Apa yang kamu ketahui tentang Perjanjian Basel?

Perjanjian Basel

Apa yang kamu ketahui tentang Perjanjian Basel ?

1 Like

BASEL I


Basel Committee on Banking Supervision berdiri pada tahun 1975 oleh negara-negara Group of Ten (G10) yaitu Amerika Serikat, Belanda, Belgisssa, Italia, Inggris, Jerman, Jepang, Kanada, Luxembourg, Swedia, Swiss, dan Spanyol, dengan tujuan memberikan berbagai regulasi perbankan dan pengawasannya. Pada tahun 1988 komite Basel menghasilkan suatu kesepakatan yang diketahui bernama Basel Accord . Kesepakatan ini bertujuan untuk memperkuat posisi modal, mengurangi ketimpangan atas regulasi yang berbeda di tiap negara, dan mempertimbangkan berbagai risiko perbankan, seperti komitmen-komitmen yang tidak tercantum di dalam neraca.

Basel I banyak membahas mengenai risiko kredit. Aset-aset perbankan diklasifikasikan dan dikelompokan menjadi 5 kategori sesuai risiko kredit, membawa bobot risiko nol (untuk negara misalnya utang rumah tangga negara), sepuluh, dua puluh, lima puluh, dan sampai seratus persen (kategori ini, sebagai contoh, sebagian besar utang perusahaan). Bank dengan standar internasional wajib memiliki modal sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan dan stabilitas sistem perbankan internasional, oleh karena itu rasio modal yang lebih tinggi diwajibkan.

BASEL II


Basel II merupakan versi kedua dari Basel Accord . Regulasi ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan kesehatan sistem keuangan dengan berfokus pada perhitungan modal yang berbasis risiko, tinjauan proses, serta displin pasar. Sebagai tambahan, versi ini dimaksudkan untuk mengontrol berapa banyak modal yang harus ditahan bank untuk menghadapi berbagai jenis risiko keuangan dan operasional bank.

Basel II dibuat untuk membentuk dasar yang kuat dari regulasi yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, pengawasan, dan disiplin pasar, serta meningkatkan kualitas manajemen risiko dan stabilitas keuangan. Komite basel mendorong pengawas perbankan nasional di setiap negara untuk mepertimbangkan manfaat dari regulasi terbaru ini, dan melakukan pendekatan guna mengimplementasikannya ke dalam sistem perbankan domestik negara masingmasing. Mengingat sumber daya dan kendala lainnya, rencana ini tidak akan bisa dilakasanakan tepat waktu, sesuai tanggal yang ditetapkan komite.

Hal terpenting adalah pengawas perbankan harus dapat mengimplementasikan pengawasan dan disiplin pasar, bahkan jika persyaratan modal minimum Basel II tidak bisa dipenuhi sesuai tenggat waktu. Selain itu, pengawas juga harus dapat memastikan semua bank- bank yang tidak mengimplementasikan Basel II harus mengikuti peraturan permodalan, akuntansi dan pembuat kebijakan. Para advokat Basel II percaya bahwa suatu standar internasional dapat melindungi sistem keuangan internasional yang mungkin muncul dari dampak sistemik kegagalan atau kebangkrutan bank. Dalam teori, Basel II berusaha untuk mempertimbangkan risiko dan persyaratan pengelolaan modal yang bertujuan memastikan setiap bank memiliki kecukupan modal yang memadai guna mengahadapi risiko atas setiap pinjaman yang diberikan, serta praktik investasi yang dilakukan (BIS, 2012.). Secara umum, peraturan ini menyatakan bahwa semakin besar risiko, maka semakin besar pula jumlah modal ditahan yang dibutuhkan perbankan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga solvabilitas perbankan dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

BASEL III


Basel III merupakan standar kecukupan modal terbaru yang dikeluarkan oleh Basel Committee on Banking Supervision . Hal ini dirancang untuk meningkatkan berbagai aspek terkait regulasi perbankan. Basel III diterbitkan dalam rangka merespon krisis 2008. 1 Januari 2013, seluruh perbankan di dunia seharusnya sudah dapat mengimplementasikan standar ini. Bank indonesia akan menyesuaikan beberapa peraturan terkait dengan itu, Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain telah memiliki modal yang kuat. Hal tersebut dikarenakan struktur modal di Indonesia memiliki rasio kecukupan modal rata-rata (CAR) 17% (Gayatri, 2012). Basel III dimaksudkan untuk diterapkan secara konsisten di seluruh dunia sehingga dapat mengurangi risiko bahwa lembaga keuangan akan memindahkan operasi mereka ke negara atau tempat yang memiliki regulasi yang lebih lunak. Akan tetapi, ini tidak berarti basel III bisa dilaksanakan mutlak secara seragam di seluruh dunia. Waktu pelaksanaan tidak akan sama persis, dan bank yang beroperasi di beberapa negara dapat dipaksa untuk mengikuti jadwal dan peraturan nasional yang berlaku. Selain itu, detil peraturan terkait kecukupan modal nasional cenderung berbeda, dan bank diharuskan mematuhi aturan suatu negara tersebut yang memiliki persyaratan permodalan minimum paling ketat.

