Apa yang menyebabkan terjadinya Perang Dunia I?


Hal apa yang menjadi pemantik terjadinya Perang Dunia I yang bersejarah?

Sebab-Sebab Terjadinya Perang Dunia I


Sebelum 1914, suasana dominan di Eropa adalah kebanggaan dalam prestasi peradaban Barat dan keyakinan pada kemajuan masa depannya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi, naiknya standar hidup, penyebaran lembaga-lembaga demokratis, perluasan kekuasaan sosial di dunia – semua menyumbang bagi rasa optimisme. Alasan lain untuk optimisme ialah bahwa, sejak kekalahan Napoleon, Eropa telah menghindari perang umum, dan sejak Perang Perancis-Prusia (1870-71) (Tirpitz, 1919), Kekuatan Besar tidak bertempur satu sama lain. Segelintir orang menyadari bahwa prestasi Eropa di permukaan menutupi pergolakan di bagian dalam, yang sedang memaksa peradaban Barat menuju suatu bencana. Sistem negara Eropa sedang gagal.

Pada 1914, negara-negara nasional, yang tidak bertanggungjawab pada kekuatan yang lebih tinggi, diisi dengan bahan bakar nasionalisme yang dapat meledak dan mengelompok ke dalam persekutuan-persekutuan yang saling berhadapan dengan permusuhan yang semakin menguat. Nafsu-nafsu nasionalis, yang dipanasi secara berlebihan oleh pers populer dan masyarakat ekspansionis, meracuni hubungan internasional. Para pemikir nasionalis menyebarkan doktrin rasial ilmiah-palsu dan Darwinis Sosial, yang memuja konflik dan membenarkan penaklukan bangsa lain. Bertekad untuk meningkatkan kekuasaan nasional, negarawan tak dapat melihat Eropa sebagai komunitas bangsa-bangsa yang menganut peradaban sama. Kehati-hatian dan pengendalian memberi jalan keluar atas situasi perang dalam hubungan dengan asing.

Kegagalan sistem negara Eropa sejajar dengan krisis budaya. Sejumlah intelektual Eropa menyerang tradisi rasional Pencerahan dan merayakan hal yang primitif, naluriah, dan nonrasional. Orang muda semakin banyak yang tertarik kepada filsafat tindakan yang menertawakan nilai-nilai borjuis liberal dan memandang perang sebagai pengalaman yang memurnikan dan memuliakan. Perang-perang kolonial, yang digambarkan dengan bersemangat dalam pers populer, membakar imajinasi para pekerja pabrik yang bosan, lamunan mahasiswa, memperkuat rasa tanggung jawab dan keberanian di kalangan serdadu dan aristokrat.

Perang-perang kolonial kecil yang “megah” ini membantu membentuk sikap yang membuat perang dapat diterima, jika tidak patut dipuji. Kerinduan untuk lari dari kehidupan mereka sehari-hari dan menganut nilai-nilai heroik, banyak orang Eropa memandang konflik kekerasan sebagai ungkapan tertinggi kehidupan individu dan nasional. “Jika ada perang, bahkan yang tidak adil sekalipun” (Stromberg, 1982) tulis George Heym, seorang penulis muda Jerman pada 1912. “Perdamaian ini begitu busuk.” Meskipun teknologi sedang membuat peperangan lebih brutal dan berbahaya orang Eropa tetap menganut ilusi romantik tentang pertempuran.

Sementara Eropa tampaknya maju dalam seni peradaban, kekuatan mistis nasionalisme dan daya tarik primitif konflik yang sedang mendorong orang Eropa ke jurang ngarai yang sangat dalam. Segelintir orang mengakui krisis potensial – tentu saja bukan negarawan yang membuat kesalahan besar yang sembrono yang mengizinkan Benua itu tersandung dalam perang (Perry, 2013).

1. Nasionalisme: Kesakralan Bangsa

Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang mempunyai kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama, dan merasa terikat kuat dengan suatu negeri tertentu. Nasionalisme menuntut agar kesetiaan dan ketaatan tertinggi harus diberikan kepada bangsa. Kaum nasionalis memperlihatkan kebanggaan yang besar terhadap sejarah rakyatnya dan tradisi-tradisi dan sering merasa bahwa bangsa mereka telah dipilih secara khusus oleh Tuhan atau sejarah. Seperti suatu agama, nasionalisme memberikan rasa kebersamaan kepada individu dan juga alasan yang berharga untuk melakukan pengorbanan diri (Crook, 1994).

Oleh karena itu, pada masa ketika agama Kristen sedang mundur, nasionalisme menjadi daya rohaniah yang dominan dalam kehidupan orang Eropa abad kesembilan belas. Nasionalisme menyediakan kepercayaan-kepercayaan baru, para martir, dan hari-hari “suci” yang merangsang rasa hormat; nasionalisme menawarkan keanggotaan di dalam suatu komunitas, yang memuaskan kebutuhan psikologis manusia yang sangat besar akan persahabatan dan identitas. Dan nasionalisme memberikan suatu misi – memajukan bangsa – yang dapat menjadi tujuan rakyat untuk membaktikan diri.

