Apa yang kamu ketahui tentang Perang Candu II?

Perang Candu

Apa yang kamu ketahui tentang Perang Candu II?

Perang Candu II dapat dianggap sebagai kelanjutan dari ambisi imperialisme Eropa di Tiongkok. Pihak Eropa yang telah mendapatkan hak-hak dagang khusus di Tiongkok, masih berambisi untuk memperluas kekuasaannya. Pihak Inggris ingin memperkuat pengaruhnya di Tiongkok dengan memaksa Dinasti Qing memperluas wilayah perjanjian Nanjing. Pada tahun 1854, mereka menuntut seluruh Tiongkok dijadikan wilayah dagang terbuka bagi East India Company, perdagangan candu dilegalkan, dan diperbolehkannya duta besar Inggris ditempatkan di Beijing (William Travis Hanes, 2002).

Tuntutan serupa juga datang dari Amerika Serikat dan Prancis. Akan tetapi, pemerintah Dinasti Qing menolak semua tuntutan tersebut, sehingga hubungan Tiongkok dan Barat menjadi memanas. Meskipun demikian, Perang Candu II secara khusus dipicu oleh tindakan pejabat Dinasti Qing yang menghentikan kapal bernama Arrow, kapal Tiongkok yang telah diregistrasi di Hongkong (kapal tersebut dikapteni orang Inggris dan seluruh awaknya merupakan warga Tiongkok). Telah menjadi kebiasaan, jika kapalTiongkok hendak menyelundupkan sesuatu, mereka meregistrasikan terlebih dulu kapalnya di Hongkong, sehingga dapat berlayar di bawah bendera Inggris dan terhindar dari jeratan hukum Tiongkok (Beeching, 1975).

Pada tanggal 8 Oktober 1856 kapal tersebut berlabuh di Kanton. Pada pagi harinya, mereka dihentikan oleh 4 pejabat dan 60 pasukan bersenjata. Mereka mencurigai Arrow hendak menyelundupkan sesuatu ke wilayah Tiongkok. Kapten kapal mendatangi konsulat Inggris untuk melaporkan penahanan yang dilakukan pejabat Tiongkok. Konsul Inggris, Harry Parkes, segera meresponnya dengan mendatangi pejabat Tiongkok yang melakukan penahanan serta memprotes tindakan mreka. Meskipun telah diprotes, 12 orang di antara awak kapal itu tetap ditahan karena dianggap melakukan tindak kriminal penyelundupan. Pihak Inggris ngotot, bahwa kapal itu telah diregistrasi di Hongkong, oleh karena itu hukum khusus berlaku terhadap mereka, dan meminta agar kapal dan awaknya dibebaskan.

Pihak Tiongkok menolak permintaan Parker, karena gagal membebaskan para awak Konsul Inggris kembali ke kantornya dan menyurati Gubernur Ye Mingchen. Ia membuat tuduhan bahwa para pejabat Tiongkok telah menghina bendera Inggris. Selain itu, ia juga menuduh pihak Tiongkok telah melanggar perjanjian ekstrateritorial dengan Inggris. Parker juga mengirimkan surat kepada Gubernur Sir John Bowring dan Admiral Sir Michael Seymour di Hongkong, meminta Inggris menuntut permintaan maaf Tiongkok. Mungkin Parker melihat peristiwa ini sebagai salah satu kesempatan untuk memperluas imperialisme Inggris di Tiongkok.

Dari hasil penyelidikan pejabat Tiongkok yang berwenang mendapati bahwa sembilan di antara dua belas orang yang ditangkap tidak bersalah. Gubernur Ye dengan tenang dan sopan menjawab tuntutan sepihak Inggris. Dijelaskannya alasan penangkapan serta penyesalan terhadap kesalah-pahaman yang terjadi. Ia juga mengatakan tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghina bendera Inggris. Gubernur Ye lalu menawarkan untuk menyerahkan 12 orang yang di tahan itu pada tanggal 12 Oktober 1856.

