Apa yang kamu ketahui tentang Teori Sistem Dunia Moderen (MWS)?

Teori Sistem Dunia Moderen

Tesis utama dari teori MWS menyatakan bahwa dunia moderen hanya dapat dipahami sebagai sistem global dengan suatu division of labor tunggal dan sistem budaya jamak yang membentuk suatu hierarkhi internasional melalui perjuangan negara dan kelas yang tidak pernah berhenti.

Apa yang kamu ketahui tentang Teori Sistem Dunia Moderen (MWS) ?

Teori Sistem Dunia atau seringkali disebut sebagai Sistem Dunia Modern ( Modern World System ). Teori ini dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein. Sumber pijakan dari teori MWS adalah ajaran-ajaran Neo-Marxis serta mazhab “Annales” dalam bidang sejarah yang dikembangkan Fernand Braudel di Perancis. Melalui cara ini Wallerstein melihat tatanan ekonomi dunia sebagai suatu kesatuan unit analisa yang secara total berkait satu sama sama lain secara sistemik. Proses-proses perubahan yang terjadi dianalisis dalam kerangka jangka panjang yang dianggap cukup untuk mewadahi “perhitungan logis”. Dengan menggunakan referensi waktu jangka panjang ( la lon que duree ) maka ketotalan dan lapisan paling dalam dari kehidupan sosial itu dilihat sebagai perubahan perlahan dan bersifat pengulangan (Wallerstein, 1974).

Sementara dari aliran Neo-Marxis, Wallerstein menggunakan konsep-konsep yang dikemukakan para teoritisi dependensia, seperti: Paul Baran, Andre Gunder Frank, Dos Santos, Samir Amin, dan lain-lain. Secara provokatif Wallerstein sendiri menyatakan perspektif Sistem Dunia Modern bukanlah merupakan teori, melainkan suatu protes melawan kecenderungan terbentuknya pemahaman ilmu sosial yang keliru sejak dari lahirnya pada pertengahan abad 19 (Wallerstein, 1987).

Tesis utama dari teori MWS menyatakan bahwa dunia moderen hanya dapat dipahami sebagai sistem global dengan suatu division of labor tunggal dan sistem budaya jamak yang membentuk suatu hierarkhi internasional melalui perjuangan negara dan kelas yang tidak pernah berhenti. Hierarkhi tersebut terdiri dari “pusat” ( center ) yang maju dan dominan; serta “pinggiran” ( periphery ) yang tergantung dan terbelakang. Secara ekonomi maupun politik, daerah “pusat” yang metropolis menciptakan keterbelakangan di daerah-daerah “pinggiran”. Hubungan antara “pusat” dan “pinggiran” bercorak eksploitatif, yang ditandai adanya aliran surplus ke negara-negara “pusat”. Dengan kata lain, kemajuan yang dicapai di wilayah-wilayah pusat secara bersamaan justru menciptakan kemiskinan serta ke timpangan di negara-negara pinggiran. Negara-negara pinggiran terjebak dalam siklus atau pusaran keterbelakangan.

Menurut teori MWS, ekonomi internasional merupakan arena pertarungan kepentingan antara negara-negara pusat yang maju dengan negara-negara pinggiran yang lemah dan terbelakang, dalam wujud penghisapan, yang menyebabkan negara-negara terbelakang terhalang kemajuannya baik secara ekonomi maupun politik. Pembagian kerja internasional secara langgeng telah menempatkan negara-negara pinggiran selalu pada posisi tergantung kepada negara-negara maju. Melalui kemampuan ekonomi, jenis produksi, teknologi dan strategi perdagangan yang diciptakan sedemikian rupa, negara-negara pusat (maju) menikmati aliran surplus perdagangan yang secara bersamaan memiskinkan negara-negara pinggiran. Dengan demikian, fenomena pembangunan dan keterbelakangan dalam perspektif hubungan internasional tidak lain merupakan sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi?

Menurut Wallerstein. akar terbentuknya struktur hubungan ekonomi seperti itu bisa dilacak jauh ke belakang, semenjak lahirnya sistem ekonomi-kapitalis dunia sekitar tahun 1500 an, yang kemudian secara perlahan bertransformasi melalui tahapan-tahapan krusial. Beliau menyatakan bahwa, sistem ekonomi kapitalis dunia berkembang melalui kecenderungan sekulernya yang meliputi proses pencaplokan ( incorporation ), komersialisasi agraria, industrialisasi, dan proletarianisasi. Bersamaan dengan itu, sistem ekonomi dunia memiliki irama perputaran ( the cyclical rhythms ), yakni irama ekspansi dan stagnasi yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran barang dunia. Perputaran inilah yang secara berkali-kali terjadi, melalui krisis, sehingga menempatkan kedudukan suatu negara berada dalam posisi sentral, semi pinggiran, bahkan terlempar menjadi pinggiran (Wallerstein, 1984).

Para teoritisi MWS memandang negara ( state ) dan pasar (market) sebagai “fenomena kedua” kekuatan-kekuatan sosial ekonomi yang lebih dalam yang mendorong ekonomi dunia ke dalam suatu cara untuk mengintegrasikan daerah pusat dan pinggiran. Dalam konteks ini, mereka tidak lagi melihat kelas dan status sebagai bentuk pengelompokan dalam suatu negara, tetapi memandangnya sebagai bentuk pelapisan dalam sistem ekonomi dunia. Jadi, sistem ekonomi dunia bukanlah merupakan tatanan yang terisolasi secara nasional tetapi terintegrasi secara global berdasarkan tatanan yang tersusun secara struktural serta mengalami transformasi kesejarahan yang panjang dan kompleks.

Menurut Wallerstein tatanan ini harus dilawan bersama oleh negara-negara berkembang melalui suatu gerakan antisistem berskala global dengan mengarahkan semua energi pada sumber-sumber surplus ekonomi. Sasarannya adalah agar penyedotan surplus ekonomi global secara besar-besaran dapat dihentikan dengan jalan mengurangi tingkat laba serta lebih memperhatikan pada persoalan pemerataan. Jadi berbeda dengan teori Dual Economy yang menyatakan bahwa hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara berkembang bersifat saling menguntungkan, teori MWS justru berpandangan sebaliknya, hubungan itu bersifat merugikan.

Berdasarkan pandangan-pandangan di atas dapat dikemukakan bahwa, pertama teori ini menerima supremasi arena politik dan perjuangan kelas atas konflik-konflik politik, namun juga menerima arena ekonomi sebagai determinan perilaku manusia. Kedua, teori MWS berasumsi bahwa sistem dunia tersusun dari suatu hierarkhi negara-negara yang terdominasi (tergantung) dan negara-negara yang mendominasi atau menguasai. Ketiga, ekonomi dunia moderen ditandai oleh krisis-krisis yang tak dapat dihindari sebagai akibat dari benturan kepentingan antarnegara.

Namun demikian, teori ini memiliki kelemahan, yakni cenderung mengeksternalisasikan kesalahan pembangunan yang berlaku di negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju. Seolah-olah seluruh dampak negatif pembangunan di negara-negara pinggiran disebabkan oleh kebijakan jahat yang sengaja dirancang oleh negara-negara maju. Padahal banyak sekali keterbelakangan yang wujud di negara-negara pinggiran (berkembang) disebabkan oleh faktor-faktor internal mereka sendiri, seperti: Struktur sosial, sistem politik, tingkat korupsi, orientasi budaya, tingkat pendidikan, lemahnya institusi, motivasi kemajuan, dan lain. Faktor-faktor itu justru kurang diperhitungkan oleh para teoritisi MWS.