Apa yang dimaksud Sistem Politik Totaliter atau Totalitarian ?

Totalitarian

Totaliterisme adalah pemikiran politik yang melihat bahwa eksistensi manusia secara orang perorangan tidaklah penting, sebaliknya tiap manusia menjalankan perannya untuk mendukung tercapainya kepentingan bersama. Untuk itu maka tuntunan utama adalah ideologi negara atau gagasan lain.

Apa yang dimaksud sistem politik totaliter atau totalitarian ?

Sistem politik totaliter sangat menekankan konsensus total didalam masyarakat tetapi juga konflik total dalam musuhnya didalam negeri maupun diluar negeri. Namun, untuk mencapai sensus total tidak hanya dilakukan melalui indoktrinasi ideologi, tetapi juga melalui pelaksanaan kekuasaan paksaan yang luas dan mendalam.

Menurut Kautsky Sistem totalitarianisme, ingin mengendalikan masyarakat secara total (agama, keluarga, olahraga, dll). Mereka memerlukan teknologi dan senjata modern.`

Sistem Politik ini pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu komunis dan fasis. keduanya menghendaki pengaturan masyarakat secara menyeluruh (total) atas dasar tertentu dengan kelompok kecil penguasa yang memonopoli kekuasaan. Keduanya juga merupakan sistem mobilisasi massa dalam rangka membentuk manusia dan masyarakat baru, dan dalam rangka melaksanakan kebijakan ditetapkan oleh penguasa. Keduanya juga menempatkan kepentingan individu dibawah kehendak dan kepentingan partai tunggal yang mengatasnamakan negara dan bangsa.

Ramlan Surbakti dalam mengklasifikasikan sistem politik menggunakan model sistem politik dengan kriteria, sebagai berikut :
Untitled
Komunisme merupakan pemberontakan besar pertama dalam abad keduapuluh terhadap sistem ekonomi yang kapitalis dan liberal, sedangkan fasisme merupakan pemberontakan kedua terhadap kapitalis dan liberal maupun terhadap komunisme. Komunisme merupakan pengaturan Pemerintah dan masyarakat secara totaliter dengan suatu kediktatoran yang mewakili kaum proletar (pekerja). Republik Rakyat cina, Vietnam, Korea Utara, Albania dan Kuba merupakan contoh negara komunis yang masih tersisa setelah negara-negara eropa timur dan uni soviet meninggalkan komunis pada tahun 1989 dan 1991

Refrensi :

Sistem Totalitarian adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai ‘baik’ dan ‘buruk’ dari perilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat. jadi dapat dikatakan bahwa negaralah yang dilayani oleh masyarakatnya bukannya sebaliknya.

Ciri dari negara penganut dari totalitarianisme ini adalah adanya ideologi yang disebarkan lewat berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakatnya dan adanya partai tunggal yang berkuasa. contoh dari negara penganut totalitarianisme ini adalah negara Jerman Barat dengan partai terkenalnya yaitu Nazi dengan cara meng-Agungkan bangsa arya.

Istilah Totalitarian pertama kali digunakan oleh diktator Italia Benito Mussolini dan kemudian digunakan oleh ilmuwan untuk menjelaskan rezim Nazi Jerman dan Soviet pada masa Perang Dingin. Sistem politik totalitarian seringkali disamakan dengan otoritarian, padahal terdapat perbedaan antara keduanya dilihat dari sejauh mana kekuasaan negara. Dalam totalitarian, negara menguasai segala aspek sampai kepada cara berfikir dan moral masyarakat, sedangkan dalam otoritarian, kekuasaan negara tidak memasuki ranah institusi sosial dan ekonomi, sehingga masih menyisakan ruang untuk kehidupan pribadi masyarakat.

Secara etimologi terma totalitarianisme di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris yakni: totalitarianism. Totalitarianism terbentuk dari gabungan dua kata yakni, totalitarian + isme . Totalitarian sendiri berarti sebuah sistem pemerintahan yang terpusat, diktaktorial serta menuntut kepatuhan penuh kepada negara. Sedangkan isme adalah sebuah sistem, paham ataupun tipikal ideologi politik. (Oxford : 2011)

Oleh Lorens Bagus, totalitarianisme didefinisikan sebagai sebuah sistem sosio-politis yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan individu-individu. Lorens Bagus menambahkan bahwa di negara yang menerapkan sistem totalitarianisme, negara memiliki kekuasaan untuk menguasai segala golongan dalam masyarakat. Oleh karena itu, totalitarianisme adalah sebuah sistem sosio-politik yang ditandai campur tangan penguasa lalim ke dalam segala aspek kehiduapan masyarat, serta menuntut kepatuhan penuh kepada negara.

Karakteristik totalitarianisme dapat dipahami dengan cara melakukan pengamatan terhadap karakteristik dan fenomena yang terjadi di negara yang menganut monarki absolut dan negara yang menganut sistem politik fasisme. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan totalitarianisme sering kali dibandingkan dengan sistem politik fasisme, akan tetapi sebenarnya totalitarianisme tidaklah sama dengan sistem politik tersebut. Walaupun perbandingan yang dilakukan antara totalitarianisme dengan fasisme ini tidaklah mengherankan terjadi, karena memang seringkali fasisme menjadi rujukan untuk memahami definisi totalitarianisme.( Edward)

Hal ini juga yang dilakukan oleh Paul Edward. Bagi dia, usaha untuk menelusuri definisi totalitarianisme haruslah mengacu kepada sistem politik fasisme. Menurut Paul Edward, fasisme merupakan sebuah gerakan ideologi yang dipimpin oleh Benito Mussolini. Ideologi yang berkembang di Italia ini, dimulai pada tahun 1922 sampai dengan invasi yang dilakukan sekutu pada saat perang dunia kedua. Kata fasisme bukannnya monopoli untuk doktrin ideologi di Italia semata saja, tetapi kata fasisme ini juga digunakan untuk negara-negara sejenis yang menerapkan sistem serupa seperti di negara Jerman.

Fasisme sebagai sebuah ideologi sangat bangga terhadap dirinya sendiri karena fasisme memiliki kondisi alamiah yang komprehensif di dalam menjalani pemerintahan dengan dibatasi oleh pandangan totalitarianisme. Namun Bagi Gentile, fasisme bukanlah sekedar sebuah metode yang dijalankan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya semata, tetapi juga bagi sebuah pemikiran filsafat yang menerobos keinginan, pemikiran dan perasaan individu untuk kepentingan negara.(Edward)

Segala aspek kehidupan masyarakat harus dikorbankan demi kepentingan negara. Oleh karena itu, maka fasisme juga memiliki pengaruh pemikiran nasionalisme bahkan cenderung chauvinistic . Walaupun di negara Jerman juga menerapkan ideologi fasisme, namun Mussolini membantah dengan keras bahwa fasisme yang dianut oleh Italia sama dengan yang diterapkan di Jerman. Mussolini sendiri menolak sikap rasisme yang dilakukan oleh Nazi. Bagi dia manusia bukanlah alat uji coba untuk memenangkan perlombaan ambisi segelintir orang, tetapi manusia diikat oleh persatuan orang banyak melalui sebuah gagasan nasionalisme. Fasisme bukanlah hanya sekedar harus diterima, tetapi fasisme juga memiliki potensi mengganggu dan mengancam. Fasisme tidak memberikan ruang kepada metode parlemen ataupun demokrasi, yang mana kedua metode tersebut membutuhkan dan menantang masyarakat untuk berpartisipasi.

Kedekatan relasi antara totalitarianisme dengan fasisme dipertegas lagi melalui definisi yang dilakukan oleh The New Encyclopaedia Britannica . Menurut The New Encyclopaedia Britannica, terma totalitarianism sendiri berasal dari terma totalitario yang pertama kali dikemukakan oleh diktaktor Italia Benito Mussolini pada tahun 1920. Mussolini sendiri mengambarkan totalitario sebagai sebuah fasisme baru yang lebih jauh lagi dideskripsikan sebagai All within the state , none outside the state, none against the state.” ( The New Encyclopaedia Britannica : 1903).

Sebagai sebuah sistem politik, totalitarianisme tentunya memiliki karakteristik tersendiri, antara lain kekuasaan yang terpusat. Di negara yang menganut sistem totalitarianisme distribusi kekuasaan tidak dimungkinkan terjadi. Kekuasaan dipegang oleh satu orang, sehingga penguasa harus memiliki karakteristik khusus pula agar dapat menjalankan sistem totalitarianisme di negara mereka masing- masing. Para penguasa yang menjalankan sistem totalitarianisme agar dapat menjalankan dan melanggengkan kekuasaannya, kerap kali melakukan segala cara, seperti melakukan teror, menggunakan kekuatan militer hingga sabotase melalui propaganda media.

Jika Paul Edward merujuk kepada fasisme untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan totalitarianisme, maka Simon Blackburn memberikan definisi tersendiri. Menurut dia totalitarianisme adalah sebuah prinsip pemerintahan yang mengacu kepada pemusatan kontrol negara. Negara menjadi subjek yang mengontrol segala institusi baik publik maupun privat. Pendapat Simon Blackburn ini dapat terlihat dari definisi di bawah ini :

“The principle of government according to which all institutional and private arrangements are subject to control by the state. There are no autonomous association, nor is there any principled of legally recognized private/public distinction.”
(“Prinsip mengenai pemerintahan yang sesuai dengan semua pengaturan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta harus dikuasai oleh negara. Tidak ada asosiasi otonom, juga tidak ada prinsip yang membedakan antara hukum swasta atau publik”). ( Blackburn, 2005)

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan, totalitarianisme adalah sebuah sistem politik yang menekankan kepada pemusatan kekuasaan. Tidak ada kebebasan dan kemandirian masyarakat. Semua kehidupan masyarakat diurus oleh pemerintah.