Akan tetapi, Parker menolak tawaran tersebut meskipun pihak Tiongkok telah menyampaikan rasa penyesalan. Ia tetap bersikeras agar Gubernur Ye mengeluarkan permintaan maaf secara tertulis serta pembebasan awak kapal yang tidak bersalah dengan segera. Ye merespon kesombongan pihak Inggris dengan menyatakan bahwa hukum ekstrateritorial hanya berlaku bagi kapal Inggris, sedangkan Arrow adalah kapal Tiongkok. Ia juga mempertanyakan kewenangan pihak Inggris untuk ikut campur urusan penangkapan warga negara Tiongkok oleh pejabat berwenangan Tiongkok, apalagi saat itu kapal juga berada di perairan Tiongkok. Gubernur menyimpulkan insiden tersebut bukan lah merupakan pelanggaran perjanjian apa pun.

Pihak Inggris menolak penjelasan pihak Tiongkok di atas, meskipun bukti-bukti dan saksi menguatkan pembelaan Ye. Mereka tetap ngotot bahwa kapal itu tetap kapal Inggris dan warga negara mana pun yang berada di atas kapal Inggris berada di bawah naungan hukum Inggris.

Polemik ini terus berlanjut hingga tanggal 21 Oktober 1856, di mana sekali lagi Parker menuntut permintaan maaf Tiongkok. Keesokan harinya, Gubernur Ye mengirim para tahanan itu ke konsulat Inggris, termasuk yang terbukti bersalah melakukan penyelundupan, namun pihak Inggris menanggapi dingin usaha tersebut. Gubernur Ye tetap bersikeras tidak perlu mengeluarkan permintaan maaf, karena tidak ada pelanggaran yang dilakukan.

Setelah Tiongkok tidak kunjung meminta maaf, arogansi Inggris pun semakin menjadi. Mereka mengerahkan angkatan perangnya pada tahun 1857 untuk menggempur Kanton. Prancis ikut bergabung dengan Inggris setelah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap seorang misionaris Prancis bernama August Chapdelaine.

Kanton berhasil direbut dan mereka bergerak menuju Beijing. Sementara itu, Kaisar Xianfeng (1851-1860) yang ketakutan melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru berakhir setelah pihak Tiongkok bersedia menandatangani Perjanjian Tianjin pada bulan Juni 1858. Berikut isi dari perjanjian Tianjin:

  1. Inggris, Prancis, Amerika, dan Rusia diizinkan membuka kedutaan di Beijing, yang saat itu merupakan kota tertutup bagi orang asing.

  2. Sepuluh pelabuhan baru dibuka bagi bangsa Barat, termasuk Danshui, Hankou, Niuzhuang, dan Nanjing.

  3. Pemberian izin kunjungan orang asing ke pedalaman Tiongkok, baik untuk urusan dagang atau kegiatan misionaris

  4. Tiongkok harus membayar kerugian perang sebesar 4 juta tail perak pada Inggris dan 2 jut apada Prancis.

  5. Pelarangan menyebut bangsa Barat sebagai yi (barbar).

Walaupun perjanjian telah ditandatangani, kerajaan tetap tidak mengizinkan pendirian kedutaan di Beijing. Oleh karena itu, pada tahun 1860, kekuatan gabungan Inggris dan Prancis kembali melancarkan serangan, dan berhasil menaklukan Beijing pada tanggal 6 Oktober 1860. Kaisar Xiangfeng kembali melarikan diri ke istananya di Chengde, di mana sebelumnya ia telah memerintahkan Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa Barat.

Di saat yang bersamaan, bangsa Barat membakar istana kekaisaran dan menjarahnya. Untuk meredam kekejaman bangsa Barat, pangerang Gong menyampaikan kembali kesediaan Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud Konvensi Beijing yang diratifikasi pada tanggal 18 Oktober 1860. Adapun isi dari ratifikasi adalah sebagai berikut:

  1. Tiongkok mengakui kembali Perjanjian Tianjin.
  2. Menjadikan Tianjin sebagai pelabuhan terbuka.
  3. Kerugian yang harus diganti Tiongkok kepada Inggris dan Prancis ditingkatkan menjadi 8 juta nail perak.
  4. Perdagangan candu dilegalkan. Dengan keluarnya ratifikasi ini sekaligus mengakhiri sepenuhnya Perang Candu dan menjadikan candu sebagai barang yang legal di dataran Tiongkok.

