Apa Yang Diucapkannya Bukanlah Kemauan Hawa Nafsunya

Taman Surga

Amir berkata:

“Sebelum Bahauddin tiba, anak lelaki tertuanya (Rumi) datang padaku dan meminta maaf seraya berkata, ‘Ayahku berkata bahwa dia tak ingin merepotkanmu saat kamu mengunjunginya. Beliau berkata, ‘Aku tunduk pada beragam keadaan sadar. Dalam satu keadaan aku berbicara dan dalam keadaan yang lain aku diam. Dalam satu keadaan aku mencampuri urusan orang lain, dan dalam keadaan yang lain aku menjauh dan mengasingkan diri. Sementara dalam keadaan lainnya lagi, aku betul-betul khusyuk dan menghilang. Aku tak ingin Amir datang ketika aku tidak bisa ramah kepadanya dan tak punya waktu untuk berbincang dan berbicara dengannya. Karena itu, akan lebih baik ketika aku punya waktu senggang dan bisa menyambut sahabat-sahabatku dan memberikan kebaikan kepada mereka, sehingga aku bisa pergi dan mengunjungi mereka.’”

Amir melanjutkan ucapannya:

“Aku berkata kepada Bahauddin: ‘Aku tidak bermaksud datang ke sini agar Tuan Guru menemuiku dan berbincang-bincang denganku. Aku datang ke sini untuk mendapat kehormatan berada di antara hamba-hambanya.’ Misalnya suatu ketika Tuan guru sedang sibuk dan tidak menampakkan diri sampai membuatku menunggu lama sekali, maka ini bisa menyadarkanku betapa sulit dan menjengkelkannya jika suatu saat aku meninggalkan kaum Muslimin dan orang-orang baik menunggu ketika menghampiri pintu rumahku sementara tak kubukakan pintu untuk mereka dengan cepat. Tuan guru membuatku merasakan kegetiran itu dan telah memberikan pelajaran padaku sehingga aku tidak akan bertindak demikian lagi pada orang lain.

Maulana menjawab:

Tidak, aku membiarkanmu menunggu itu justru merupakan esensi perhatianku padamu. Dikisahkan bahwa Allah SWT berfirman: “Wahai hamba-Ku, Aku akan mengabulkan permintaanmu dengan segera ketika kalian meratap dalam berdoa, itu semua karena ratapan doamu begitu manis di telinga-Ku. Jawaban-Ku atas doamu menjadi kelu dan tak terucapkan dalam harapan-harapan bahwa kamu mungkin akan meratap lagi dan lagi, karena suara ratapan doamu begitu manis bagi-Ku.”

Misalnya, ada dua orang pengemis yang mengetuk pintu rumah seseorang. Satu di antara pengemis itu dicintai dan dinantikan kehadirannya, sementara pengemis yang satunya lagi sangat dibenci.

Pemilik rumah itu berkata pada budaknya:

“Cepat kamu berikan sepotong roti kepada pengemis yang kubenci itu agar ia segera pergi dari sini.”

Sementara pada pengemis yang dicintai, pemilik rumah menjanjikan akan memberi roti, dengan berkata:

“Rotinya belum matang, tunggulah dengan sabar sampai rotinya benar-benar matang.”

Hasrat terbesarku adalah untuk melihat para kekasih, untuk menatap pengharapanku kepada mereka dan pengharapan mereka kepadaku. Sebab ketika para kekasih bisa saling melihat dengan begitu dekat di dunia ini, maka hubungan akan menjadi semakin kuat pada saat mereka diangkat menuju hari kebangkitan kelak. Mereka bisa saling mengenal satu sama lain dengan cepat di sana. Mereka juga akan ingat bahwa mereka dahulu bersama-sama di dunia, sehingga penyatuan mereka satu sama lain sangat erat dan membawa keriangan. Salah satu sifat manusia adalah begitu mudah melupakan kekasih. Tidakkah kamu lihat bagaimana di dunia ini kamu bisa menjadi kekasih dan sahabat seseorang yang menjadi Yusuf di matamu. Namun, hanya karena tergelincir melakukan satu perkara yang buruk saja, kau singkirkan dia dari pandanganmu dan dengan mudahnya kau melupakannya, dan rupa yang menyerupai Yusuf itu diubah menjadi seekor serigala? Seseorang yang dulu kamu lihat sebagai Yusuf, sekarang kamu lihat seperti seekor serigala. Tetapi bentuk mereka sesungguhnya tidak berubah dan masih tetap seperti yang dahulu kamu lihat. Dengan tindakan tiba-tiba itu kamu kehilangan mereka. Esok, ketika wujud manusia diubah menjadi wujud yang lain, bagaimana kamu akan bisa mengenalnya, sementara dahulu kamu tak mengenal dan memperhatikannya dengan baik?