2. Darwinisme Sosial

Teori-teori Darwin diperluas oleh orang lain di luar ranah garapannya. Para pemikir sosial, yang secara serampangan menerapkan kesimpulan Darwin kepada tatanan sosial, menghasilkan teori yang mempunyai konsekuensi yang berbahaya kepada masyarakat. Para Darwinis Sosial – orang-orang yang mengusung teori ilmiah Darwin kepada persolan sosial dan ekonomi – menggunakan istilah-istilah “perjuangan untuk eksis” dan “bertahan hidup bagi yang terkuat” untuk menunjang individualisme ekonomi dan konservatisme politis (Smith, 1986). Pebisnis yang sukses, kata mereka telah memperlihatkan kecocokan mereka untuk berhasil di dunia bisnis yang bersaing.

Kesuksesan mereka selaras dengan hukum-hukum alam sehingga menguntungkan masyarakat; orang-orang yang kalah di dalam perjuangan sosioekonomis menunjukkan ketidakkuatan mereka. Dengan menggunakan model organisme Darwin yang berkembang secara perlahan-lahan dan berubah secara lambat selama puluhan ribu tahun, kaum konservatif bersikeras bahwa masyarakat pun harus mengalami perubahan dengan langkah yang tidak terburu-buru. Pembaruan yang instan bertentangan dengan hukum-hukum dan kearifan alam dan menghasilkan kemunduran badan sosial.

Penerapan konsep biologis Darwin kepada dunia sosial, yang sebenarnya bukan tempat penerapannya, juga menunjang imperialisme, rasisme, nasionalisme dan militerisme – doktrin yang mengkhotbahkan konflik yang tidak kenal belas kasihan. Para Darwinis Sosial bersikukuh bahwa bangsa-bangsa dan ras-ras terlibat dalam perjuangan untuk bertahan hidup dan di dalamnya hanya yang paling kuat yang dapat dan pantas bertahan hidup. Karl Pearson, seorang profesor matematika Britania, menulis dalam National Life from Standpoint of Science (1900): “Sejarah menunjukkan kepadaku hanya satu jalan, dan hanya satu jalan dimana keadaan peradaban yang lebih tinggi telah dihasilkan, yakni perjuangan ras dengan ras, dan yang bertahan hidup adalah ras yang lebih kuat secara fisik dan mental.” “Kita adalah ras penakluk,” kata senator AS, Albert J. Beveridge. “Kita harus mematuhi darah kita menguasai pasar-pasar baru, dan jika diperlukan, negeri-negeri baru.” “Perang adalah kebutuhan biologis nomor satu,” ditegaskan oleh jenderal Prusia von Bernhardi di dalam Germany and the New War (1911).

Biologi Darwinian digunakan untuk mendorong kepercayaan pada keunggulan ras Anglo-Saxon (Inggris dan Amerika) dan Teutonik (Jerman). Para Darwinisme sosial mengaitkan kualitas rasial dengan pertumbuhan Kekaisaran Inggris, ekspansi Amerika Serikat ke Pasifik, dan ekpansi kekuasaan Jerman. Dominasi bangsa lain – Indian Amerika, Afrika, Asia, Kutub – dipandang sebagai hak alamiah dari ras yang lebih unggul (Kelly, 1981).

Teori evolusi adalah prestasi besar dari pikiran rasional, tetapi di tangan para Darwinis Sosial ia berfungsi menghancurkan tradisi Pencerahan. Sementara para pendukung Pencerahan menekankan kesamaan manusia, para Darwinis sosial memisah-misahkan umat manusia ke dalam ras yang unggul dan yang rendah. Sementara para pendukung Pencerahan percaya bahwa negara akan semakin tunduk kepada kepastian hukum untuk mengurangi konflik yang keras, para Darwinis sosial memandang konflik rasial dan nasional sebagai kebutuhan biologis, suatu hukum sejarah, dan alat untuk mencapai kemajuan.

Dalam menyebarkan versi hubungan manusia dan internasional yang bertarung mati- matian, para Darwinis sosial membuang sentimen peri kemanusiaan dan kosmopolitan para pendukung Pencerahan dan menyimpangkan citra kekuasaan dan penambahan kekuatan militer dan mengarahkan orang banyak untuk menyambut Perang Dunia I. Gagasan Darwinis Sosial atas pertarungan ras demi kelangsungan hidup menjadi suatu doktrin inti partai Nazi setelah Perang Dunia I dan membantu memberikan alasan pembenaran “ilmiah” dan “etis” untuk genosida.