Sejarah adanya perang Candu ini menjadi awal mula perebutan daerah Hong Kong oleh negara Inggris dan adanya peminjaman wilayah yang termasuk dampak dari perang Candu. Ketika Hong Kong telah direbut oleh Inggris sebagai wilayah kolonialnya, adanya perubahan beberapa sistem dan pemerintahan di Hong Kong. Atas kemenangan Inggris pada perang Candu berarti telah memulai imperialisme di Tiongkok dengan menduduki Hongkong. Hongkong oleh Inggris dijadikan pangkalan militer dan pelabuhan perdagangan. Hongkong merupakan tempat yang strategis karena terletak di muara sungai Yang Tze yang merupakan pintu utama masuk ke Tiongkok. Pada pertengahan abad ke- 19 merupakan puncak kemakmuran dan kemegahan bagi Inggris. Sebagai Negara industri dan Negara penjajah terbesar di dunia pada saat itu, Inggris menduduki tempat teristimewa dalam percaturan poloitik ekonomi internasional.

Pada tahun 1842 Hong Kong dijadikan pangkalan militer Inggris, dikarenakan merupakan salah satu wilayah yang sangat strategis di Asia. Ketika era penjajahan Inggris, Hong Kong dikepalai oleh seorang gurbenur yang merupakan pilihan ratu Inggris bernama Henry Pottinger dengan letak ibu kota di wilayah Victoria dan berstatus sebagai daerah kolonial Inggris. Pada masa kolonialnya, Inggris mencoba merupbah kebijakan dan sistem ekonomi yang dimiliki oleh Hong Kong, sehingga Hong Kong lebih berkembang dan ekonominya semakin maju. Sebelum menjadi daerah kolonial Inggris, Hong Kong merupakan salaah satu desa nelayan yang dikuasai oleh bajak laut pantai Tiongkok selatan (Hong Kong Goverment, 2016).

Hong Kong pada masa Dinasti Ming merupakan salah satu pusat perdagangan dan sangat banyak imigran dari negara Tiongkok yang datang untuk menetap di wilayah Hong Kong tersebut. Pada tahun 1860 Inggris mendapatkan wilayah tambahan sebagai koloni, yaitu semenanjung Kwoloon, dan New Teritories beserta 230 pulau didapat pada tahun 1898 dengan masa sewa 99 tahun.

Kolonialisme Inggris bersifat realis dimana Inggris melarang masyarakat Hong Kong dan Tiongkok untuk menetap di puncak Victoria yang memiliki pemandangan yang indah, dengan demikian Inggris menjadikan Victoria ini menjadi salah satu tempat villa mewah untuk pemukiman penjajah Inggris. Kedatangan imigran dari wilayah Tiongkok mendukung kemajuan Hong Kong sebagai pelabuhan perdagangan dan pusat industri. Perkembangan Ekonomi Hongkong tidak lepas dari kebijakn yang diterapkan oleh Inggris sebagai Negara Induknya, pendekatan laisses fiare ( biarkan rakyat bertindak sendiri ) telah menjadikan Hongkong sebagai kota pelabuhan yang maju.

