Apa yang kamu ketahui tentang K.H. Abdurrahman Wahid?

K.H. Abdurrahman Wahid, atau biasa dipanggil Gus Dur, merupakan salah satu tokoh politik Indonesia. Beliau pernah menjadi presiden Indonesia.

1 Like

K.H. Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940); lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Ia adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B.J.

Habibie setelah dipilih oleh MPR pada Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abddurrahman Wahid dimulai pada tanggal 20 Oktober 1999, dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat tanggal 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.

Abddurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan tersebut karena, menurut pendapat yayasan, ia merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM.

Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Abdurrahman Wahid dinilai memiliki keberanian dalam membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Abdurrahman Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama-nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

KH. Abdurrahman Wahid, atau yang biasa akrab dengan sebutan Gus Dur, nama lengkapnya adalah Abdurrahman ad-Dakhil, (yang memiliki arti sang pendobrak), beliau adalah tokoh yang penuh kontroversial dan berdedikasi tinggi terhadap pembelaan pada kaum minoritas dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) pembela kaum minuritas. Namun yang tak kalah menarik dari pendiri Nahdlatul Ulama ini untuk kita pelajari adalah kemampuannya mengemas setiap pemikiran dan gagasan dalam situasi yang harmonis, dengan lontaran secara jenaka, santai dan banyak orang tergelitik, sebuah ciri khas yang menggambarkan kesederhanaan gaya hidup masyarakat kelas bawah dan pinggiran.

Abdurrahman Wahid dilahirkan di Jombang, salah satu kabupaten di Jawa Timur, yang secara literatur jawa- I dan (Ian) abang. “ Ijo” berarti hijau dan “abang”memiliki arti merah, sebuah makna konotasi warna yang menunjukkan dua itentitas kultur masyarakat yang berlawanan. Hijau adalah simbol masyrakat priyai dengan kekuatan tradisi spritual dan sufistik, sedangkan abang, adalah syimbol untuk menunjukkan masyarakat abangan, yakni entitas kultural dan metodelogi pra Islam yang menjadi masyarakat pinggiran.

Latar belakang sosial dan kultur masyarakat Jombang yang beragam, tidak mengherankan kalau kemudian Kabupaten yang ada di Jawa Timur ini menjadi saksi bisu lahirnya sejumlah tokoh besar dalam diskursus pemikiran dan gerakan sosial ke agamaan di Indonesia yang kompleks dan keunikannya, ada intlektual, negarawan, politisi, budayawan, dan di antaranya juga melahirkan Ulama besar. Sebut saja KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri (pendiri NU dan penggagas kebangkitan saudagar santri), KH. Abdul Wahid Hasyim (Ayah Gus Dur) yang merupakan representasi tokoh pemuda Islam dalam tim panitia Sembilan pembahasan dan perumusan undang-undang dasar sekaligus menteri agama pertama republik Indonesia) Nurcholis Majid (tokoh pembaruan Islam), EMHA. Ainun Najdjib (budayawan dengan sebutan kiyai kanjeng) dan yang paling fenominal KH. Abdurrahman Wahid.

  1. Lahir dan Dibesarkan di Perantren
    Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 4 agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dan meninggal tanggal 30 Desember 2009. Beliau merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dari keluarga karismatik, Ayahnya KH. Abdul Wahid yang selalu bergulat dalam gerakan nasionalis, adalah putra tokoh terkenal KH. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok Tebu Ireng dan pendiri Nahdatul Ulama (NU) , Organisai terbesar di Indonesia. Ibunya bernama Ny Hj. Solehah, juga putri tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU), KH. Bisri syamsuri, pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang dan Ro’is Aam Syuriah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah.

    KH. Abdul Wahid, ayah Gus Dur perrnah mejadi mentri agama RI pertama dan aktif dalam panitia Sembilan yang Merumuskan piagam Jakarta.

    Pada masa kecilnya, Abdurrahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya dari pada tinggal dengan ayahnya. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak di kunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka sejak kecil Abdurrahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang penting tersebut.

