Apa yang kamu ketahui tentang Children of Broken Home?

Anak broken home

Anak broken home merupakan korban dari ketidakhamonisan yang terjadi dalam sebuah keluarga yang mengakibatkan anak kurang dalam mendapat kasih sayang
orang tuanya.

Apa yang kamu ketahui tentang Children of Broken Home?

Pengertian Anak Broken Home


Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil antara hubungan pria dan wanita. Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya (Nasir, 2013).

Menurut Oxford Dictionary, Broken Home berarti “ A family in which the parents are divorced or separated ” yang berarti sebuah keluarga yang orang tuanya bercerai atau berpisah. Sedangkan menurut Hurlock, Broken Home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Broken Home pada umumnya disebabkan adanya sikap egois antara ayah dan ibu, masalah ekonomi, masalah kesibukkan, masalah pendidikan, masalah perselingkuhan, jauh dari agama, kebudayaan bisu dalam keluarga, perang dingin dalam keluarga dan kekerasan dalam rumah tangga (Hurlock, 2009).

Semua hal yang terjadi pasti memiliki dampak, seperti penjelasan mengenai Broken Home tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga yang berpisah kemungkinan besar berdampak negatif bagi anak-anak. Salah satu dampak negatif adalah stres. Stres dapat terjadi terhadap konflik pernikahan dan kemudian perpisahan orang tua serta kepergian mendadak salah satu orang tua. Kebanyakan anak dengan orang tua bercerai menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi perceraian meningkatkan risiko masalah pada masa remaja atau dewasa, seperti perilaku antisosial, kesulitan dengan figur otoritas. Menurut beberapa penelitian, sebanyak 25 persen anak dengan orang tua bercerai mencapai masa dewasa dengan masalah sosial, emosional, atau psikologis yang serius, dibandingkan dengan 10 persen anak yang orang tuanya tetap bersama (Papalia, Olds, Feldman, 2009).

Kecemasan yang berkaitan dengan perceraian orang tua dapat timbul sebagaimana anak memasuki masa dewasa dan berusaha membentuk hubungan intim. Bagi beberapa orang dewasa muda yang memiliki pengalaman orang tua yang bercerai, takut untuk membuat komitmen yang mungkin berkahir dengan kekecewaan dan bermaksud melindungi kemandirian mereka. Menurut Kelly & Emery, bahkan ketika anak-anak dengan orang tua bercerai yang sudah dewasa tidak memiliki masalah serius, mereka bisa memiliki perasaan sedih, khawatir, atau penyesalan yang berkepanjangan, atau bahkan rasa sakit dan distres, sering kali terkait dengan kurang terkendalinya hidup mereka (Papalia, Olds, Feldman, 2009). Hal ini yang terkadang menyebabkan trauma pada anak-anak untuk berinteraksi dengan orang lain dan lebih menghargai kesendirian dalam hidup.

Anak Broken Home yang belum bisa menerima kenyataan dalam hidupnya dapat memberikan pengaruh negatif, seperti banyak mencari pelampiasan pada hal buruk yang membuat dirinya sejenak dapat melupakan masalah. Tetapi pada kenyataannya tidak semua anak Broken Home menjurus ke hal negatif, seperti stereotip yang melekat pada mereka. Banyak dari mereka yang dapat bertahan hidup dan berusaha menjadi orang yang lebih baik dengan usuhanya sendiri.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak Broken Home merupakan korban dari ketidakhamonisan yang terjadi dalam sebuah keluarga yang mengakibatkan anak kurang dalam mendapat kasih sayang orang tuanya. Hal ini dapat berpengaruh pada perilaku dan kepribadian anak 16 di masa mendatang.

Tetapi, semua ini kembali lagi pada masing-masing pribadi anak tersebut. Dan tentunya perilaku negatif anak Broken Home tersebut kembali lagi dari bagaimana cara orang tua memberikan pengertian kepada sang anak Faktor-Faktor Penyebab Broken Home Suatu hal yang terjadi pasti memiliki penyebabnya. Begitu juga dengan Broken Home . Menurut pandangan penulis sendiri Broken Home disebabkan karena pertikaian kedua orang tua yang diakibatkan dari perbedaan pendapat yang terus menerus dan hubungan keluarga yang kurang harmonis hingga berujung pada perpisahan. Tetapi menurut Willis, dalam bukunya yang berjudul Konseling Keluarga (Family Counseling), adapun konflik yang dapat menyebabkan kondisi Broken Home diantaranya (Wardhani, 2016) :

