial-demokrat jelas mendasarkan diri pada “gencatan senjata” antara proletariat dan borjuasi yang menyertai kemakmuran dan kemajuan industri Jerman sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kepentingan golongan tertentu di gerakan sosial-demokratlah yang dicerminkan oleh ideologi ini, lapisan pejabat yang menjadi perantara pihak majikan (kapitalis dan aparatus negara ) dan kelas buruh. Bahkan, para pimpinan serikat-serikat buruh dalam perdebatan tentang pemogokan massa menentang pemogokan massa yang terjadi di awal Revolusi Rusia tahun 1905. Konferensi rahasia yang menggabungkan pihak partai dan pihak pejabat serikat buruh dilakukan pada 1 Februari 1906, ketika pihak partai menyerah dan berjanji akan menentang pemogokan massa secara mati-matian.

Intinya adalah “marxisme” versi Kautsky dalam semua hal yang penting, bahkan secara filsufis, memenuhi kepentingan birokrasi gerakan buruh. Filsafat materialisme mekanis tersebut pada dasarnya merupakan fi lsafat khas borjuis karena kelas buruh dianggap sebagai hasil pasif dari perkembangan material sehingga fi lsafat ini meniadakan peranan aktif revolusioner kelas buruh dan partai sosialis. Kita lihat bahwa revisionisme jauh dari watak radikal, bahkan kompromis terhadap kapitalis. Sogokan yang diberikan pada pejabat-pejabat serikat buruh didapat dari pengisapan kapitalis negara Jerman (dan negara-negara maju lainnya) terhadap negaranegara lain yang miskin (Dunia Ketiga).

Kelas buruh dan utamanya birokrasinya mengandalkan pada kemakmuran dan kekuatan imperialis negaranya, bahkan mereka tidak berani mengambil sikap anti-perang yang dijalankan kaum imperialis kepada negara lain. Dukungan mereka terhadap Perang Dunia I adalah pengkhianatan terhadap kelas buruh dalam tradisi marxis, tetapi juga merupakan hasil logis dari praktik dan teori aliran sosial-demokrat.

Bisa diambil kesimpulan, meskipun Kautskysme (dan revisionisme lainnya yang lebih parah) diklaim sebagai “marxisme”, namun sebenarnya isinya lebih mencerminkan kepentingan golongan non-buruh. Rosa Loxemburg tampil untuk menelanjangi ideologi anti-marxisme Berstein dalam tulisannya Social Reform or Revolution (1899). Rosa menjelaskan sikap marxisme terhadap revisionisme itu dan menyerang ideologinya yang bergeser meninggalkan sosialisme. Ia mengutip Berstein yang menyatakan bahwa tujuan akhir (marxisme) “tidak berarti apa pun” baginya, dan bahwa gerakan reformislah yang “sangat bermakna”. Jika reformasi menjadi tujuan, reformasi akan melahirkan oportunisme yang mengorbankan tujuan jangka panjang demi tujuan jangka pendek sehingga mematikan perjuangan buruh sebagai kelas untuk membentuk negara buruh. Oportunisme adalah ungkapan kelemahan kelas buruh dan tidak adanya kepercayaan diri dalam mencapai tujuan akhir. Jika reformasi adalah tujuan, teori (marxisme) tidak diperlukan sama sekali.

Bagi Luxemburg, teori marxis dapat menunjukkan kepada kelas pekerja bagaimana misi sejarah mereka. Bagi sosiolog marxis, bohong bahwa kapitalisme dapat mengatasi kontradiksinya. Rosa menentang pendapat Berstein bahwa kredit, trust, dan kartel menciptakan stabilitas sistem kapitalisme. Perluasan kredit justru mengancam sistem sebab mendorong kelebihan produksi dan spekulasi. Perluasan kredit memperjelas kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme, misalnya, dengan memaksimalkan produksi, namun sekaligus melumpuhkan proses perdagangan dengan hilangnya kepercayaan terhadap proses itu. Kredit memperburuk semua kontradiksi besar dalam kapitalisme: antara cara produksi dan pertukaran; antara cara produksi dan pengambilan paksa; antara hubungan kepemilikan dan hubungan produksi; dan antara produksi dengan karakter sosial dan kepemilikan oleh swasta.

