Novel
Dekade 1970-an merupakan masa perkembangan baru dalam kesusasteraan Indonesia yang membawa perubahan penting di tengah kehidupan masyarakat. Dekade 1970-an juga membuka cakrawala baru bagi pengarang dan pembaca sastra dengan semakin banyaknya masyarakat pembaca sastra terutama kaum muda dan ibu-ibu muda yang status sosial ekonominya relatif mapan. Perkembangan itu ditandai antara lain dengan banyaknya karya sastra baik puisi, cerpen, novel, maupun drama yang diterbitkan.
Karya sastra dengan berbagai genrenya adalah anak zamannya, yang melukiskan corak, cita-cita, inspirasi, dan perilaku masyarakatnya, sesuai dengan hakikat dan eksistensi karya sastra yang merupakan interpretasi kehidupan (Hudson, 1965). Melalui refleksi, kontemplasi, dengan mengerahkan daya kreasi dan imajinasinya, kehidupan sosial budaya yang berkembang dan dihadapi sastrawan itu dieskpresikannya dalam bentuk karya sastra baik puisi, fiksi, maupun drama sesuai dengan latar belakang dan ideologinya.
Di antara tiga genre karya sastra yakni puisi, fiksi, dan drama, karya fiksi novellah yang paling menonjol. Hal itu terbukti dengan banyaknya novel yang terbit dan beredar serta menjadi bacaan masyarakat modern di Indonesia yang menggemari sastra terutama sejak dekade 1970-an. Oleh karena itu, menurut Teeuw (1989), novel dapat dikatakan sebagai genre sastra yang merajai fiksi Indonesia mutakhir.
Perkembangan itu tidak terlepas dari situasi Indonesia pasca-1965 terutama memasuki dekade 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh kebebasan yang lebih luas. Usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian tradisi, pada sumber kekayaan khasanah sastra Indonesia sendiri (Mahayana, 2007). Lahirlah beragam karya sastra dengan tema yang variatif.
Sastra Indonesia, terlebih novel, lahir dan berkembang dalam dinamika sosiokultural yang khas. Dikatakan khas karena novel Indonesia mengungkapkan heterogenitas masyarakat Indonesia yang pluralistic. Novel Indonesia merepresentasikan ruh, bahkan juga semangat kultural lingkungan sosial budaya etnisitas keindonesiaan (Mahayana, 2008). Hal itu tentu tidak terlepas dari eksistensi sastrawan yang lahir dan dibesarkan dalam dinamika lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, sastrawan yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap lingkungan sosialnya kemudian menangkap, menginterpretasikan, dan merefleksikannya dalam karya sastranya, antara lain dalam novelnya.
Karya sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi pengarang setelah merefleksi lingkungan sosial kehidupannya. Dunia dalam karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa. Apa pun yang dipaparkan pengarang dalam karyanya kemudian ditafsirkan oleh pembaca, berkaitan dengan bahasa.
Novel merupakan pengolahan masalah-masalah sosial kemasyarakatan oleh kaum terpelajar Indonesia sejak tahun 1920-an dan yang sangat digemari oleh sastrawan (Hardjana, 1981). Dalam novel terdapat satu pilihan di antara berbagai aspek kehidupan untuk diperhatikan (Boulton, 1984). Meskipun di antara sastrawan berbeda pendapat tentang apa yang menarik, melalui kesusasteraan kita dapat belajar banyak tentang hidup ini dengan menemukan apa yang dianggap penting oleh orang lain. Itulah sebabnya mengapa novelis-novelis kita sering mengupas masalah-masalah sosial yang sangat aktual dihadapi pengarang dan zamannya, termasuk masalah sosial keagamaan (Sumardjo, 1979).
Karya sastra yang berbobot memiliki keistimewaan (idiosyncrasy), meminjam istilah Chomsky (dalam Fowler, 1977), baik segi ekspresi (surface structure) maupun segi kekayaan maknanya (deep structure). Artinya, karya sastra literer harus memenuhi dua kriteria utama seperti dinyatakan oleh Hugh (dalam Aminuddin, 1987), yakni :
-
relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terdeskripsikan melalui jalan seni, melalui imajinasi dan rekaan yang keseluruhannya memiliki kesatuan yang utuh, selaras, serta memiliki kepaduan dalam pencapaian tujuan tertentu (integrity, harmony dan unity)
-
daya ungkap, keluasan, dan daya pukau yang disajikan lewat bentuk (texture) serta penataan unsur- unsur kebahasaan dan struktur verbalnya (adanya consonantia dan klaritas).
Dengan demikian, daya tarik sastra literer termasuk fiksi literer terletak terutama pada dua hal. Pertama, adanya gagasan- gagasan besar dan aktual atau ideologi pengarang yang berkaitan dengan eksistensi kemanusiaan seperti masalah social, politik, budaya, moral, keagamaan, religiositas, dan gender. Kedua adalah unsur-unsur cerita sebagai sarana ekspresi termasuk stilistika yang memiliki daya pukau yang luar biasa.