  1. Kurangnya atau Putus Komunikasi Diantara Anggota Keluarga Terutama Ayah dan Ibu
    Dalam hal ini, faktor kesibukan yang sering menjadi penyebab utama. Ayah dan ibu sibuk bekerja hingga tidak memiliki waktu yang banyak untuk anaknya mereka tidak punya waktu untuk makan siang bersama, shalat berjamaah di rumah di mana ayah menjadi imam, sedang anggota keluarga menjadi jamaah. Di meja makan dan di tempat shalat berjamaah, banyak hal yang bisa ditanyakan ayah atau ibu kepada anakanak seperti pelajaran sekolah, teman di sekolah, kesedihan dan kesenangan yang dialami anak. Dan anak-anak akan mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pemikiran-pemikirannya tentang kebaikan keluarga, termasuk kritik terhadap orang tua mereka. Namun yang sering terjadi adalah orang tua terlalu sibuk dengan urusannya dan tiba di rumah dengan keadaan lelah. Hal tersebut tentu membuat orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dengan anak-anaknya, lama kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis, dan memungkinkan mereka untuk mengambil keputusankeputusan tertentu yang membahayakan dirinya.

  2. Sikap Egosentrisme
    Sikap egosentrisme masing-masing suami istri merupakan penyebab pula terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran yang terus menerus. Egoism adalah suatu sifat buruk manusia yang mementingkan diri sendiri. Yang lebih berbahaya lagi adalah sifat egosentrisme, yaitu sifat yang menjadikan dirinya pusat perhatian yang diusahakan seseorang dengan segala cara. Bagi tipe orang seperti ini, orang lain dianggap tidak penting. Dia hanya mementingkan diri sendiri, dan hanya memikirkan bagaimana agar orang lain mau mengikuti apa yang dikehendakinya.

  3. Masalah Ekonomi
    Rumah tangga akan berjalan stabil dan harmonis bila didukung oleh kecukupan dan kebutuhan hidup, segala keperluan dan kebutuhan rumah tangga dapat stabil bila telah terpenuhi keperluan hidup (ekonomi). Membina dan mengayuh bahtera rumah tangga tidak sebatas memodalkan cinta dan kasih sayang namun faktor ekonomi mempunya pengaruh. Sehingga terjadi problema rumah tangga, faktor dominan adalah masalah ekonomi, di mana pihak suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, padahal pemenuhan biaya hidup merupakan hal yang prinsip.

  4. Masalah kesibukan
    Kesibukan yang dimaksud adalah terfokusnya suami istri dalam pencarian materi yaitu harta dan uang. Setiap pasangan mulai mempunyai kesibukan masing-masing, berupa pekerjaan yang seakanakan tidak ada habisnya. Hampir keseluruhan energi dihabiskan ditempat kerja. Hampir separuh waktu dihabiskan diluar jam keluarga dan kelelahan setiba di rumah juga digunakan untuk beristirahat sehingga perhatian terhadap keluarga menjadi berkurang.

  5. Masalah pendidikan
    Masalah pendidikan merupakan penyebab terjadinya krisis dalam keluarga. Jika kedua belah pihak memiliki pendidikan yang memadai, maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada suami-istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat memahami dan mengatasi liku-liku keluarga, karena itu yang sering terjadi adalah saling menyalahkan bila terjadi persoalan dalam keluarga. Terkadang konflik akan sulit diselesaikan apabila masing- masing dari komponen keluarga memiliki pengetahuan yang minim mengenai cara bagaimana menjaga hubungan dengan baik dalam sebuah keluarga.

  6. Masalah perselingkuhan
    Pada dasarnya, perkawinan merupakan aktivitas yang dilakukan oleh suami dan istri. Oleh karena itu, dalam perkawinan mereka mempunyai tujuan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Keluarga dikatakan bahagia apabila dalam keluarga itu tidak terjadi konflik terus menerus atau ketegangan-ketegangan yang dapat menimbulkan pertengkaranpertengkaran, sehingga keluarga berjalan " smooth " tanpa goncangan-goncangan yang berarti ( free from quarelling ).

  7. Jauh dari agama
    Agama merupakan pondasi yang dapat mengontrol perilaku seseorang. Dengan berpegang teguh pada agama, maka orang tersebut dapat mebedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi sebaliknya, apabila individu-individu di dalam sebuah keluarga jauh dari agama, maka hal-hal negatif akan lebih rawan terjadi. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga.