Apa yang kamu ketahui tentang Kebijakan Kriminal?

Kebijakan Kriminal

William Jenkins dalam Hawlett dan rekan-rekan (2009) mendefinisikan kebijakan sebagai adalah seperangkat keputusan yang saling berhubungan, dilakukan oleh aktor politik atau kelompok yang memiliki satu tujuan tertentu yang hanya dapat dicapai melalui kekuasaan.

Apa yang kamu ketahui tentang Kebijakan Kriminal?

Kebijakan kriminal pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan publik yang baik pemerintah maupun masyarakat berperan aktif baik dalam formulasi dan implementasi kebijakan (Buchholz, Rosenthal, 2004). Definisi kebijakan sendiri ada berbagai macam. Salah satunya adalah dari Thomas Dye (Hawlett, Ramesh, Perl, 2009). Menurut Dye, kebijakan adalah apapun yang pemerintah pilih untuk dilakukan maupun tidak dilakukan (Hawlett, Ramesh, Perl, 2009). Meskipun definisi dari Dye belum merepresentasikan kebijakan publik secara komprehensif, Dye merumuskannya dengan bersandar kepada fakta. Pertama, sebagaimana yang dipaparkan oleh Howlett dan rekan-rekannya, Dye secara jelas menekankan bahwa agen perumus kebijakan adalah pemerintah. Bagi Dye, kebijakan adalah alat ukur tindakan-tindakan yang telah dilaksanakan pemerintah. Kedua, dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa Dye menggarisbawahi pilihan pemerintah untuk melakukan maupun tidak melakukan sebagai dasar dari kebijakan.

Di sisi lain, William Jenkins dalam Hawlett dan rekan-rekan (2009) mendefinisikan kebijakan sebagai adalah seperangkat keputusan yang saling berhubungan, dilakukan oleh aktor politik atau kelompok yang memiliki satu tujuan tertentu yang hanya dapat dicapai melalui kekuasaan. Dalam definisinya tersebut, Jenkins memposisikan kebijakan sebagai proses alih-alih menempatkannya sebagai hasil. Selain itu, melalui seperangkat keputusan yang saling berhubungan, Jenkins juga mengutarakan bahwa kebijakan bisa saja terdiri dari beberapa penyelesaian masalah, tidak hanya penyelesaian masalah tunggal seperti yang selama ini diasumsikan. Melalui karyanya yang berjudul Policy and Power: A Conceptual Framework between the “Old ” and “New ” Policy Idioms, Arts dan Tatenhove (2004) menjelaskan bahwa hal tersebut harus diperhatikan mengingat keputusan kebijakan, proses pembuatan kebijakan dan penyusunan kebijakan adalah hasil dari penjabaran proses yang kontekstual dengan struktur politik dan perubahan sosial.

Kebijakan kriminal sendiri memiliki lima tahapan permusan (Hawlett, Ramesh, Perl, 2009) yaitu :

  • Agenda setting yang merupakan proses pemilihan prioritas masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah;
  • Policy formulation , formulasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah;
  • Decision-making yang merupakan tahap di mana pemerintah mengadopsi suatu langkah terdahulu atau bersandar pada instrumen legal yang ada untuk menetapkan aksi yang akan diambil atau tak akan diambil,
  • Policy implementation ; dan
  • Policy evaluation .

Alih-alih berdiri sendiri, kebijakan kriminal merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen. Hermawan (2006) mengutip Dunn (2000) mengutarakan bahwa;

The overall institutional pattern within which policies are made, involves interrrelationship among three elements; public policies, policies stakeholders, and policy environment .”

Terjemahan bebas: Pola institusional yang ada dalam setiap pembuatan kebijakan melibatkan adanya inter-relasi antara tiga komponen yang terdiri dari kebijakan publik, pemangku kepentingan kebijakan ( stakeholders ), dan lingkungan kebijakan.

Ketiga komponen tersebut memiliki kedudukan yang sama penting. Komponen pertama adalah kebijakan itu sendiri. Hermawan (2006) menjelaskan bahwa isi sebuah kebijakan tentunya merupakan respon terhadap masalah, dalam konteks penelitian ini adalah perdagangan manusia dan predagangan narkoba sebagai bentuk TOCs. Komponen kedua adalah pemangku kepentingan dalam kebijakan atau stakeholders. Mustopadidjaja (2002) dalam Herman (2002), memisahkan stakeholders dalam dua kelompok yaitu (1) pembuat dan pelaksana kebijakan dan (2) kelompok sasaran kebijakan. Dalam hal pembuatan kebijakan kriminal, lebih khususnya, ada tiga pihak utama yang dapat berperan sebagai pembuat kebijakan yaitu badan legislatif, agen penegak hukum termasuk lembaga peradilan, dan agen regulator (Gilsinan, 1990).

Menurut Gilsinan (1990), badan legislatif membuat kebijakan kriminal dalam tiga tahap. Pertama, mereka menentukan tingkah laku apa yang akan diatur dalam hukum pidana. Penentuan ini berdasar pada temuan lapangan termasuk data statistik kriminal. Kedua, selain merumuskan masalah melalui data-data kriminal dari pemerintah maupun agen penegak hukum, badan legislatif juga membuat kebijakan berdasar pada anggaran yang ada. Anggaran ini menjadi penting terkait dengan perhitungan efektivitas dan untung-rugi penerapan kebijakan. Pada intinya, kebijakan tak mungkin dibuat apabila terlalu banyak menyerap biaya dan dinilai tak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan yang diatur. Terakhir, badan legislatif akan melibatkan berbagai pihak yang berkutat di dunia kriminalitas terutama agen penegak hukum, tak hanya menyerap datanya. Selain itu, presiden beserta kabinetnya pun dapat merumuskan kebijakan seperti formulasi kebijakan di Amerika Serikat yang telah dilakukan semenjak era presiden Amerika Serikat yaitu Presiden Jimmy Carter dan Presiden Lyndon B. Johnson (Lester; Stewart, 2000).

Selanjutnya adalah komponen ketiga dari kebijakan yaitu lingkungan kebijakan. Herman menyebutkan bahwa lingkungan kebijakan dapat berupa tingkat keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat pengangguran, tingkat demokrasi, globalisasi (Hellwig, 2007) dan lain sebagainya. Dalam karyanya yang berjudul Globalization and Perception of Policy Maker Competence: Evidence from France , Timothy Hellwig menjelaskan pengaruh globalisasi terhadap pembuat kebijakan di Prancis. Sikap negara-negara lain dalam forum-forum regional dan internasional dapat menimbulkan tekanan politis bagi Prancis dan berdampak pada mentalitas pembuat-pembuat kebijakannya, sebagai contoh bahwa negara-negara WTO tak percaya dengan kemampuan pemerintah Prancis menyusun kebijakan untuk menyelesaikan masalah nasional. Adanya keraguan dari negara-negara anggota WTO tersebut mengajibatkan pudarnya kepercayaan diri pembuat kebijakan di Prancis untuk dapat menyelesaikan masalah nasionalnya.