Persyaratan baru dari Basel III untuk countercyclical capital buffer mungkin sulit untuk bank-bank internasional. Basel III mewajibkan setiap negara mempertimbangkan apakah akan meningkatkan persyaratan modal nasional apabila pertumbuhan kredit cenderung tidak aman. Jika bank beroperasi di lebih dari satu negara, countercyclical buffer yang ditahan akan menjadi rata-rata tertimbang countercyclical buffer yang berlaku di negara dimana bank memiliki eksposur kredit (Fikri, 2012).

Secara umum, Indonesia siap mengimplementasikan Basel III dikarenakan bank-bank di Indonesia memiliki komponen yang lebih banyak pada tingkat satu, namun, pengetatan aturan modal basel masih akan mempengaruhi Indonesia. Regulasi permodalan di Indonesia akan diperketat. Aturan basel terakhir membutuhkan modal minimum sebesar 13% dari prosentase CAR dengan komposisi 26 minimal 6% tingkat satu, 2% tingkat dua, 2,5% capital conservation buffer , dan lainnya sebesar 2,5% dari modal selama periode pertumbuhan kredit yang tinggi.

Konvensi Basel menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya pencegahan kejahatan lingkungan dan kesehatan di dunia internasional. Konvensi ini juga menjadi embrio dari konvensi lain yang membuat perjanjian dalam lingkup yang lebih kecil seperti Konvensi Bamako di Afrika dan Konvensi Waigani di wilayah Pasifik Selatan.

Nama resmi dari Konvensi Basel adalah The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and their Disposal. Konvensi Basel bertujuan untuk membangkitkan kesadaran lingkungan dan pengetatan peraturan lingkungan di dunia industri pada dekade 1970-an dan 1980-an. Peraturan tersebut telah menyebabkan peningkatan resistensi publik dalam pembuangan limbah berbahaya - sesuai dengan apa yang dikenal sebagai sindrom NIMBY (Not In My Back Yard) - seiring dengan peningkatan biaya pembuangan limbah. Hal ini pada akhirnya menyebabkan beberapa operator mencari pilihan pembuangan yang murah untuk limbah berbahaya yang diproduksi. Pilihan mereka adalah di negara Eropa Timur dan negara berkembang, di mana kesadaran lingkungan belum berkembang dan peraturan serta mekanisme penegakan peraturan lingkungan yang kurang. Dengan latar belakang ini, Konvensi Basel dinegosiasikan di akhir 1980-an. Konvensi mulai berlaku pada tahun 1992 (Basel Action Network, 2011)

Tujuan dari Konvensi Basel secara umum adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan terhadap efek buruk dari limbah berbahaya. ruang lingkup penerapan meliputi berbagai limbah yang didefinisikan sebagai limbah berbahaya berdasarkan asal usul dan / atau komposisi dan karakteristik mereka, serta dua jenis limbah yang didefinisikan sebagai limbah lainnya, yaitu limbah rumah tangga dan abu insinerator.

Konvensi ini menjadi dasar bagi beberapa perjanjian yang membahas tentang
lingkungan, khususnya pembuangan limbah berbahaya antar negara.

image

Perpindahan lintas batas limbah-limbah berbahaya bermula dari krisis energi yang dialami negara-negara maju pada periode 1970-an. Krisis energi ini mendorong para
pengusaha untuk membatasi anggaran biaya produksi dan konsumsi. Pada saat yang
bersamaan, terdapat pula pengetatan standar lingkungan lokal. Hal tersebut mendorong pengusaha dan petugas pembuangan limbah (perantara untuk pembuangan limbah) untuk mencari tempat-tempat pembuangan baru yang lebih murah biayanya (Basel Action Network, 2010). Akhirnya negara-negara dunia ketiga2 dijadikan sasaran untuk membuang limbahlimbah tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang mengatur mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun baik pencegahan/meminimalisir limbah B3 maupun ketentuan mengenai perpindahan atau pembuangan ilegal limbah B3 dari suatu negara indusutri ke yurisdiksi negara lain. Semakin lama semakin meningkat perdagangan limbah berbahaya ke negara dunia ketiga atau negara yang sedang berkembang tersebut. Beberapa kasus membuktikan, misalnya kasus Koko pada 1988, ketika lima kapal mengangkut 8.000 barel limbah berbahaya dari Italia ke kota kecil Koko di Nigeria. Mereka menyewa lahan di Koko seharga US$ 100 per bulan untuk tempat pembuangan limbah. Oleh banyak negara berkembang, praktek ini dikenal dengan nama “kolonialisasi limbah beracun”.

Referensi

http://eprints.undip.ac.id/59397/3/BAB_II.pdf