    Ketika kecil, Gus Dur sering menunjukkan kenakalannya pada umunya kebanyakan anak seorang tokoh. Kadang-kadang ia di hukum dengan di ikat dengan tambang ketiang bendera di depan rumahnya karena perilakunya yang tidak sopan. Ketika belum genap berusia dua belas tahun, lenganya telah dua kali patah karena jatuh dari pohon.

    Di waktu muda, Gus Dur sering dikirim oleh ayah handanya ke tempat Williem Iskandar Bueller, Orang Jerman yang tinggal di jakarta yang telah memeluk agama Islam. Bisanya Gus Dur datang kerumahnya selepas sekolah dan berada di sana sempai sore. Di tempat inilah Gus Dur belajar sastra dan bahasa asing dan mulai menyukai musik klasik, sastra, utamanya karya-karya Beethoven. Sejak pertama mendengarnya lewat gramofon Bueller hatinya langsung terpikat oleh musik itu.

  2. Riwayat Pendidikan Abdurrahman Wahid
    Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada sang kakek, K. H. Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1944, dalam usia 4 tahun, Gus Dur dibawa ke Jakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.

    Meskipun ayahnya seorang mentri dan tokoh terkenal, Gus Dur tidak sekolah di lembaga pendidikan elit yang bisa di masuki oleh anak pejabat di Jakarta, tidak juga bersekolah di sekolah pendidikan agama, Gus Dur bersama ke enam adiknya masuk pada Sekolah Rakyat (SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah hindia belanda untuk anak pribumi atau SDKRIS yang terletak di jalan samratulangi sekarang. Ketika mereka pindah rumah dari Jl. Jawa (Jl. Cokroaminoto) ke taman matraman, ia dan adik-adiknya pindah ke sekolah SD Perwari yang tempatnya tidak jauh dari kediaman mereka, Hanya Aisyah, anak nomor dua yangtetap melanjudkan di SD KRIS hingga lulus. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di tanah abang. Selanjudnya ia pindah ke Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh Muhamadiyah, KH. Junaid, anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.

    Selama belajar di SMEP, sambil mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta. Meskipun sekolah ini dikelola gereja katolik dan sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Abdurrahman Wahid bertemu dengan seorang guru bahasa Ingris bernama Rufi’ah melalui guru ini, Abdurrahman Wahid belajar bahasa asing, dan banyak berkenalan dengan buku-buku karya tokoh besar dalam bahasa Ingris, seperti karya Ernest Hemingway, John Stein, Y. Gasset, Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov, Wiill (The Story of Civilazation) ia juga aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice Of America dan BBC London. Pada saat yang sama, anak remaja ini telah mengenal Das Capital, karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan Romantisme Revolusioner, karangan lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924) tokoh revolusioner rusia dan pendiri Uni soviet. Sejauh itu ia selalu menyampaikan laporan hasil bacaannya kepada guru bahasa Ingrisnya.

    Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEP, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di berbagai pesantren di Jawa yang berada di naungan nahdlatul Ulama. Pada mulanya beliau mondok di Tegal Rejo, Magelang (1957-1959). Selama di pesantren ini, Abdurrahman Wahid menunjukkan bakat dan kemampuan dirinya di bidang ilmu ke Islam di bawah asuhan Kiai Khudari. Karena kesungguhan dan kemampuannya yang luar biasa, Abdurrahman Wahid hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk belajar di pesantren tersebut. Sedangkan santri lainnya pada umumnya menghabiskan waktunya bertahun. Selain belajar ilmu ke Islaman di pesantren ini, Abdurrahman Wahid banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku karangan serjana barat. Kemampuan Abdurrahman Wahid membaca buku-buku barat jarang di miliki oleh para santri pada umumnya. Melalui belajar secara otodidak ini yang di mulai sejak usia dini, menyebabkan Abdurrahman Wahid sudah mengenal karyakarya sastra tingkat dunia, pemikiran filsafat karangan tokoh-tokoh terkemuka seperti Karl Marx, lenin, Gramsci, Mao Zedong, serta karya-karya pemikir Islam yang berhaluan radikal, dan kekiri-kirian seperti Hasan Hanafi.

    Selain itu, dari tahun 1959-1963, Abdurrahman Wahid menimba ilmu di Muallimat Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Setelah ia mondok di Krapyak, Yogyakarta, dan tinggal di rumah seorang tokoh NU terkemuka, KH. Ali Maksum.

    Selanjutnya pada tahun 1964, ia berangkat ke mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, hingga tahun 1966. Selama belajar di Mesir, Abdurrahman Wahid banyak menggunakan waktunya untuk menonton film-film terbaik Perancis, Ingris dan Amerika, serta membaca buku di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Kairo. Hal ini ia lakukan, karena ia merasa kecewa dengan sistem pengajaran di Al-Azhar, yang dinilainya sudah usang.

    Karena merasa tidak puas dengan sistem pengajaran di al-Azhar, maka pada tahun 1966-1970 ia meninggalkan kairo untuk melanjutkan studinya di fakultas seni Universitas Banghdad. Selama belajar di Universitas Banghdat inilah, Abdurrahman Wahid merasa puas dan telah menemukan apa yang sesuai dengan dengan panggilan jiwanya yang modernis. Perkuliahan di Universitas Baghdad ini ia tempuh dengan menyelesaikan ujian strata 2. Namun, sebelum ia munempuh ujian tesisnya, profresor pembimbingnya meninggal dunia, sehingga ujian tesisnya itu tidak dapat dilanjutkan.

    Di Universitas Baghdad inilah ia mengenal karya-karya tokoh terkenal seperti Emil Durkheim, bahkan selama di Universitas Baghdad inilah, ia menemukan informasi sejarah lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia berkesempatan membaca karya-karya sastra dan budaya arab serta filsafat dan pemikiran sosial Eropa.

    Sekembalinya ke Indonesia, Abdurrahman Wahid kembali ke pesantren Tebu Ireng Jombang. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum lainnya, Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum “cendekiawan‟ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah. pada tahun 1972-1974, ia diangkat menjadi dosen dan sekaligus menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang. Selanjutnya pada tahun 1974 hingga 1980, ia juga diberi amanat oleh pamannya, K.H Yusuf Hasyim, untuk menjadi sekretaris umum pesantren Tebu Ireng, Jombang.

    Dalam waktu yang bersamaan dengan jabatannya di pesantren tersebut, pada tahun 1979 dan seterusnya, ia juga sudah mulai melibatkan diri secara aktif dalam kepengurusan Nahdatul Ulama dengan jabatan sebagai Katib Awal Syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama.

  3. Karya-karya Abdurrahman Wahid
    Abdurrahman Wahid adalah tokoh politik, agamawan, negarawan, dan guru bangsa, banyak pemikirannya yang telah dicurahkan melalui karya-karyanya ilmiyah memberikan kotribusi kepada bangsa ini, baik dalam bentuk tulisan artikel yang dimuat diberbagai media masa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkannya. Oleh sebab itu, Abdurrahman Wahid tergolong penulis produktif, khususnya tentang dunia pesantren.

    Hal ini terlihat dari sejumlah tulisannya yang memiliki visi dan bobot yang tidak kalah dengan visi dan bobot tulisan yang di kemukakan para tokoh akademi non politik. Di antara karya tulisannya itu adalah sebagai berikut.

    Abdurrahamn Wahid, Gus Dur Bertutur (Jakarta : harian proaksi dan Gus Dur fodation, 2001); Abdurrahman Wahid." Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan" Dalam Sonhaji Shaleh (terj); Dinamika Pesantren, Kumpulan Makalah Seminar Internasional, The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia” (Jakarta : P3M, 1988) Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 2001); Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institut, 2007); Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita; Agama masyarakat negara demokrasi ( Jakarta: The Wahid Institut, 2006); Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Darma Bhakti, 1994).

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/835/6/Bab%203.pdf