Hikmah yang dapat dipetik dari fenomena ini adalah bahwa seseorang harus melihat orang lain dengan pandangan hakiki, melampaui batasan sifat-sifat buruk dan baik yang dipinjam oleh orang tersebut, berusaha menyelam ke dalam hakikat orang tersebut, dan memastikan bahwa sifat-sifat yang ditinggalkan oleh sebagian orang bukan merupakan sifat asli mereka.

Dikisahkan ada seorang laki-laki yang berkata,

“Aku mengenal baik orang si fulan itu, akan kutunjukkan karakteristik yang membedakannya dari orang lain.”

Yang lain menjawab, “Silakan, tunjukkan.”

Laki-laki itu melanjutkan,

“Menurutku ia adalah orang yang cerdik. Dia memiliki dua ekor sapi betina berwarna hitam.”

Orang-orang berbicara dengan cara yang sama,

“Aku anggap Fulan sebagai temanku. Aku mengenalnya.”

Semua tanda yang membedakannya dari lainnya itu sebenarnya sama seperti tanda- tanda yang terdapat pada dua sapi betina yang berwarna hitam.

Tanda-tanda itu bukanlah ciri-ciri khusus. Bahkan tanda seperti itu tak ada gunanya. Oleh karena itu, manusia harus bisa melampaui sifat baik dan buruk orang lain dan masuk ke dalam wujud ( dzat )- nya untuk melihat siapa mereka sesungguhnya. Itulah yang disebut dengan penglihatan dan pengetahuan yang sejati.

Aku heran dengan orang-orang yang berkata: “Bagaimana bisa para wali dan pecinta itu bermain-main cinta dalam dunia yang tak terbatas, yang tak memiliki tempat, gambar, dan waktu? Bagaimana mereka bisa memeras intisari dan kekuatan darinya? Bagaimana mereka bisa terstimulasi dan terpengaruh olehnya? Setelah itu semua, tidakkah mereka tenggelam di malam dan siangnya dalam cinta itu sendiri? Orang ini, yang dimabuk cinta kekasihnya, akan mendapatkan pertolongan darinya. selanjutnya ia akan mendapatkan pertolongan dan keramahan, kebaikan dan pengetahuan, kenangan dan pikiran, serta kebahagiaan dan kesedihan darinya.

Semua hal ini berafiliasi pada dunia yang tak bertempat. Saat demi saat mereka terus menggali esensi dari makna-makna ini dan ia menjadi terpengaruh olehnya. Tentu saja hal ini tak akan menggugah ketakjuban para peragu. Sebaliknya, mereka justru terkesan dengan pada para wali yang menjadi pecinta-pecinta di dunia yang tak bertempat dan menggali pertolongan dari sang terkasih.

Konon ada seorang filsuf yang mengingkari hakikat ini. Hingga pada suatu hari, sebuah penyakit menyerangnya, ia menjadi lemah. Penyakit itu membebaninya dalam waktu yang lama. Kemudian datanglah seorang teolog yang bijak. Ia berkata:

“Apa yang kau inginkan?”

“Kesehatan,” jawab filsuf.

Teolog bijak itu menjawab,

“Beritahu aku bagaimana bentuk sehat itu, agar aku bisa membawakannya untukmu.”

Filsuf itu menjawab:

“Kesehatan itu tidak memiliki bentuk. Ia juga tidak punya cara.”

“Jika kesehatan memang tidak mempunyai sifat tertentu, lantas bagaimana kamu bisa mencarinya? Katakan padaku apa sebenarnya sehat itu?” tanya sang Teolog.

Filsuf itu menjawab:

“Yang aku tahu, adalah bawa ketika kesehatan itu muncul aku akan bertambah kuat, menjadi gemuk, lebih segar, dan lebih hidup.”

Sang teolog menjawab:

“Aku bertanya padamu tentang sehat itu sendiri, tentang bagaimana wujud sehat itu?”

Sang Filsuf kembali menjawab:

“Aku tak tahu, ia tak bisa diuraikan.”

Sang Teolog menjawab:

“Kalau kamu menjadi seorang Muslim dan kau kembali dari aliran pemikiranmu yang pertama, aku akan menyembuhkanmu, akan kusehatkan badanmu, dan akan kukembalikan kesehatan kepadamu.”

Nabi Muhammad Saw. pernah ditanya:

“Meskipun makna-makna ini tak bisa dimengerti, apakah manusia masih bisa mengambil manfaat darinya melalui perwujudan bentuknya?”

Nabi menjawab:

“Lihatlah bentuk langit dan bumi. Melalui bentuk ini manusia bisa mengambil manfaat darinya, sesuai dengan kadar penglihatan mereka terhadap perilaku bintang yang bergerak, awan hujan pada waktu tertentu, musim panas dan dingin, dan zaman yang silih berganti. Perhatikan semua yang terjadi itu sesuai dengan kadar kesalehan dan kebijaksanaanmu. Kemudian, tentang awan yang tak memiliki kehidupan ini, bagaimana kalian bisa tahu kalau ia akan menurunkan hujan pada waktu tertentu. Perhatikan juga bagaimana tanah yang hanya menerima satu bibit bisa menghasilkan biji sepuluh kali lipat dari bibit yang ditanam. Intinya, adakah wujud yang melakukan semua itu? Lihatlah makna-makna itu melalui dunia ini, dan keruk isinya. Seperti halnya kamu menggunakan tubuh manusia untuk mengetahui hakikatnya, kamu juga bisa menemukan hakikat dunia dengan merenungkan perwujudan dunia itu.”

Ketika Nabi bersabda: “Allah berfirman.” Maka dilihat dari bentuknya, yang berbicara adalah bibir beliau. Tetapi bukan itulah yang terjadi, sebenarnya yang berbicara adalah Allah. Ketika seseorang yang mengetahui dirinya bodoh dan tidak memiliki pengetahun tentang ucapan tertentu, tapi kemudian dari mulutnya muncul ucapan seperti itu, ia akan menyadari bahwa Dia yang sedang mengatakan ini bukanlah dia yang pertama tadi. Dia adalah Tuhan.

Demikian juga ketika Nabi Muhammad Saw. membabarkan berbagai kisah orang-orang dan para nabi terdahulu yang hidup ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad ada, dan memberitakan yang akan terjadi di hari akhir, tentang arsy, singgasana , serta tentang kosong dan isi. Allah adalah wujud yang abadi, sementara Muhammad itu tidak abadi. Sebuah wujud yang tidak abadi tentu tidak akan mampu menjabarkan hal-hal semacam itu. Bagaimana bisa seorang yang baru (tidak abadi) bisa berbicara tentang keabadian? Dengan begitu, maka dapat diketahui bahwa bukan Nabi Muhammad Saw. yang bersabda, melainkan Allah-lah yang berfirman.

“Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)

Maha suci Allah dari segala bentuk dan huruf. Firmannya ada di luar huruf dan suara. Tetapi Dia mengalirkan firman-Nya dengan huruf dan suara melalui lisan siapapun yang Dia kehendaki. Di jalan-jalan, hotel, dan di tepi-tepi kolam, para pemahat mengukir patung manusia atau burung dari kayu yang kemudian dari mulutnya mengalir kan air dan tercurah ke dalam kolam. Semua orang yang berakal tentu tahu bahwa air tersebut tidak bersumber dari mulut burung kayu itu, melainkan berasal dari sumber yang lain.