3. Sistem Aliansi Jerman

Penyatuan Jerman pada 1870-71 mengubah negara baru itu menjadi suatu kekuasaan nasional urutan pertama, yang merusak keseimbangan kekuasaan di Eropa. Untuk pertama kalinya sejak perang-perang Revolusi Perancis, suatu bangsa berada dalam posisi yang dapat mendominasi daratan Eropa. Bagi para nasionalis Jerman, penyatuan Jerman adalah pemenuhan mimpi nasional dan juga titik tolak bagi suatu tujuan yang lebih ambisius – perluasan kekuasaan Jerman di Eropa dan dunia (Tucker, 1998). Sewaktu abad kesembilan belas semakin mendekati akhirnya, nasionalisme Jerman menjadi semakin ekstrim. Percaya bahwa Jerman harus tumbuh atau mati, kaum nasionalis menekan pemerintah untuk membangun angkatan laut yang kuat, yang memperoleh koloni-koloni, yang mendapat bagian jauh lebih besar dalam pasar-pasar dunia, yang memperluas kepentingan dan pengaruh Jerman di Eropa.

Kadang kala tujuan ini diungkapkan dalam bahwa Darwinisme Sosial – bangsa-bangsa terlibat dalam suatu perjuangan abadi untuk bertahan hidup dan dominasi. Kemenangan yang menentukan melawan Austria (1886) dan Perancis (1871), pembentukan negara Jerman, industrialisasi yang pesat, dan prestasi-prestasi mengesankan dari ilmu dan kesarjanaan Jerman telah membentuk bangsa yang kuat dan dinamis. Diilhami dengan harapan besar untuk masa depan, orang Jerman menjadi semakin tak sabar untuk melihat tanah airnya mendapat tempatnya “yang tepat” dalam urusan-urusan dunia – suatu sikap yang membuat orang-orang non-Jerman ketakutan.

4. Tujuan-Tujuan Bismarck

Di bawah Bismarck, yang tidak mencari wilayah kekuasaan tambahan tetapi hanya ingin melestarikan kesatuan yang baru dicapai, Jerman menjalankan kebijakan luar negeri yang moderat dan berhati-hati. Salah satu tujuan utama Bismarck ialah membuat Perancis tetap terisolir dan tidak bersahabat. Perancis telah menderita penghinaan mendalam akibat kekalahannya dalam Perang Peranco-Prusia. Penghinaan kepada Perancis ditambah lagi dengan hilangnya Alsace dan Loraine ke tangan Jerman. Meskipun kaum nasionalis Perancis merindukan perang untuk membalas dendam terhadap Jerman, pemerintah, yang sadar akan kekuatan Jerman, tidak mungkin memulai konflik demikian. Namun, isu Alsace-Loraine meningkatkan ketegangan antara Perancis dan Jerman.

Bismarck juga berharap mencegah terjadinya perang di antara Rusia dan Austria-Hungaria, karena konflik yang demikian dapat menyebabkan keterlibatan Jerman, menyebabkan penceraian Austria-Hungaria, dan menyebabkan ekspansi Rusia di Eropa Timur. Untuk mempertahankan perdamaian dan perbatasan Jerman yang sudah ada. Bismarck membentuk aliansi-aliansi yang kompleks. Pada dasawarsa 1880-an, dia menciptakan Aliansi Rangkap Tiga – yang terdiri dari Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia – dan satu aliansi dengan Rusia.

Bismarck melaksanakan kebijakan luar negeri dengan menahan diri. Dia membentuk aliansi bukan untuk menaklukkan negeri-negeri baru tetapi untuk melindungi Jerman dari agresi baik dari Perancis maupun Rusia, bukan untuk melancarkan perang tetapi untuk melestarikan ketertiban dan stabilitas di Eropa. Pada 1888, seorang kaisar yang baru naik takhta Jerman; ketika Kaisar muda William II (1888-1918) berselisih dengan Perdana Menterinya yang sudah lanjut usia, Bismarck dipaksa mengundurkan diri (1890) (Bismarck, 1976).Kurangnya keahlian diplomasi Bismarck, pengendalian dirinya yang dingin, dan tekadnya untuk menjaga perdamaian di Eropa, para pemimpin Jerman yang baru menjalankan kebijakan luar negeri yang suka perang dan imperialistik dalam dasawarsa- dasawarsa selanjutnya – suatu kebijakan yang membuat takut negara-negara lain, khususnya Inggris.

Sementara Bismarck menganggap Jerman sebagai kekuatan yang merasa kenyang, orang-orang ini bersikeras bahwa Jerman harus menjadi pusat perhatian.
Tindakan pertama pemimpin yang baru adalah mengizinkan perjanjian dengan Rusia berakhir, dengan demikian mengizinkan Jerman memberi dukungan penuh kepada Austria, yang dianggap sebagai sekutu yang lebih dapat diandalkan sementara Bismarck telah mengingatkan Austria untuk bertindak dengan sikap moderat dan berhati-hati di Balkan, para penerusnya tidak hanya gagal meminta Austria mengendalikan diri tetapi malah menyemangati agresi Austria. Hal ini terbukti fatal bagi perdamaian Eropa.