Perjalanan Hong Kong berada dalam masa kolonial Inggris tidak terlepas dari konflik yang berhubungan dengan masyarakat Hong Kong, pada tahun 1966 terjadi pemberontakan anti kolonial setelah adanya bentrok antara penduduk Tiongkok dengan polisi tntang karcis dipelabuhan fery yang semakin naik. Pada tahun 1966 sampai 1968 adanya penyebaran revolusi kebudayaan juga menyebabkan kerusuhan di Hong Kong dan telah memakan korban jiwa. Tata hukum yang berlaku di Hong Kong sama dengan tata hukum Inggris, perkembangan Hong Kong selain bidang ekonomi yaitu dalam bidang politik yang ditandai dengan adanya pemilu pertama pada tahun 1991 dan pemilu kedua pada tahun 1995 dan pada saat itu Partai Demokarasi menjadi partai yang terbesar di Hong Kong.


image

Dilihat dari tabel diatas bahwasanya banyak sektor-sektor yang mengalami kemajuan di wilayah Hong Kong, perubahan ini dilihat pada era kolonial Inggris, bahwasanya dengan adanya pergantian sistem dan konsep yang disusun oleh Inggris dalam menjadikan Hong Kong sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia. Peningkatan itu bukan hanya dikarenakan oleh bagaimana sistem yang dijalankan namun tetap ada campur tangan dari negara penjajah yaitu Inggris (Cheng J. Y., 1997).

Ambisi imperialisme Eropa ke negeri China membuat hak-hak dagang istimewa yang telah mereka dapatkan dari Pemerintah China dirasa msih belum cukup sehingga negara-negara Eropa tersebut bernafsu untuk memperluas kekuasaan mereka. Hal itulah yang mengobarkan Perang Candu Jilid II yang berlangsung pada tahun 1856 – 1860.

Tuntutan pertama dilayangkan Pihak Inggris pada tahun 1854 yang menginginkan agar wilayah yang tercantum dalam Perjanjian Nanjing diperluas. Tidak hanya itu, Inggris juga meminta agar seluruh daratan China dijadikan wilayah dagang terbuka bagi Inggris melalui East India Company, diperbolehkannya duta besar Inggris membuka kantor di Beijing dan dilegalkannya perdagangan candu.

Tidak hanya Inggris, tuntutan yang sama juga disampaikan oleh Amerika dan Prancis. Karena berada di pihak yang dirugikan, Pemerintah Dinasti Qing pun menolak tuntutan ketiga negara tersebut, sehingga membuat hubungan antara China dengan negara-negara Barat kembali memanas.

Berkobarnya Perang Candu II, secara spesifik dipicu penangkapan kapal bernama “Arrow” oleh pejabat Dinasti Qing, karena dicurigai menyelundupkan sesuatu. Kapal yang dikapteni orang Inggris tersebut telah diregistrasi di Hongkong, dan sudah menjadi kebiasan, kapal-kapal yang hendak menyelundupkan sesuatu selalu diregistrasi terlebih dahulu di Hongkong agar dapat berlayar dengan menggunakan bendera Inggris sehingga dapat terhindar dari jeratan hukum China.

Karena kapalnya ditangkap, Kapten Kapal Arrow pun melaporkannya ke konsulat Inggris, dan konsul Inggris, Harry Parkes merespon laporan tersebut dengan mendatangi pejabat China untuk memprotes tindakan mereka.

Meskipun diprotes, 12 awak kapal Arrow tetap ditahan dengan tuduhan penyelundupan. Sementara pihak Inggris bersikeras bahwa Kapal Arrow telah diregistrasi di Hongkong, sehingga hukum khusus harus diberlakukan kepada mereka dan awak kapal harus dibebaskan.

Protes yang dilakukan konsul Inggris tersebut tidak digubris oleh China, sehingga Parker pun kemudian melayangkan surat ke Gubernur Ye Mingchen dengan tuduhan bahwa bendera Inggris telah dihina oleh para pejabat China. Selain itu, konsul Inggris juga menuduh China melanggar perjanjian ekstrateritorial.

Pada waktu yang sama, Parker juga berkirim surat kepada Admiral Sir Michael Seymour dan Gubernur Sir John Bowring yang ada di Hongkong dengan meminta Inggris agar menuntut permintaan maaf dari China.