Jika kamu ingin mengenal seseorang, biarkan dia berbicara. Dari perkataannya itu, kamu akan mengenalnya. Jika ada seorang pembohong, sekalipun ada seseorang yang berkata padanya, “Manusia itu dapat dikenali lewat ucapannya dan mereka berhati-hati ketika berbicara agar tak disangka macam-macam,” pada akhirnya kebohongannya akan terungkap juga. Inilah yang digambarkan dalam cerita tentang seorang anak dan ibunya. Seorang anak berbicara kepada ibunya ketika mereka berada di gurun pasir,

“Di malam yang kelam, aku melihat sesosok hitam yang menakutkan seperti setan, aku menjadi sangat ketakutan.”

Lalu ibunya berkata,

“Jangan takut. Jika lain kali kamu melihat sosok itu lagi, lawan dengan keberanianmu. Maka kamu akan tahu bahwa itu hanyalah halusinasimu.”

“Tetapi ibu,” kata sang anak, “bagaimana jika ibu dari sosok hitam itu memberikan nasihat yang sama? Apa yang harus aku lakukan jika ibunya menasihatinya dengan berkata: ‘Jangan ucapkan sepatah kata pun agar kamu tidak terlihat oleh anak itu.’ Lantas bagaimana aku bisa mengetahui keberadaannya?

“Tetaplah diam, lihatlah bentuknya sebagaimana adanya, dan bersabarlah,” jawab sang ibu. “Cepat atau lambat sebuah kata akan keluar dari mulutnya. Atau jika tidak, mungkin akan keluar kata-kata dari mulutmu tanpa kamu sadari, mungkin juga akan muncul sebuah ide yang terlintas dalam benakmu, yang kemudian dengan kata atau ide itu kamu bisa mengetahui kondisinya. Sebab begitulah dia memengaruhimu saat itu. Bentuk dan tindak tanduk sesuatu itulah yang menunjukkan bagaimana sesuatu yang ada di dalamnya.”

Suatu ketika Syekh Syarrozi, semoga Allah merahmatinya, sedang duduk di tengah murid-muridnya. Salah seorang muridnya sangat menginginkan kepala kambing panggang. Lalu syekh memanggil pelayannya agar membawakan kepala kambing panggang kepada muridnyanya itu.

Seorang murid bertanya,

“Syekh, bagaimana Anda bisa tahu kalau ia menginginkan kepala kambing panggang?”

Syekh menjawab,

“Karena aku sudah mengekang syahwat dalam diriku selama tiga puluh tahun. Kujernihkan dan kusucikan diriku dari semua bentuk syahwat hingga diriku menjadi sejernih cermin yang terpoles. Pada saat di benakku terlintas kepala kambing panggang dan aku sangat berhasrat padanya, aku tahu bahwa hal itu disebabkan oleh salah seorang yang ada di sini. Karena cermin tidak memiliki bentuk pada wujudnya; maka jika ada bentuk pada permukaan cermin itu, pasti itu adalah bentuk dari sesuatu yang lainnya."

( Beliau adalah Syekh Muhammad Syarrozi al-Zahid dari Ghaznah (Afghanistan). Maulana Rumi mengadopsi kisah ini dalam al-Matsnawi.)

Seseorang yang mulia dari satu kaum pernah duduk berkhalwat untuk memohon sebuah hajat kepada Allah SWT. Sebuah suara muncul kepadanya dan berkata, “Tujuan yang mulia seperti itu tidak akan pernah bisa terealisasi hanya dengan khalwat. Kalau kamu benar-benar ingin meraih tujuanmu, berhentilah berkhalwat dan temui salah seorang wali besar.”

“Di mana aku bisa menemukan wali besar itu?” tanya orang itu.

“Di masjid,” jawab suara itu.

“Di tengah keramaian manusia di masjid, bagaimana aku bisa mengenal orang yang kau maksud?” orang itu bertanya lagi.