5. Perjanjian Rangkap Tiga

Ketika Jerman pecah dengan Rusia pada 1890, Perancis cepat mengambil keuntungan dari situasi ini. Khawatir terhadap kekuatan militer, industri meluas, populasi tumbuh, dan aliansi Jerman dengan Austria dan Italia, Perancis ingin Rusia menjadi sekutu. Pada 1894, Perancis dan Rusia memasuki suatu aliansi; isolasi yang dipaksakan Bismarck pada Perancis telah berakhir.

Kekuatan militer Jerman yang tumbuh juga mengkhawatirkan bagi Britania Raya. Selain itu, pertumbuhan industri yang spektakuler telah membuat Jerman menjadi saingan perdagangan potensial bagi Inggris. Inggris juga tertekan karena usaha-usaha Jerman yang semakin bertambah untuk menjadi kekuatan kolonial yang besar – suatu tujuan yang dituntut oleh para nasionalis Jerman. Tetapi yang paling menyusahkan adalah keputusan Jerman untuk membangun angkatan laut yang besar, karena hal itu dapat mengganggu perdagangan luar negeri Inggris atau bahkan memblokade Kepulauan Inggris. Program angkatan laut Jerman adalah alasan tunggal paling penting yang membuat Inggris bergerak lebih dekat pertama-tama ke Perancis dan kemudian ke Rusia.

Pembangunan angkatan laut Jerman dirancang untuk menambah statusnya yang tinggi sebagai Kekuatan Besar tetapi tidak benar-benar dibutuhkan untuk keamanannya, adalah suatu indikasi bahwa para pemimpin Jerman telah meninggalkan kebijakan Bismarck mengenai perasaan yang baik. Ingin sekali menambahkan Inggris sebagai sekutu dan memperagakan keahlian diplomasi yang hebat, Perancis bergerak untuk mengakhiri perbantahan kolonial yang sudah lama Ingin membangun aliansi yang kuat untuk mengimbangi aliansi Rangkap Tiga Jerman, para diplomat Perancis kini berusaha mengurangi ketegangan antara sekutu Rusia mereka dan sahabat baru Inggris mereka.

Dua peristiwa meyakinkan Rusia untuk mengadopsi sikap yang lebih mengutamakan kerukunan terhadap Inggris; kekalahan yang membawa bencana dan tak diharapkan pada Perang Rusia-Jepang 1904-1905 dan revolusi kelas pekerja pada 1905 (Robbins, 2002). Terkejut dengan kekalahan, tentaranya berada di ambang perpecahan, para pekerjanya gelisah, berlangsung dengan Inggris. Persetujuan Cordiale 1994 merampungkan kerukunan ini. Inggris keluar dari pengasingan dirinya dengan sangat baik.

Rusia kini bersifat menerima untuk memecahkan perbantahan imperialnya dengan Inggris dalam soal Persia, Tibet dan Afghanistan, suatu keputusan yang disemangati oleh Perancis. Di dalam Perjanjian Anglo-Rusia 1907, seperti di dalam Persetujuan Cordiale Anglo-Perancis pada 1904, para bekas saingan bersikap rukun, jika bukan bersahabat. Dalam kedua contoh itu, hal yang menimbulkan semangat kerjasama ini ialah ketakutan pada Jerman.

Eropa kini pecah ke dalam dua kubu yang bermusuhan: Persetujuan Rangkap Tiga dari Perancis, Prusia dan Inggris; dan Aliansi Rangkap Tiga dari Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia. Yang menyebabkan peningkatan ketakutan dan kecurigaan di antara kedua aliansi itu adalah perlombaan senjata yang sangat mahal dan pemeliharaan sejumlah besar tentara oleh semua negara kecuali Inggris.

6. Reaksi Jerman

Jerman mencela Persetujuan Rangkap Tiga sebagai suatu koalisi anti Jerman yang bermusuhan, yang dirancang untuk mengelilingi dan meremukkan Jerman. Untuk dapat bertahan hidup, Jerman harus mematahkan lingkaran ini. Menganggap Austria-Hungaria sebagai sekutu satu-satunya yang dapat diandalkan, Jerman bertekad untuk melestarikan kekuasaan dan martabat Kekaisaran Hapsburg. Jika Austria-Hungaria jatuh dari barisan Kekuatan Besar, Jerman harus bertahan sendiri melawan musuh-musuhnya. Dengan segala risiko, Austria-Hungaria tidak boleh menjadi lemah.

