Apa yang kamu Ketahui tentang Perang Jamal?

Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.

dalam sejarah islam terdapat beberapa perang seperti perang jamal, tolong jelaskan!

Perang Jamal (Unta) adalah perang yang terjadi di Basra, Irak pada 656 M antara pasukan yang berpihak pada Ali bin Abi Thalib dan pasukan yang berpihak kepada Aisyah yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yaitu Utsman bin Affan. Disebut perang Jamal karena pada saat itu istri Nabi yaitu Siti Aisyah mengendarai Unta.

Perang Jamal juga termasuk peperangan yang pertama kali terjadi antar sesama kaum Muslimin. Ribuan kaum Muslimin gugur dalam peperangan ini. Dari pihak Ali diperkirakan 500.000 pasukan atau lebih sedangkan dari pihak Aisyah diperkirakan melebihi angka tersebut.

Alasan terjadinya perang Jamal

Perang Unta menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, karena peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru dalam Islam yaitu untuk pertama kalinya seorang Khalifah turun ke medan perang untuk memimpin langsung angkatan perang dan justru bertikai melawan sesama Muslim.

Perlawanan secara terang-terangan dilakukan oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair atas kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka mempunyai alasan masing-masing, tetapi mempunyai tujuan yang sama termasuk alasan Aisyah yang ingin menuntut keadilan atas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali, karena :

  • Tugas utama Ali adalah menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan oleh Utsman kepada kaum kerabatnya ke dalam kepemilikan negara dan bukan untuk mengusut kematian Utsman.

  • Menghukum para pembunuh bukanlah perkara yang mudah, karena situasi politik pada saat itu sangat kacau.

Kronologi perang Jamal

Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan yang lain, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Aisyah pun maju dan berhenti di tempat yang mana ia dapat leluasa melihat pasukan yang tengah bertempur. Aisyah maju ke depan dan memberi Mushaf kepada Ka’ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata, “Ajaklah mereka kepada Kitabullah!” Ka’ab bin Sur pun maju ke depan dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya. Ia disambut oleh bagian depan pasukan Kufah. Pada saat yang bersamaan Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah yang dapat mereka bunuh. Mereka tidak membiarkan seorang pun. Ketika mereka melihat Ka’ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga ia tewas. Kemudian anak panah mulai menghujani Aisyah. Mereka terus menghujani Aisyah dengan anak panah tetapi Aisyah terus memotivasi pasukan untuk mempertahankan diri dan menghentikan serangan mereka. Mereka terus mendesak hingga medan pertempuran sampai ke tempat Ali bin Abi Thalib berada. Peperangan semakin seru, kadang kala pasukan Bashrah di atas angin dan kadang kala pula pasukan Kufah berada di atas angin.

Banyak sekali pasukan yang gugur. Belum pernah ditemukan pertempuran yang banyak menimbulkan korban yang putus tangan dan kakinya selain dalam peperangan ini.
Aisyah terus mendorong pasukannya untuk mengejar para pembunuh Utsman. Prajurit-prajurit yang bertempur mendekati unta (yakni unta yang membawa Aisyah), mereka berkata, “Peperangan ini akan terus berlanjut selagi unta ini masih tegak di sini!” Tali kekang unta pada saat itu ada di tangan Umairah bin Yatsribi, ia termasuk salah seorang jagoan yang kesohor. Ia tetap mempertahankan tali kekang unta itu hingga ia tewas terbunuh. Prajurit yang pemberani dan gagah berani mengkhawatirkan keselamatan Aisyah. Pada saat itu juga sebagian dari mereka mencederai salah satu mata Adi bin Hatim. Abdullah bin az-Zubair menderita luka sebanyak tiga puluh tujuh liang pada peperangan Jamal ini. Marwan bin al-Hakam juga terluka. Kemudian seorang lelaki menebas kaki unta lalu membunuhnya, akhirnya unta itu roboh di atas tanah. Ada yang mengatakan bahwa yang mengisyaratkan agar membunuh unta itu adalah Ali bin Abi Thalib tetapi ada yang mengatakan al-Qa’qa’ bin Amru. Tujuannya agar Ummul Mukminin tidak terkena lemparan panah, karena saat itu ia menjadi sasaran tembak oleh para pemanah. Dan agar ia dapat keluar dari medan pertempuran yang telah menelan korban sangat banyak.Ketika unta tersebut roboh ke tanah, orang-orang yang berada di dekatnya mundur.