“Pergilah,” kata suara itu, “Dia akan mengenalimu dan akan menatapmu. Tanda bahwa kau melihatnya akan muncul jika kendi airmu jatuh dari tanganmu dan kau akan pingsan. Saat itu kau akan tahu bahwa ia sedang menatapmu.”

Orang itu kemudian melakukan yang diperintahkan oleh suara itu. Dia mengisi kendinya dengan air dan memberi minum pada semua jamaah di masjid. Ia berputar dari satu saf ke saf lainnya secepat mungkin, tiba-tiba ia bersin dan kendi air itu terjatuh dari tangannya. Ia kemudian terlempar ke pojok masjid tak sadarkan diri. Semua orang pergi meninggalkannya. Ketika ia sadar, ia melihat bahwa dia sendirian di masjid itu. Ia tidak melihat wali besar yang telah menatap kepadanya di tempat itu, tapi ia sudah meraih tujuannya.

Allah memiliki hamba-hamba yang karena kemuliaannya yang besar dan kecemburuannya yang tinggi kepada Allah, mereka tak menampakkan diri mereka secara terbuka; tapi mereka dapat mengantarkan orang lain pada tujuan-tujuan mereka, dan melimpahkan berkah-berkah pada mereka. Para raja agung semacam itu jarang sekali dan sangat berharga.

Seseorang bertanya,

“Apakah orang-orang agung datang di hadapanmu?

Maulana Rumi menjawab,

“Tidak ada kata ‘di depan’ bagiku. Sudah lama sekali sejak aku pernah memiliki kata ‘di depan.’ Jika mereka datang, maka mereka akan datang di depan sesuatu yang berbentuk, yang menurut keyakinan mereka sesuatu itu adalah aku. Sebagian orang berkata kepada Isa as., “Aku akan datang ke rumahmu.” Isa menjawab, “Di mana rumahku di dunia ini, dan bagaimana aku bisa memiliki sebuah rumah?

Dikisahkan bahwa suatu hari Isa as. mengembara di sebuah gurun pasir saat hujan deras datang. Ia lalu berlindung di sarang serigala yang ada di salah satu pojok gua sampai hujan berhenti. Lalu turunlah wahyu kepadanya,

“Keluarlah dari sarang serigala itu! Karena penghuninya merasa tidak nyaman dengan kedatanganmu ke rumahnya.”

Lalu Isa as. berseru,

“Tuhan, anak-anak serigala saja memiliki tempat berlindung, tapi anak Maryam tidak punya tempat untuk pulang.”

Maulana Rumi berkata,

“Meski anak serigala memiliki rumah, tapi ia tidak memiliki Kekasih yang mengusirnya dari rumahnya. Sementara kamu memiliki Kekasih yang mendorongmu keluar. Jika kamu tidak memiliki rumah, lalu apa masalahnya? Cinta kasih dari Pengusir ini dan keanggunan dari jubah kehormatan itu jauh lebih besar melebihi seratus juta langit dan bumi, dunia dan akhirat, arsy dan singgasana, dan bahkan lebih dari itu.

Maulana Rumi melanjutkan,

“Kenyataan bahwa Amir datang dan aku tidak menampakkan wajahku dengan segera hendaknya tidak perlu merisaukannya. Hal ini berhubungan dengan maksud kedatangannya, apakah untuk memuliakan diriku atau untuk dirinya sendiri. Jika tujuannya adalah untuk memuliakan diriku, maka semakin lama dia duduk untuk menungguku, semakin besar dia mendapatkannya. Tapi sebaliknya, jika tujuannya untuk memuliakan dirinya sendiri dan mengharapkan pahala, maka ketika ia menunggu dan menanggung kebosanan dari menunggu, pahalanya akan semakin besar. Adapun jika tujuannya adalah untuk kedua-duanya, maka akan terus berlipat ganda maksud kedatangannya dan makin terus bertambah. Dari situ, maka dia patut untuk senang dan bahagia.

Sumber : Jalaluddin Rumi, 2014, Fihi Ma Fihi, F Forum