Tetapi penilaian ini salah perhitungan dan berbahaya. Pertama, Jerman selalu menekankan sifat bermusuhan terhadap Persetujuan Rangkap Tiga. Dalam kenyataannya, Prancis, Rusia, dan Inggris tertarik lebih dekat bersama bukan untuk melakukan perang yang agresif melawan Jerman tetapi untuk melindungi diri mereka sendiri dari militer Jerman, industri, dan kekuatan diplomatik yang terus berkembang. Kedua, dengan menghubungkan keamanan Jerman dengan Austria, Jerman meningkatkan secara besar-besaran peluang untuk perang. Dengan semakin takut pada Pan-Serbisme, Austria dapat memutuskan dengan baik bahwa hanya dengan peranglah disintegrasi kekaisarannya dapat dicegah. Yakin akan dukungan Jerman, Austria akan lebih mengkin menempuh kekerasan; takut akan setiap penyusutan kekuasaan Austria, Jerman akan lebih mungkin memberikan dukungan kepada Austria.

7. Krisis Bosnia

Kekalahan Rusia yang memalukan oleh Jepang pada 1905 telah menghilangkan martabatnya sebagai Kekuatan Besar. Menteri Luar Negeri Rusia yang baru, Alexander Izvolsky, berharap mendapat kemenangan diplomatis dengan memaksa Kekhalifahan Turki Utsmani untuk mengizinkan kapal-kapal perang Rusia melewati Dardanella, yang memenuhi impian berabad-abad perluasan kekuasaan Rusia ke Mediterania. Rusia membuat perjanjian dengan Austria: jika Austria mau mendukung gerakan Rusia untuk membuka Dardanella, Rusia akan menigizinkan pencaplokan Austria atas provinsi-provinsi Bosnia dan Herzegovina.

Resminya bagian dari Kekhalifahan Turki Utsmani, provinsi-provinsi itu telah diperintah oleh Austria- Hungaria sejak 1878. Populasinya sebagian besar terdiri dari sepupu etnik Serbia. Pencaplokan yang formal tentu saja akan membuat orang Serbia berang, yang berharap suatu hari membuat wilayah itu menjadi bagian dari suatu Serbia yang lebih besar. Pada 1908, Austria mulai mencaplok propinsi-propinsi tersebut, tetapi Rusia menjumpai perlawanan keras dari Inggris dan Perancis ketika ia menyampaikan alasan untuk pembukaan selat bagi kapal-kapal perang Rusia. Austria telah mencapai suatu kemenangan diplomatik, sementara Rusia menderita penghinaan yang lain. Bahkan lebih marah daripada Rusia adalah Serbia, yang mengancam menyerbu Bosnia untuk membebaskan sepupunya dari penindasan Austria. Pers Serbia menyatakan secara terbuka bahwa Austria-Hungaria harus binasa jika Slavia Selatan hendak mencapai kemerdekaan dan kesatuan.

Sikap yang berapi-api juga terjadi di Wina – Austria-Hungaria tidak dapat bertahan hidup jika Serbia tidak dihancurkan. Selama periode ini permusuhan yang hebat antara Austria-Hungaria dan Serbia, Jerman mendukung sekutunya Austria. Untuk menjaga agar Austria tetap kuat, Jerman bahkan setuju untuk pemecahan Serbia dan penggabungannya ke dalam Kekaisaran Hapsburg. Tidak seperti Bismarck, yang berusaha menjaga Austria tetap mengendalikan diri, kepemimpinan Jerman yang sekarang memimpikan secara dingin serangan Austria kepada Serbia, yang sama dinginnya menawarkan dukungan Jerman jika Rusia campur tangan.

8. Perang-Perang Balkan

Krisis Bosnia mendorong Jerman dan Austria semakin lebih dekat, membawa hubungan antara Austria dan Serbia kepada titik perpecahan, dan menimbulkan penghinaan lain kepada Rusia. Perang Balkan Pertama (1912) melanjutkan kecenderungan-kecenderungan ini. Negara-negara Balkan yaitu Montenegro, Serbia, Bulgaria, dan Yunani menyerang Kesultanan-Kekhalifahan Utsmani yang sedang sekarat. Dalam suatu kampanye singkat, para tentara Balkan merebut wilayah kekuasaan Kesultanan-Kekhalifahan Utsmani di Eropa, kecuali Konstantinopel. Karena ia berada di pihak yang menang,

Serbia yang terkurung daratan mendapat pantai Albania, yang memberinya jalan keluar ke laut yang sudah lama didambakan. Austria bertekad untuk menjaga musuhnya mendapat hadiah ini, dan Jerman, seperti dalam krisis Bosnia, mendukung sekutunya. Tak dapat mengamankan dukungan Rusia, Serbia yang berang dipaksa untuk menyerahkan wilayah itu, yang menjadi negara Albania. Kaum nasionalis Serbia yang dibuat berang mempercepat kampanye propaganda dan terorisme melawan Austria. Percaya bahwa penghinaan yang lain akan bersifat merusak tak terpulihkan bagi gengsinya. Rusia bersumpah untuk mendukung Serbia di dalam konfrontasi selanjutnya dengan Austria. Dan Austria

telah mencapai akhir kesabarannya terhadap Serbia, suatu perang yang mungkin dengan mudah menarik Rusia dan Jerman, telah ada. Insiden lain dapat memulai perang; hal itu terjadi pada 28 Juni 1914.

