Apa yang kamu ketahui tentang novel dan cerpen sebagai karya sastra fiksi?

Fiksi, sering disebut juga dengan cerita rekaan (cerkan) bukan sebagai lawan dari kenyataan melainkan lebih sebagai hasil refleksi sastrawan terhadap realitas kehidupan dalam lingkungan sosial budayanya setelah melalui kreasi dengan daya imajinasinya. Dengan daya kreasi dan imajinasinya, sastrawan kemudian merefleksikan realitas kehidupan yang dihadapinya ke dalam karya fiksi. Oleh karena itu, kebenaran yang ada dalam dunia sastra tidak dapat disejajarkan dengan kebenaran pada dunia nyata (Sudjiman, 1990).

Robert Frost menyatakan, bahwa hakikat sastra adalah a performance in words ‘pertunjukan dalam kata’ (dalam Nafron Hasyim, 2001). Oleh karena itu, novel sebagai karya sastra lazim dikatakan sebagai ‘dunia dalam kata’, mengingat dunia cerita yang diciptakan sastrawan dibangun, diabstrakkan, dan sekaligus lewat kata-kata atau bahasa. Selain itu, novel merupakan cerita yang mengandung gagasan tentang hakikat kehidupan dan sekaligus hiburan. Ketika membaca sebuah novel, kita menikmati cerita, sekaligus memperoleh kepuasan batin yang sulit dicari pada teks non-sastra.

Bagi Wellek & Warren (1989), betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, bangunan strukturnya koheren, dan mempunyai tujuan estetik. Melalui cerita, secara tidak langsung pembaca dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang.

Sebagai karya rekaan, cerita imajinatif, karya sastra fiksi terdiri atas cerita pendek (cerpen) dan novel. Perbedaan antara keduanya pun tidak mudah untuk dirumuskan. Kedua fiksi tersebut dalam dunia sastra tampaknya menjadi genre terpenting mengingat jumlah pembacanya paling banyak dibanding dengan dua genre lainnya yakni puisi dan teks drama. Realitas dalam dunia sastra menunjukkan bahwa kedua genre sastra fiksi tersebut demikian banyak penggemarnya. Lantas apa yang kamu ketahui tentang novel dan cerpen sebagai karya sastra fiksi?

Novel


Dekade 1970-an merupakan masa perkembangan baru dalam kesusasteraan Indonesia yang membawa perubahan penting di tengah kehidupan masyarakat. Dekade 1970-an juga membuka cakrawala baru bagi pengarang dan pembaca sastra dengan semakin banyaknya masyarakat pembaca sastra terutama kaum muda dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relatif mapan. Perkembangan itu ditandai antara lain dengan banyaknya karya sastra baik puisi, cerpen, novel, maupun drama yang diterbitkan.

Karya sastra dengan berbagai genrenya adalah anak zamannya, yang melukiskan corak, cita-cita, inspirasi, dan perilaku masyarakatnya, sesuai dengan hakikat dan eksistensi karya sastra yang merupakan interpretasi kehidupan (Hudson, 1965). Melalui refleksi, kontemplasi, dengan mengerahkan daya kreasi dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya yang berkembang dan dihadapi sastrawan itu dieskpresikannya dalam bentuk karya sastra baik puisi, fiksi, maupun drama sesuai dengan latar belakang dan ideologinya.

Di antara tiga genre karya sastra yakni puisi, fiksi, dan drama, karya fiksi novellah yang paling menonjol. Hal itu terbukti dengan banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi bacaan masyarakat modern di Indonesia yang menggemari sastra terutama sejak dekade 1970-an. Oleh karena itu, menurut Teeuw (1989), novel dapat dikatakan sebagai genre sastra yang merajai fiksi Indonesia mutakhir.

Perkembangan itu tidak terlepas dari situasi Indonesia pasca-1965 terutama memasuki dekade 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh kebebasan yang lebih luas. Usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian tradisi, pada sumber kekayaan khasanah sastra Indonesia sendiri (Mahayana, 2007). Lahirlah beragam karya sastra dengan tema yang variatif.

Sastra Indonesia, terlebih novel, lahir dan berkembang dalam dinamika sosiokultural yang khas. Dikatakan khas karena novel Indonesia mengungkapkan heterogenitas masyarakat Indonesia yang pluralistic. Novel Indonesia merepresentasikan ruh, bahkan juga semangat kultural lingkungan sosial budaya etnisitas keindonesiaan (Mahayana, 2008). Hal itu tentu tidak terlepas dari eksistensi sastrawan yang lahir dan dibesarkan dalam dinamika lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, sastrawan yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan sosialnya kemudian menangkap, menginterpretasikan, dan merefleksikannya dalam karya sastranya, antara lain dalam novelnya.

Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa.

Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial kemasyarakatan oleh kaum terpelajar Indonesia sejak tahun 1920-an dan yang sangat digemari oleh sastrawan (Hardjana, 1981). Dalam novel terdapat satu pilihan di antara berbagai aspek kehidupan untuk diperhatikan (Boulton, 1984). Meskipun di antara sastrawan berbeda pendapat tentang apa yang menarik, melalui kesusasteraan kita dapat belajar banyak tentang hidup ini dengan menemukan apa yang dianggap penting oleh orang lain. Itulah sebabnya mengapa novelis-novelis kita sering mengupas masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi pengarang dan zamannya, termasuk masalah sosial keagamaan (Sumardjo, 1979).

Karya sastra yang berbobot memiliki keistimewaan (idiosyncrasy), meminjam istilah Chomsky (dalam Fowler, 1977), baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan maknanya (deep structure). Artinya, karya sastra literer harus memenuhi dua kriteria utama seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam Aminuddin, 1987), yakni :

  1. relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity)

  2. daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur- unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).

Dengan demikian, daya tarik sastra literer termasuk fiksi literer terletak terutama pada dua hal. Pertama, adanya gagasan- gagasan besar dan aktual atau ideologi pengarang yang berkaitan dengan eksistensi kemanusiaan seperti masalah social, politik, budaya, moral, keagamaan, religiositas, dan gender. Kedua adalah unsur-unsur cerita sebagai sarana ekspresi termasuk stilistika yang memiliki daya pukau yang luar biasa.

Cerpen


Perbedaan cerpen dengan novel terutama terletak pada segi formalitas bentuk, atau segi panjang cerita. Cerpen merupakan cerita yang pendek. Akan tetapi berapa ukuran panjang pendek tidak ada ketentuan yang pasti. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961) sastrawan kenamaan Amerika, menyatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar sekitar setengah jam hingga dua jam, sesuatu yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk membaca sebuah novel.

Yang pasti, cerpen menuntut penceritaan yang ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa perbedaan novel dengan cerpen adalah pada cerpen hanya mengisahkan tokoh utamanya dalam satu episode kehidupan tertentu. Sebuah cerita yang hanya mengisahkan tokoh dalam sekelumit kehidupannya, masa remajanya saja misalnya. Adapun novel lebih bebas dalam penceritaan dan dapat mengisahkan tokohnya secara lebih detil. Novel menceritakan tokohnya dalam suatu periode kehidupan tertentu sehingga aspek-aspek cerita dapat diceritakan secara lebih mendetil.

Ada pula cerpen yang panjang atau sangat panjang sering disebut novelet, yakni cerita yang lebih pendek daripada novel. Karya Umar Kayam,Sri Sumarah dan Bawuk (1975) merupakan dua cerpen panjang yang barangkali lebih tepat dikatakan sebagai novelet.