Apa yang dimaksud Sosiolek?

Apa yang dimaksud Sosiolek?

Sosiolek juga disebut dengan dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.

Sosiolek adalah idiolek-idiolek yang menunujukan persamaan dengan idiolek-idiolek lain yang disebabkan oleh kedekatan sosial, yaitu penutur-penutur idiolek tersebut termasuk dalam suatu golongan masyarakat yang sama (Nababan, 1984). Di dalam masyarakat terdapat berbagai golongan yang dapat dilihat dari golongan sosialnya, maka idiolek-idiolek tersebut dapat terlihat.

Variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya seperti usia, pendidikan, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi, dan kelas sosial para penuturnya. Variasi ini cenderung menyangkut masalah pribadi penuturnya seperti faktor usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, dan keadaan ekonomi. Melalui perbedaan-perbedaan golongan tersebut dapat terlihat variasi bahasa yang digunakan pada para penutur.

Berdasarkan usia kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia. Contohnya pada anak-anak sering menggunakan kata pipis apabila akan buang air kecil namun para remaja, orang dewasa, dan orang tergolong lansia tidak akan menggunakan kata pipis lagi untuk ijin buang air kecil, namun akan menggunakan kata “ijin ke belakang”. Orang yang sudah remaja sampai tergolong lansia cenderung lebih menggunakan kata yang lebih sopan untuk ijin buang air kecil.

Bedasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial, para penutur yang memperoleh pendidikan tinggi akan berbeda variasi bahasanya dengan mereka yang hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali. Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang penggunaan kosakata. Di Jakarta ada dua harian Kompas dan harian Pos Kota, dua harian yang populer di Jakarta. Namun, harian Kompas lebih banyak dibaca oleh para golongan pelajar, sedangkan harian Pos Kota lebih banyak dibaca oeh golongan buruh dan golongan kurang terpelajar. Disini terlihat bahwa minat kualitas media yang dibaca orang berpendidikan tinggi dan orang yang berpendidikan rendah terlihat berbeda. Maka kualitas pembicaraannya juga akan berbeda, sehingga variasi bahasa yang digunakan juga akan berbeda.

Berdasarkan jenis kelamin variasi bahasa juga akan terlihat. Terlihat pada percakapan oleh sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu yang lebih senang membicarakan orang lain. Dibandingkan dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau bapak-bapak yang lebih sering membicarakan hal yang digemarinya seperti membicarakan mesin, onderdil motor atau mobil, dan membicarakan pekerjaanya. Perbedaan tersebut tampak bahwa variasi bahasa yang digunakan oleh kaum wanita berbeda dengan kaum pria.

Berdasarkan pekerjaan juga dapat menyebabkan adanya variasi bahasa yang digunakan. Pembicaraan yang dibincangkan oleh pekerja yang bekerja di suatu perusahaan, guru, dokter atau bekerja yang lebih bergengsi akan berbeda dengan orang yang bekerja hanya sebagai buruh, pedagang kecil, pengemudi kendaraan umum. Perbedaan bahasa mereka terutama karena lingkungan tugas meraka terutama tampak pada bidang kosakata yang mereka gunakan. Orang yang bekerja sebagai buruh, pengemudi kendaraan umum, pedagang kecil bahasa yang digunakan dalam percakapannya akan cenderung lebih kasar dan kurang sopan karena faktor lingkungan mereka yang sehari-harinya berada dilingkungan umum yang bergaul dengan orang disekelilingnya yang cenderung menggunakan bahasa yang kurang sopan atau kasar. Berbeda dengan para pekerja pengusaha, guru, dokter penggunaan bahasa dalam percakapannya akan lebih hati-hati dalam berbicara dengan lawan bicaranya. Bahasa yang digunakan juga akan lebih sopan dan berpendidikan karena lingkungan sekitarnya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.

Didalam masyarakat yang masih mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan dapat dilihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawanan itu. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa Sunda mengenal variasi kebangsawanan. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah undha usuk, yaitu untuk berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa krama inggil atau krama alus, dengan orang yang sebaya atau lebih muda menggunakan bahasa ngoko. Seperti kata sampeyan (ngoko) dalam bahasa krama alus atau krama inggil panjenengan atau jenengan dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti kamu.

Masyarakat Jawa mengenal adanya klas-klas sosial yang dapat menyebabkan adanya variasi bahasa. Menurut Clifford Greetz (dalam Suwito, 1982) ada tiga kelompok sosial yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan. Variasi bahasa yang digunakan oleh golongan priyayi tentu berbeda dengan golongan yang bukan priyayi dan petani. Pada golongan priyayi variasi bahasa yang digunakan biasanya menggunakan bahasa krama inggil atau krama alus, seperti menggunakan kata panjenengan’kamu’. Bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota juga dapat menyebabkan variasi bahasa. Bahasa yang digunakan oleh orang yang berpendidikan akan berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan dan orang yang tinggal di kota akan berbeda juga dengan orang yang tinggal di desa. Karena faktor lingkungan sekitar juga akan berpengaruh dengan bahasa yang sering digunakan. Petani dan orang kota yang tidak berpendidikan juga dapat menyebabkan variasi bahasa,orang kota yang tidak berpendidikan bahasanya akan tidak jauh dengan petani karena faktor lingkungan sekitar dapat mempengaruhi bahasanya.

Perbedaan variasi juga disebabkan oleh perbedaan status sosial dalam masyarakat. Masyarakat Jawa masih menggunakan status sosial sebagai ukuran dalam berkomunikasi dengan orang lain yang dikenal dengan undha-usuk. Menurut Suwito (1982) undha-usuk adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berdasarkan tingkat-tingkat klas atau status sosial. Sebagai wujud konkritnya pihak yang berstatus sosial lebih rendah akan menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi (krama) kepada orang yang berstatus sosial yang lebih tinggi, seperti menggunakan kata panjenengen untuk menyebutkan kamu. Sedangkan sebaliknya orang yang berstatus sosial lebih tinggi akan menggunakan tingkat bahasa yang rendah (ngoko) bila berbicara dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, seperti menggunakan kata kowe untuk menyebutkan kamu. Orang yang 20 mempunyai status sosial rendah lebih menghormati dengan orang yang mempunyai status sosial yang tinggi.