9. Ketegangan-ketegangan Nasionalis Memburuk di Austria-Hungaria

Pada 28 Juni 1914 seorang teroris muda, dengan dukungan sebuah serikat nasionalis rahasia Serbia, yang disebut Union atau Maut (lebih dikenal secara populer sebagai Tangan Hitam), membunuh Archduke Francis Ferdinand, pewaris takhta Austria-Hungaria (May, 1951). Enam minggu kemudian, tentara-tentara Eropa melakukan perjalanan; sebuah insiden di Balkan telah mencetuskan Perang Dunia. Sebuah analisis mengenai mengapa Austria-Hungaria merasa terpaksa menyerang Serbia dan mengapa kekuatan-kekuatan lain menjadi terjerat dalam konflik itu menunjukkan bagaiamana sifat eksplosif Eropa pada 1914. Dan tidak ada tempat lain dimana kondisi-kondisi mudah menguap selain daripada di Austria-Hungaria, tempat terjadinya pembunuhan.

Dengan beberapa kebangsaan, masing-masing dengan sejarah, tradisi dan aspirasi-aspirasinya yang sering bertentangan, Austria-Hungaria berdiri menentang nasionalisme, daya rohaniah yang paling kuat pada masa itu. Mungkin Kekaisaran suprarasional Austro-Hungaria sudah kadaluwarsa di dalam suatu dunia negara-negara yang didasarkan pada prinsip nasionalitas. Didominasi oleh orang Jerman dan Hungaria, kekaisaran itu tetap tidak dapat menanggapi keluhan atau menampung tujuan-tujuan nasionalis kalangan minoritasnya, khususnya bangsa Ceko dan Slavia Selatan (Croasia, Slovenia, Serbia).

Agitasi yang meningkat di kalangan beberapa bangsa, yang memburuk pada dasawarsa 1914, menciptakan kecemasan yang mengerikan di kalangan para pemimpin Austria. Khawatir kalau kekaisaran akan terkoyak-koyak oleh pemberontakan menyebabkan Austria menekankan kebijakan yang memaksa melawan setiap bangsa yang memperbesar rasa nasionalis kaum minoritas Slavik. Khususnya, kebijakan ini berarti memperburuk ketegangan antara Austria dan Serbia kecil, yang telah merdeka dari Kesultanan-Kekhalifahan Utsmani sejak 1878.

Terpikat oleh ide-ide nasionalisme Barat, Serbia berusaha menciptakan Serbia Yang Lebih Besar dengan menyatukan sanak rasialnya, bangsa Slavia Selatan yang tinggal di Kekaisaran Hapsburg, mimpi akan Serbia Yang Lebih Besar, diungkapkan dengan nyaring oleh para nasionalis Serbia, menyebabkan mimpi buruk di Austria. Khawatir kalau hasutan Serbia yang terus berlanjut akan menyemangati bangsa Slavia Selatan untuk memaksa pemisahan, sejumlah pemimpin Austria mendesak penghancuran ancaman Serbia. Ketegangan-ketegangan muncul dari karakter multinasional Kekaisaran Austro-Hungaria ketika zaman rasa nasionalis meningkat memperhebat ledakan pada 1914. Tak mampu memecahkan masalah-masalah minoritasnya dan takut terhadap Pan-Serbisme, Austria-Hungaria merasa dirinya berada dalam situasi hidup dan mati. Rasa putus asa ini membuatnya menyerang Serbia secara tiba-tiba setelah pembunuhan Pangeran Francis Ferdinand.

Sebelum 1914, suasana dominan di Eropa adalah kebanggaan dalam prestasi peradaban Barat dan keyakinan pada kemajuan masa depannya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi, naiknya standar hidup, penyebaran lembaga-lembaga demokratis, perluasan kekuasaan sosial di dunia – semua menyumbang bagi rasa optimisme. Alasan lain untuk optimisme ialah bahwa, sejak kekalahan Napoleon, Eropa telah menghindari perang umum, dan sejak Perang Perancis-Prusia (1870-71),23 Kekuatan Besar tidak bertempur satu sama lain. Segelintir orang menyadari bahwa prestasi Eropa di permukaan menutupi pergolakan di bagian dalam, yang sedang memaksa peradaban Barat menuju suatu bencana. Sistem negara Eropa sedang gagal.

Pada 1914, negara-negara nasional, yang tidak bertanggungjawab pada kekuatan yang lebih tinggi, diisi dengan bahan bakar nasionalisme yang dapat meledak dan mengelompok ke dalam persekutuan-persekutuan yang saling berhadapan dengan permusuhan yang semakin menguat. Nafsu-nafsu nasionalis, yang dipanasi secara berlebihan oleh pers populer dan masyarakat ekspansionis, meracuni hubungan internasional. Para pemikir nasionalis menyebarkan doktrin rasial ilmiah-palsu dan Darwinis Sosial, yang memuja konflik dan membenarkan penaklukan bangsa lain. Bertekad untuk meningkatkan kekuasaan nasional, negarawan tak dapat melihat Eropa sebagai komunitas bangsa-bangsa yang menganut peradaban sama. Kehati-hatian dan pengendalian memberi jalan keluar atas situasi perang dalam hubungan dengan asing.

