Apa yang Dimaksudkan dengan Konsep Memosisikan Karya Sastra sebagai Dokumen Terbuka?

image
Sejak schema theory dikembangkan dan kemudian diterima luas di kalangan akademisi pada dasawarsa 1970-an yang lalu, kesadaran baru meluas yang mengatakan bahwa sifat penafsiran terhadap suatu fenomena atau pengalaman sangat kental diwarnai latar belakang penafsirnya. Oleh karena itu, adanya kebenaran tunggal dalam penafsiran suatu teks, apakah lagi yang menyangkut teks sastra yang memang pada hakikatnya mengundang multitafsir (polyvalent text), tak lagi diyakini komunitas penafsir.

Apa yang dimaksud dengan konsep memosisikan karya sastra sebagai dokumen terbuka?

Dahulu kala ketika penelitian tentang perilaku dan proses membaca dan menafsirkan teks masih belum maju terdengar masuk akal ketika orang bersikukuh tentang adanya penafsiran tunggal. Penafsiran yang dahulu diberi prevelese sebagai pemegang kebenaran ini biasanya berada pada elit: para (maha)guru, pakar sastra, dan praktisi sastra yang dianggap pakar. Sekarang ini dengan berkembangnya penelitian di mancanegara banyak pihak di Indonesia telah juga menyadari kemusykilan penafsiran tunggal itu, khususnya ketika berbicara tentang penafsiran karya sastra.

Sejalan dengan perkembangan pengetahuan tentang hakikat penafsiran yang berbasis penelitian itu, setiap karya sastra seyogianya diposisikan sebagai dokumen terbuka tanpa pretensi adanya absolutisme pemaknaan. Relativitas pemaknaan ini terutama apabila difasilitasi dengan forum dialogis yang terbuka dalam mana berbagai memungkinkan perkembangan kritik karya sastra yang lebih kaya yang pada akhirnya akan memacu perkembangan dunia sastra secara umum.

Berikut ini disajikan beberapa gagasan yang dapat dipertimbangkan lebih lanjut untuk mendorong kita ke arah perluasan khazanah pengetahuan kita tentang praktik litersi kesastraan kita di Indonesia.

Pembacaan karya sastra dengan lensa pandang yang jamak

Banyak eksperimentasi dilakukan para akademisi dan peminat sastra dalam membaca karya sastra dengan menggunakan perspektif tertentu. Contoh konkret yang dapat disebut di sini, antara lain, pembacaan (kembali) karya sastra Indonesia dengan menggunakan teori pasca kolonial (postcolonial theory) seperti yang dimuat dalam buku Clearing a Space yang dihimpun dan disunting Foulcher & Day (2002). Upaya serius ke arah ini juga telah dilakukan sekelompok sarjana yang menyempatkan diri menilik Shakespeares (khususnya produksi, konsumsi dan diseminasi karya-karyanya) dengan perspektif kritis dan dikompilasi dalam buku berjudul Post-Colonial Shakespeares.

Menjustifikasi apa yang telah dilakukannya, penyunting buku ini, Loomba & Orkin mengangkat berbagai kemungkinan kemanfaatan dari eksperimentasi akademik ini, termasuk yang berikut:

  • Pembacaan ulang Shakespeares melalui teori kritis pada dasarnya menantang metanaratif (atau tulisan-tulisan dominan dalam filsafat, bahasa, sejarah dan estetika) yang telah menampik kehadiran dan meminggirkan posisi pengalaman budaya kaum tak diuntungkan semisal kaum kelas bawah, kaum wanita, dan kaum terjajah, kelompok homoseksual dan kelompok marginal lainnya dengan menyadarkan khalayak pembaca bahwa praktik sosial dan praktik idelogis itu bertaut-berkelindan dan bahkan keduanya itu saling megukuhkan.Tulisan-tulisan oposisional ini menekankan pandangan bahwa budaya dan sastra merupakan wilayah pertentangan antara kaum penindas dan yang tertindas.Selain itu, nosi baru tentang bahasa juga dicuatkan: bahwa bahasa merupakan alat dominasi dan perangkat untuk mengkonstruksi identitas.