Ali bin Abi Thalib bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau menshalatkan korban yang gugur dari kedua belah pihak. Kemudian beliau mengumpulkan barang-barang yang dirampas dari pasukan Aisyah di markas dan memerintahkan agar dibawa ke Masjid Bashrah. Bagi yang mengenali barangnya ia boleh mengambilnya kembali. Kecuali senjata berlambang khalifah yang terdapat di gudang. Total korban yang gugur pada peperangan Jamal dari kedua belah pihak berjumlah 10.000 jiwa, 5.000 dari pasukan Ali dan 5.000 dari pasukan Aisyah.

Zubayr terbunuh di dalam pertempuran, Ali mendengar pembunuhan itu dan berkomentar, “ Berilah kabar gembira pada orang itu bahwa dia kelak masuk neraka”. Pasukan Thalhah dan Zubayr telah kalah dan Aisyah meminta sulh (perjanjian damai).

Referensi
  • Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2013), 110.
  • Ridwan Abu Bakar et al, Sejarah Peradan Islam 1 (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2013).

Dalam Minhaj As-Sunnah , tentang kemunculan perselisihan tersebut, Ibnu Taimiyah menulis,

Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali radhiyallahu ‘anhu yang menerima pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar di sana karena empat sebab. (1) Tidak adanya qishash terhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3) kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh Utsman berada, (4) orang-orang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam pasukan Ali radhiyallahu ‘anhu .Empat alasan itulah yang membuat rakyat Syam mencurigai Ali memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali justru melaknat para pembunuh Utsman itu.”

Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap Utsman sampai terbunuh. Dalam Tarikh Ad-Dimasyq karya Ibnu Asakir dan Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir, disebutkan nama-nama orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik itu berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih.

  • Orang pertama adalah laki-laki yang dijuluki Al-Mawt Al-Aswad , kematian yang hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak-bernyawa, Al-Mawt Al-Aswad keluar.

  • Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.

  • Orang ketiga adalah Sudan bin Humran Al-Muradi. Ialah yang membuat jari-jari istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.

  • Orang keempat adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, ‘Amr segera menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah tidak bernyawa lagi itu. “Tiga tikaman,” kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku.”

Khalifah Khayyath, dalam kitab tarikh miliknya, menambahkan orang kelima, Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.

Antara keluarnya Al-Mawt Al-Aswad dan masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq dari istrinya yang bernama Asma’ binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.

Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan rombongan orang-orang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan teman-temannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad berlalu sia-sia.

Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang berdarah-darah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpin—meski dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipun—tidak akan sanggup menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan.

Perang Jamal

Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H. Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Ya’la bin Muniyah dan Abdullah bin ‘Amir.

Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman. Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah dan berdiam di sana.

Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana.

Belum lagi Ali datang, tiba-tiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah juga dibantu oleh penduduk-penduduk Bashrah.

Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan rombongan sahabat-sahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai pasukan Kufah.

Masing-masing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Al-Qa’qa bin ‘Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.

Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Selain itu, masing-masing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang. Satu-satunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.

Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tiba-tiba sebuah pasukan yang diorganisasi oleh oknum-oknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan Ali. Mereka segera melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.

Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik. Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya.

Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka.

Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi di antara mereka itu berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair, masing-masing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korban-korban telah berjatuhan.

Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Ka’ab bin Sur untuk menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Ka’ab mencoba menarik perhatian kedua belah pihak meminta—dengan nama Allah—untuk berhenti menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Ka’ab tewas dihujani anak-anak panah.

Thalhah termasuk orang-orang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang anak panah tak-bertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai.

Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah yang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, “Sungguh, engkau akan memerangi Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim.” Salah satu perawi hadits ini diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.

Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota pasukan Ali. Pembunuh itu bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian Zubair itu, Ali segera berkata kepada ‘Amr, “Kabari orang yang membunuh putra Shafiyyah itu dengan Neraka.” Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair.

Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang. Sekedup Aisyah terjatuh dan orang-orang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena membela keselamatan Aisyah.

Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan serangan. Ali secara langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.

Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana.

Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu ‘anhu memimpin shalat jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Harta-harta yang telah dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orang-orang yang lari dari perang dibiarkannya dan tidak dikejar.

Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya. Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.

Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu ‘anhum .

Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orang-orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, “Wahai anak-anakku, jangan kalian saling mencaci-maki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudara-saudara iparnya. Walaupun aku pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih.”

Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, “Beliau benar. Demi Allah, tidak ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau adalah istri nabi kalian radhiyallahu ‘anha di dunia dan di akhirat”.