Kegagalan sistem negara Eropa sejajar dengan krisis budaya. Sejumlah intelektual Eropa menyerang tradisi rasional Pencerahan dan merayakan hal yang primitif, naluriah, dan nonrasional. Orang muda semakin banyak yang tertarik kepada filsafat tindakan yang menertawakan nilai-nilai borjuis liberal dan memandang perang sebagai pengalaman yang memurnikan dan memuliakan. Perang-perang kolonial, yang digambarkan dengan bersemangat dalam pers populer, membakar imajinasi para pekerja pabrik yang bosan, lamunan mahasiswa, memperkuat rasa tanggung jawab dan keberanian di kalangan serdadu dan aristokrat.

Perang-perang kolonial kecil yang “megah” ini membantu membentuk sikap yang membuat perang dapat diterima, jika tidak patut dipuji. Kerinduan untuk lari dari kehidupan mereka sehari-hari dan menganut nilai-nilai heroik, banyak orang Eropa memandang konflik kekerasan sebagai ungkapan tertinggi kehidupan individu dan nasional. “Jika ada perang, bahkan yang tidak adil sekalipun” tulis George Heym, seorang penulis muda Jerman pada 1912. “Perdamaian ini begitu busuk.” Meskipun teknologi sedang membuat peperangan lebih brutal dan berbahaya orang Eropa tetap menganut ilusi romantik tentang pertempuran.

Sementara Eropa tampaknya maju dalam seni peradaban, kekuatan mistis nasionalisme dan daya tarik primitif konflik yang sedang mendorong orang Eropa ke jurang ngarai yang sangat dalam. Segelintir orang mengakui krisis potensial – tentu saja bukan negarawan yang membuat kesalahan besar yang sembrono yang mengizinkan Benua itu tersandung dalam perang.

Nasionalisme: Kesakralan Bangsa

Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang mempunyai kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama, dan merasa terikat kuat dengan suatu negeri tertentu. Nasionalisme menuntut agar kesetiaan dan ketaatan tertinggi harus diberikan kepada bangsa. Kaum nasionalis memperlihatkan kebanggaan yang besar terhadap sejarah rakyatnya dan tradisi-tradisi dan sering merasa bahwa bangsa mereka telah dipilih secara khusus oleh Tuhan atau sejarah. Seperti suatu agama, nasionalisme memberikan rasa kebersamaan kepada individu dan juga alasan yang berharga untuk melakukan pengorbanan diri.

Oleh karena itu, pada masa ketika agama Kristen sedang mundur, nasionalisme menjadi daya rohaniah yang dominan dalam kehidupan orang Eropa abad kesembilan belas. Nasionalisme menyediakan kepercayaan-kepercayaan baru, para martir, dan hari-hari “suci” yang merangsang rasa hormat; nasionalisme menawarkan keanggotaan di dalam suatu komunitas, yang memuaskan kebutuhan psikologis manusia yang sangat besar akan persahabatan dan identitas. Dan nasionalisme memberikan suatu misi – memajukan bangsa – yang dapat menjadi tujuan rakyat untuk membaktikan diri.

Darwinisme Sosial

Teori-teori Darwin diperluas oleh orang lain di luar ranah garapannya. Para pemikir sosial, yang secara serampangan menerapkan kesimpulan Darwin kepada tatanan sosial, menghasilkan teori yang mempunyai konsekuensi yang berbahaya kepada masyarakat. Para Darwinis Sosial – orang-orang yang mengusung teori ilmiah Darwin kepada persolan sosial dan ekonomi – menggunakan istilah-istilah “perjuangan untuk eksis” dan “bertahan hidup bagi yang terkuat” untuk menunjang individualisme ekonomi dan konservatisme politis. Pebisnis yang sukses, kata mereka telah memperlihatkan kecocokan mereka untuk berhasil di dunia bisnis yang bersaing.

Kesuksesan mereka selaras dengan hukum-hukum alam sehingga menguntungkan masyarakat; orang-orang yang kalah di dalam perjuangan sosioekonomis menunjukkan ketidakkuatan mereka. Dengan menggunakan model organisme Darwin yang berkembang secara perlahan-lahan dan berubah secara lambat selama puluhan ribu tahun, kaum konservatif bersikeras bahwa masyarakat pun harus mengalami perubahan dengan langkah yang tidak terburu-buru. Pembaruan yang instan bertentangan dengan hukum-hukum dan kearifan alam dan menghasilkan kemunduran badan sosial.