  • Praktik pembacaan ulang dengan menggunakan perspektif kritis ini juga telah memungkinkan lahirnya kritik sastra jenis baru, yang memandang teks atau representasi sebagai faktor penentu pembangun sejarah dan budaya. Hal ini terjadi karena sejarah dan budaya tidak sekadar berfungsi sebagai latar belakang bagi studi tentang teks melainkan turut membangun bagian inti dari makna teksual itu sendiri. Dalam cara pandang baru ini, misalnya, ketika kita melakukan reinterpretasi terhadap drama Shakespare sekaitan dengan isu kelas, gender, dan relasi seksual dengan menggunakan wawasan dan kosakata serta perangkat tafsir kritis semisal yang lahir dari aliran Marxis, feminis, pos-strukturalis, psikoanalisis dan semiotika kita pada dasarnya sedang dalam upaya menafsirkan kembali dan mengubah dunia kita itu sendiri.

  • Drama Shakespeare telah menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui berbagai pementasan dan forum diskusi di kelas-kelas yang telah berlangsung sangat lama. Praktik ini menunjukkan dua hal sekaligus. Di satu sisi jelas tampak bagaimana pentradisian Shakespeare yang diidealkan ini menunjukkan bagaimana ideologi rasial yang dibawa berbagai karya Shakespeare secara terus-menerus melestarikan cara-cara bagaimana penafsiran, pengajaran dan pemanggungan drama-drama itu dilakukan. Di sisi lain, praktik yang sama yang pada kenyataannya dilakukan melalui berbagai upaya appropriasi, adaptasi, dan bahkan penciptaan versi parodi dalam berbagai konteks kultural dan medium kebahasaan ini juga dengan jelas menunjukkan adanya ruang praktik oposisional yang satu-sama lain dapat terlibat dalam dinamika kontestasi. Dan oleh karena semangat pembacaan ulang semacam ini telah berhasil menjustifikasi dirinya sendiri Shakespeare yang kolonial dan pascakololial ini acapkali diolah, dinikmati dan dibahas dalam statusnya yang terpisah dan mandiri satu sama lain.

  • Sejak signifikansi Shakespeare dan karya-karyanya diidealkan di Britania Raya sejak itu pula ada Shakespeare-Shakespeare lain yang nyempal dan tak bergantung pada Bahasa Inggris. Bersamaan dengan ”perjalanan Shakespeare” melintasi waktu (yang terentang ratusan tahun) dan jutaan tempat yang tersebar dalam radius jutaan mil ini, konsepsi tentang ras juga bergeser dan konotasi yang dibawanya juga berubah di dalam setiap konteks sejarah yang dilalui.

Dari paparan ini dapat dengan jelas dipahami bahwa perubahan dalam perspektif merupakan suatu keniscayaan dan sejalan dengan pemikiran itu ruang yang lebih lapang perlu disediakan dan rangsang intelektual ditingkatkan demi berkembangnya lensa pandang yang jamak dan olah tafsir yang kayadimensi.

Pembacaan lintas generasi

Sementara pembacaan melalui lensa pandang teori pascakolonial mengedepankan dimensi politis dari pergeseran status perkembangan suatu konteks etnik/negara-bangsa dari status kelompok/negara jajahan/koloni ke berbagai tahapan/ jenis status selepas masa penjajajahan itu, pembacaan serupa terhadap suatu karya sastra dapat juga dilakukan dengan variabilitas perspektif antargenerasi.

Apabila dengan menggunakan literature sets yang konstan itukita dapat memolakan tanggapan pembaca lintas generasi, kita sedikitnya dapat menjawab aspek apa saja dalam teks sastra yang kemungkinan disikapi subjektif, dan aspek mana yang secara relatif disikapi sama (objektif ) oleh pembaca lintas generasi. Bongkah pengetahuan berbasis data ini sedikitnya akan memberikan sumbangan pengehatuan tentang respons pembaca di Indonesia pada umumnya, dan sekaligus memberikan bahan yang dapat dijadikan pijakan bagi “kebijakan pengajaran” khususnya dalam hal pengembangan jenis soal dan evaluasi hasil pembelajaran, yang pada kondisinya sekarang-sekarang ini tampaknya salah bidik itu.