Apa yang dimaksud Ta’widh Menurut Hukum Islam?

image

Kata al-ta ’widh berasal dari kata ‘ iwadha yang mempunyai arti memberi ganti atau mengganti, sedangkan kata ta ’widh sendiri mempunyai arti secara bahasa mengganti.

Apa yang dimaksud Ta’widh Menurut Hukum Islam?

Dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga intermediasi bank syariah pasti mempunyai risiko salah satunya yaitu kredit macet. Walaupun bank syariah telah selektif dan menganalisis sebelum memberikan pembiayaan bukan berarti risiko hilang, akan tetapi hal tersebut dapat meminimalisir risiko yang terjadi sehingga kemungkinan gagal bayar pasti ada.

Para pihak wajib melaksanakan apa yang timbul dari akad. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya, tentu timbul kerugian pada pihak lain yang mengharapkan dapat mewujudkan kepentingannya melalui pelaksanaan akad tersebut. Oleh karena itu, hukum melindungi kepentingan pihak dimaksud (kreditur) dengan membebankan tanggung jawab untuk memberi ganti rugi atas pihak yang mangkir janji (debitur) bagi kepentingan pihak yang berhak (kreditor).

Dalam hukum Islam, terdapat istilah dhaman al- ‘aqd , yaitu tanggung jawab melaksanakan akad. Dalam istilah tanggung jawab yang terkait dengan konsep ganti rugi ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Daman akad ( dhaman al- ‘aqd ), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad.

  2. Daman udwan ( dhaman al- ‘udwan ), yaitu tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan merugikan ( al-fi ’l adh-dharr ) atau dalam istilah hukum perdata Indonesia disebut dengan perbuatan melawan hukum.

Di samping itu, dalam melindungi aktifitas ekonomi dan bisnis, Islam telah memberikan prinsipprinsip umum yang harus dipegang, salah satunya yaituprinsip tidak boleh mengandung praktik eksploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya. Dengan demikian transaksi apapun yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan asas kemaslahatan, dalam arti menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan memberatkan (mashaqqah).

Sehingga dalam melindungi kepentingan masing-masing pihak yang berakad terutama pihak yang mengalami kerugian, Islam memberikan ketentuan terkait dengan pemberian ganti kerugian yang disebut dengan istilah ta ’widh atau ganti rugi.

Pengertian ta’widh


Kata al-ta ’widh berasal dari kata ‘ iwadha yang mempunyai arti memberi ganti atau mengganti, sedangkan kata ta ’widh sendiri mempunyai arti secara bahasa mengganti. Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan. Ta ’widh adalah sejumlah dana yang dibebankan kepada nasabah untuk menutup kerugian yang diderita oleh bank akibat nasabah lalai atau melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan dalam akad. Bank dapat mengenakan ta ’widh sebesar kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang telah melakukan kelalaian atas kewajibannya. Bank dapat mengakui ta ’widh sebagai pendapatan bank yaitu sebesar nilai kerugian riil ( real loss ) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi ( potential loss ) karena adanya peluang yang hilang ( opportunity loss/ al-furshah al-dha-I ’ah ).

Landasan hukum ta’widh


Islam adalah agama yang melindungi setiap pihak yang bertransaksi atau melakukan akad. Maka hak-hak setiap pihak sangat dijaga dalam Islam. Sehingga tidak ada yang saling mendzalimi atau dirugikan satu sama lain. Hal ini sebagaimana tertera dalam al-quran dan al-hadits berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukumhukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS. Al-Maidah [5]: 1)

Dari surat al-Maidah ayat 1 sudah sangat jelas bahwa apabila seseorang melakukan akad atau kontrak perjanjian maka masing-masing pihak harus memenuhi hak dan kewajibannya satu sama lain. Sehingga setiap yang berhutang harus membayar hutangnya. Ganti rugi dalam hukum Islam lebih menitik beratkan tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan suatu akad perikatan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, maka tentu akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang lain.

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’laa dari Ma‟mar dari Hammam bin Munabbih, saudaranya Wahb bin Munabbih bahwa dia mendengar Abu Hurairah radiallahu ‘anhu berkata: “Menunda pembayaran hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman”. (HR. Bukhari)

Dari al-Syarid, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Menunda pembayaran utang oleh orang yang mampu, akan berdampak pada kehormatan dan menyebabkan sanksi untuknya.” (HR. Ibnu Majah)

Terkait hal di atas Bank Indonesia telah memberikan aturan mengenai pemberian biaya ganti rugi. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 19 tentang Ketentuan Ganti Rugi. Isi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bank dapat mengenakan ganti rugi ( ta ’widh ) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan kerugian pada bank

  2. Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil ( real loss ) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi ( potential loss ) karena adanya peluang yang hilang ( opportunity loss/ al furshah al-dha-i ’ah )

  3. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan akad yang menimbulkan utang piutang ( dain ), seperti salam , istishna , serta murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai

  4. Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah, hanya boleh dikenakan bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib

  5. Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan dipahami oleh nasabah

  6. Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah

Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadh (عوض ),yang artinya ganti atau konpensasi. Sedangkan al-ta’wiidh sendiri secara bahasa berarti mengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.

Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya (beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban berat) termasuk didalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti rugi.

Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas ataupun manfaat.

Dasar hukum ta’widh

  1. QS Al-Maidah (5) : 1
    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”. Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita sebagai orang- orang yang beriman, kita diwajibkan untuk memenuhi segala apa yang telah kita janjikan atau sepakati.

  2. QS Al-Baqarah (2) : 279-280
    Artinya: “kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orangyang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita jangan sampai menyakiti orang lain (membebani), dan jika ada orang yang masih berhutang kepada kamu maka janganlah persulit, beri dia waktu lebih untuk memenuhi hutangnya kepada kamu. Dan jikalau kamu mengetahui, bahwasanya sedehkahkanlah sedikit atau semua utang itu lebih baik bagi kamu karna kamu telah menolong sesama kamu. Maksudnya, jangan beri dia beban kecuali kalo memang ada kerugian riil yang diterima akibatnya.

  3. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
    Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibn Majah). Dalam hadist ini menjelaskan kepada kita bahwa, kalau misalnya ada orang yang mempunyai hutang kepada kita, tagihlah dia dengan sopan jangan sampai dia merasa sangat bersalah dan bisa memecahkan persaudaraan diantara kita.

  4. Kaidah Fiqh :
    Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Dalam kaidah ini dijelaskan segala sesuatu itu semuanya sebenernya diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Jadi dalam kaidah ini , adanya ganti rugi itu diperbolehkan selama yang dituntut dalam kerugianya masih dalam koridor riil atas beban- beban kreditur dalam menganani masalah ini.

Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh

Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan mengenai ta’widh atau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut :

  1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya harus dihindarkan, ia menyatakan: “Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan,atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji dimana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”

  2. Pendapat Wahbah al-Zuhaili : “Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan”. Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:

  • menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding.
  • memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama (sejenis) atau dengan uang”. Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya”.
  1. Pendapat Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li : “Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampudidasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”

  2. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh Isham Anas al-Zaftawi : “Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syariah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti, sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, disamping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”