Penerapan konsep biologis Darwin kepada dunia sosial, yang sebenarnya bukan tempat penerapannya, juga menunjang imperialisme, rasisme, nasionalisme dan militerisme – doktrin yang mengkhotbahkan konflik yang tidak kenal belas kasihan. Para Darwinis Sosial bersikukuh bahwa bangsa-bangsa dan ras-ras terlibat dalam perjuangan untuk bertahan hidup dan di dalamnya hanya yang paling kuat yang dapat dan pantas bertahan hidup. Karl Pearson, seorang profesor matematika Britania, menulis dalam National Life from Standpoint of Science (1900): “Sejarah menunjukkan kepadaku hanya satu jalan, dan hanya satu jalan dimana keadaan peradaban yang lebih tinggi telah dihasilkan, yakni perjuangan ras dengan ras, dan yang bertahan hidup adalah ras yang lebih kuat secara fisik dan mental.” “Kita adalah ras penakluk,” kata senator AS, Albert J. Beveridge. “Kita harus mematuhi darah kita menguasai pasar-pasar baru, dan jika diperlukan, negeri-negeri baru.” “Perang adalah kebutuhan biologis nomor satu,” ditegaskan oleh jenderal Prusia von Bernhardi di dalam Germany and the New War (1911).

Biologi Darwinian digunakan untuk mendorong kepercayaan pada keunggulan ras Anglo-Saxon (Inggris dan Amerika) dan Teutonik (Jerman). Para Darwinisme sosial mengaitkan kualitas rasial dengan pertumbuhan Kekaisaran Inggris, ekspansi Amerika Serikat ke Pasifik, dan ekpansi kekuasaan Jerman. Dominasi bangsa lain – Indian Amerika, Afrika, Asia, Kutub – dipandang sebagai hak alamiah dari ras yang lebih unggul.

Teori evolusi adalah prestasi besar dari pikiran rasional, tetapi di tangan para Darwinis Sosial ia berfungsi menghancurkan tradisi Pencerahan. Sementara para pendukung Pencerahan menekankan kesamaan manusia, para Darwinis sosial memisah-misahkan umat manusia ke dalam ras yang unggul dan yang rendah. Sementara para pendukung Pencerahan percaya bahwa negara akan semakin tunduk kepada kepastian hukum untuk mengurangi konflik yang keras, para Darwinis sosial memandang konflik rasial dan nasional sebagai kebutuhan biologis, suatu hukum sejarah, dan alat untuk mencapai kemajuan.

Dalam menyebarkan versi hubungan manusia dan internasional yang bertarung mati- matian, para Darwinis sosial membuang sentimen peri kemanusiaan dan kosmopolitan para pendukung Pencerahan dan menyimpangkan citra kekuasaan dan penambahan kekuatan militer dan mengarahkan orang banyak untuk menyambut Perang Dunia I. Gagasan Darwinis Sosial atas pertarungan ras demi kelangsungan hidup menjadi suatu doktrin inti partai Nazi setelah Perang Dunia I dan membantu memberikan alasan pembenaran “ilmiah” dan “etis” untuk genosida.

Sistem Aliansi Jerman

Penyatuan Jerman pada 1870-71 mengubah negara baru itu menjadi suatu kekuasaan nasional urutan pertama, yang merusak keseimbangan kekuasaan di Eropa. Untuk pertama kalinya sejak perang-perang Revolusi Perancis, suatu bangsa berada dalam posisi yang dapat mendominasi daratan Eropa. Bagi para nasionalis Jerman, penyatuan Jerman adalah pemenuhan mimpi nasional dan juga titik tolak bagi suatu tujuan yang lebih ambisius – perluasan kekuasaan Jerman di Eropa dan dunia.

Sewaktu abad kesembilan belas semakin mendekati akhirnya, nasionalisme Jerman menjadi semakin ekstrim. Percaya bahwa Jerman harus tumbuh atau mati, kaum nasionalis menekan pemerintah untuk membangun angkatan laut yang kuat, yang memperoleh koloni-koloni, yang mendapat bagian jauh lebih besar dalam pasar-pasar dunia, yang memperluas kepentingan dan pengaruh Jerman di Eropa. Kadang kala tujuan ini diungkapkan dalam bahwa Darwinisme Sosial – bangsa-bangsa terlibat dalam suatu perjuangan abadi untuk bertahan hidup dan dominasi.

Kemenangan yang menentukan melawan Austria (1886) dan Perancis (1871), pembentukan negara Jerman, industrialisasi yang pesat, dan prestasi-prestasi mengesankan dari ilmu dan kesarjanaan Jerman telah membentuk bangsa yang kuat dan dinamis. Diilhami dengan harapan besar untuk masa depan, orang Jerman menjadi semakin tak sabar untuk melihat tanah airnya mendapat tempatnya “yang tepat” dalam urusan-urusan dunia – suatu sikap yang membuat orang-orang non-Jerman ketakutan.

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/4071/5/Bab%202.pdf