Budaya yang menarik dari tempat asal saya (Magetan) adalah budaya larung sesaji.
Larung Sesaji artinya adalah menghanyutkan sesaji. Ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali pada bulan syakban tepatnya hari jum’at pon sampai minggu kliwon.
Dalam ritual ini, warga mengumpulkan bahan makanan yang kemudian dirakit menjadi tumpeng raksasa, yang dinamakan Tumpeng Gono Bahu, setinggi 7 meter. Kemudian tumpeng tersebut dihanyutkan ke Telaga Sarangan Magetan.
Larung sesaji ini dilakukan karena untuk mengucapkan rasa syukur dengan adanya Telaga Sarangan warga memiliki penghasilan untuk mencukupi kebutuham hidupnya. Dengan adanya telaga sarangan warga sarangan mampu menjajakan dagangan, hotel, persewaan kuda, speedboat.
Upacara pelarungan sesaji ini juga unik. Tumpeng raksasa yang telah dirakit dipikul bersama-sama oleh warga dari Kelurahan Sarangan menuju pinggir telaga. Pembawaan tumpeng ini diiringi oleh kirab yang terdiri atas pasukan berkuda 4-8 orang (arak-arakan), cucuk lampah 1 orang, sesepuh adat, kepala kelurahan beserta ibu, barisan domas dari seluruh SMA magetan 50 perserta (pria wanita), prajurit (warga setempat), kejawen 40 orang (pria), bonang renteng (musik gamelan).
Setelah tiba di pinggir telaga, tumpeng ini didoakan oleh sesepuh desa, setelah itu sesaji dimasukkan ke perahu dan dibawa mengitari Telaga Sarangan.
Sesaji pun dilarung/dihanyutkan oleh para pejabat dan masyarakat.
Setelah ritual selesai, masyarakat dihibur dengan hiburan semacam barongsai, reog Ponorogo, atau band.
Meski banyak orang yang mengatakan bahwa ritual ini termasuk syirik, tp sebenarnya ritual ini berfungsi sebagai ucapay syukur kepada Tuhan atas rejeki yang diterima warga, dan juga melestarikan budaya yang telah ada di Magetan sejak dulu.