Mendengar tuntutan dari Pihak Inggris, Gubernur Ye menjawab alasan penangkapan awak kapal serta menyampaikan penyesalan atas terjadinya kesalahpahaman. Dia juga menjelaskan bahwa tidak ada niat sedikitpun untuk menghina bendera Inggris dan menawarkan pembebasan 12 orang awak kapal yang ditahan pada 12 Oktober 1856.

Namun tawaran tersebut ditolak oleh Parker dan dia menuntut agar Gubernur Ye menyampaikan permintaan maaf secara tertulis mewakili Pemerintah Cina serta membebaskan awak kapal dengan segera.

Polemik tersebut terus berlanjut. Pada 21 Oktober 1856, Parker kembali menuntut permintaan maaf China. Esok harinya para tahananpun diserahkan ke konsulat Inggris oleh Gubernur Ye. Namun Inggris menanggapinya dengan dingin. Sementara Gubernur Ye tetap bersikeras tidak mau menyampaikan permintaan maaf secara tertulis.

Karena China tetap tidak mau meminta maaf, Inggris dengan arogansinya pada tahun 1857 mengerahkan angkatan perangnya dan menggempur Kanton. Tidak berapa lama kemudian Prancis ikut bergabung dengan tentara Inggris disebabkan karena salah seorang misionaris Prancis yang bernama August Chapdelaine dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah China.

Serbuan tentara Inggris dan Prancis membuat Kanton berhasil ditaklukkan. Selanjutnya bala tentara dari Eropa tersebut bergerak menuju Beijing. Hal tersebut membuat Kaisar Xianfeng mengungsi ke Jehol.

Perang Candu II baru dapat diakhiri setelah Pemerintah Cina pada bulan Juni 1858 menandatangani Perjanjian Tianjin yang isinya terdiri atas 5 butir, yaitu:

1). Inggris, Amerika, Prancis dan Rusia diberi ijin untuk membuka kedutaan di Bijing, yang sebelumnya merupakan wilayah yang tertutup bagi warga asing.

2). Pelabuhan baru yang dibuka bagi bangsa Barat bertambah menjadi 10 pelabuhan, termasuk Nanjing, Hankou, Danshui dan Niuzhuang.

3). Bangsa asing diberi ijin untuk melakukan kunjungan ke pedalaman China, baik sebagai misionaris maupun untuk kepentingan dagang.

4). Kerugian perang yang harus dibayar oleh China sebesar 4 juta tail perak untuk Inggris dan 2 juta tail perak untuk Perancis.

5). Adanya larangan menyebut bangsa Barat dengan sebutan yi atau barbar.

Meski perjanjian telah ditandatangani, Pemerintah China tetap tidak memberikan ijin pendirian kedutaan di Beijing. Itu sebabnya gabungan tentara Inggris dan Prancis pada 6 Oktober 1860 melancarkan serangan, sehingga Beijing berhasil ditaklukkan. Serangan tersebut membuat Kaisar Xiangfeng kembali mengungsi ke Chngde dan memerintah Pangeran Gong melakukan negosiasi dengan pihak Barat.

Karena tentara Inggris dan Prancis semakin membabibuta dengan membakar istana dan menjarah isinya, Pangeran Gong pun berusaha meredam tindakan anarkis tersebut lewat negosiasi dengan berjanji untuk mematuhi seluruh isi Perjanjian Tianjin lewat Konvensi Beijing.

Konvensi yang diratifikasi pada 18 Oktober 1860 tersebut isinya terdiri atas 4 butir, yaitu:
1). Diakuinya kembali Perjanjian Tianjin oleh Pemerintah Chin.
2). Tianjin menjadi pelabuhan terbuka.
3). Ganti rugi perang yang harus dibayar China kepada Inggris dan Prancis bertambah besar menjadi 8 juta tail perak.
4). Dilegalkannya perdagangan candu.

Dengan dikeluarkannya Konvensi Beijing tersebut, Perang Candu yang telah memakan banyak korban memang benar-benar berakhir, namun sejak saat itu pula candu menjadi barang yang diperdagangkan secara legal di daratan China.