Trust dan kartel juga tidak efektif karena keduanya menambah laba satu industri dengan mengorbankan industri lain. Keduanya mendorong persaingan internasional karena mendorong perusahaan untuk menjual dengan harga mahal di pasar domestik dan harga murah di luar negeri. Keduanya justru memperparah kontradiksi antara produsen dan konsumen ; antara modal dan kerja; dan antara karakter internasional ekonomi kapitalis dan karakter nasional negara kapitalis karena pertumbuhan trust selalu disertai dengan perang tarif umum.

Berstein dan kaum revisionis mempertanyakan tesis bahwa kapitalis kecil dan menengah tergusur oleh kapitalis besar. Akan tetapi, sebagaimana disanggah Rosa, kecenderungan-kecenderungan dominasi dan subordinasi itu sudah ada. Kapitalis besar itulah yang akhirnya mendominasi karena saham—yakni, dana awal—yang dibutuhkan untuk bersaing akan bertambah mengikuti pertumbuhan akumulasi kapital sampai pada suatu titik ketika kapitalis kecil tidak sanggup bersaing lagi. Sekalipun mampu bersaing—sebagai kapitalis inovatif—waktu untuk tetap dapat bersaing semakin pendek tatkala metode-metode produksi semakin padat modal. Berstein juga menganggap bahwa teori “nilai kerja” adalah suatu “abstraksi” saja. Padahal, secara objektif, teori itu benar-benar ada dalam ekonomi komoditas.

Luxemburg menegaskan bahwa polarisasi kelas tidak akan hilang karena semua reformasi kapitalisme , yang dianggap Berstein melemahkan perjuangan kelas, tidak berpengaruh. Empat jalur reformasi (serikat buruh, koperasi, negara kesejahteraan, dan demokratisasi politik negara) tidak menuju ke mana pun.

Anggapan revisionis memang tidak terbukti: aktivitas serikat buruh akhirnya pudar. Semua yang dicapai akan lenyap ketika pasar dunia mulai mengalami kontraksi atau akibat teknik produksi. Perjuangan buruh hanya berupa distribusi pendapatan, bukan transformasi kepemilikan alat-alat produksi dan besarnya “kue” yang didistribusikan tergantung pada bagaimana produksi (yaitu, laba) dijalankan. Koperasi tidak sanggup mengubah struktur kapitalisme karena koperasi adalah unit-unit produksi sosial yang kecil dalam kapitalisme, dan dengan demikian diatur oleh hukum persaingan beserta pengaruhnya terhadap upah dan syarat kerja. Bukti menunjukkan bahwa koperasi produsen tidak berhasil pada sektorsektor industri yang terpenting, terutama industri berat. Koperasi hanya bisa bertahan apabila sudah menguasai pasar, terutama jika berhubungan dengan koperasi konsumen dan memproduksi barang yang memenuhi kebutuhan langsung dan kebutuhan lokal.

Sosialisme tidak dapat dicapai dengan jalan legal dan parlementer. Selain eksploitasi bersifat ekstra-legal, konstitusi legal merupakan buah revolusi sosial sebelumnya. Revolusi dulu, setelah itu ada tindakan reformasi yang dilakukan. Kita lihat saja kasus Indonesia, tidak mungkin akan ada reformasi dengan produk-produk legalnya (reposisi militer, pencabutan UU Politik lama, perombakan kabinet, demokrasi multi-partai, dan lain-lain) tanpa ada gerakan revolusioner yang mengawalinya. Upaya untuk mendorong perubahan-perubahan sosial yang mendasar dengan terlibat dalam suatu kerangka politik yang diciptakan oleh kelas yang menang pada revolusi sosial sebelumnya tidak akan mencapai tujuan sosialis. Upaya itu justru akan menimbulkan tujuan-tujuan lain (oportunisme ), yakni reformasi kapitalis. Kekerasan yang berusaha dihindari oleh kaum revisionis dalam politik ekstra-parlementer sesungguhnya bersifat khas dalam proses historis. Kekerasan selalu digunakan oleh semua kelas berkuasa dalam sejarah. Bagi kaum proletar, tidak ada bedanya menggunakan kekerasan atau tidak.