Totalitarianisme

Politik Totalitarianisme


Politik totalitarianisme bukan sebuah sistem politik yang timbul dengan sendirinya tanpa ada latar belakang yang mendasari munculnya sistem ini. Lefort sendiri di dalam penelitiannya menjelaskan mengenai karakteristik totalitarianisme. Menurut Lefort karakteristik totalitarianisme adalah sebagai sebuah simbol struktur yang tidak muncul semua dalam satu waktu, tetapi muncul melalui rangkaian pengaruh secara gradual yang lebih berani dari sekedar pemikiran Marxisme. (Flynn, 2005)

Sebuah pengkultusan kepada seorang pemimpin merupakan hal yang tidak bisa dihindari dalam politik totalitarianisme. Pengkultusan diri terhadap seorang pemimpin juga berkembang pada saat Stalin memimpin USSR. Cara-cara untuk mengkultuskan dirinya dilakukan oleh Stalin di dalam pekerjaannya., bahkan dia menanamkan sikap pengkultusan kepada dirinya melalui partainya sendiri. Dia menemukan caranya sendiri agar metode pengkultusan ini dapat benar-benar bekerja secara efektif… Setelah pengkultusan diri berhasil dilakukan oleh Stalin, selanjutnya dia melakukan sebuah represi terhadap semua musuh dalam bentuk apapun. Biasanya cara-cara represi ini disebut sebagai teror ditaktorial ( Lefort, 1986). Selain itu, Lenin dan Trotsky juga melakukan hal yang sama. Mereka melakukan represi terhadap semua lawan-lawannya, bahkan partai oposisi pun tidak diperkenankan terpelihara eksistensinya apalagi sampai terbentuk.

Totalitarianisme dalam pandangan Stalin memiliki kekhasan tersendiri. Stalin memasukan unsur-unsur militeristik sebagai anasir penting untuk menegakkan politik ini. Stalin juga melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para pendahulunya, yakni dengan membagi secara tegas antara negara dan massa. Selain itu, Stalin juga mengkonsentrasikan segala otoritas di dalam model kekuasaan yang tunggal. Kekuasaan tunggal itu tentunya berada di dalam gengaman tangannya. Nilai- nilai yang telah ada secara de facto ini ditranformasikan oleh Stalin dengan mengambil kebijakan yang bernafaskan nilai sosialisme. ( Lefort, 1986)

Lefort membuat sebuah kritikan terhadap model totalitarianisme yang berkembang di USSR ini. Menurut dia, apa yang terjadi di USSR ini merupakan sebuah bentuk konsep negara kapitalisme. Mengapa demikian? Karena menurutnya, politik birokrasi yang terjadi di USSR tidak jauh berbeda dengan model monopoli yang dilakukan di negara barat. Bahkan dia memberikan istilah sendiri bahwa model sosialisme yang diterapkan di USSR sebagai sebuah struktur absolutisme baru. Kritik Lefort ini dapat kita lihat secara komprehensif melalui uraian di bawah ini :

“Lefort makes a critique of the conception of Soviet Union as a form of state capitalism. It had been argued by some that the concentration of capital in fewer and fewer hands was a worldwide phenonomenon of “late capitalism” ; Using this interpretation, one could argue that the rulling strata of Soviet bureaucracy played a role analogous to the concentration of power I the monopolies of the western capitalist world.”
(“Lefort membuat kritik terhadap konsepsi Uni Soviet sebagai bentuk negara kapitalisme. Telah dibantah bahwa konsentrasi kapital lebih sedkit daripada orang yang menangganinya. Sebuah fenomena di seluruh dunia mengenai kapitalisme akhir. Dengan menggunakan interpretasi ini, dapat membantah bahwa strata pemerintahan birokrasi di Uni Soviet dimaikan sebagai sebuah peran analogi untuk menunjukan konsentrasi kekuasaan yang dimonopoli oleh dunia kapitalis barat.”) ( Flynn : 2005).

Dipihak lain, Lefort juga setuju dengan pandangan Arendt mengenai penggunaan teror sebagai alat penjaga eksistensi politik totalitarianisme. Menurut Lefort, teror terbentuk dari kekuatan sosial baru, yang muncul dengan cara berusaha mencabut kekerasan dari arena masyarakat lama sehingga muncul masyarakat baru yang hidup dengan melakukan pengorbanan kepada kesatuan organisme yang baru terbentuk itu. Teror juga berasal dari pengembangan kelas proletariat. Teror tersebut merupakan respon dari situasi yang spesifik di dalam kelas pekerja itu sendiri. ( Lefort : 1987). Sehingga teror bukan lagi dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer tetapi dengan kekuatan massa proletarian.

Walaupun totalitarianisme sudah berkembang pada ideologi fasisme dan komunisme. Akan tetapi, konsep totalitarianisme yang menjadi titik fokus penelitian Lefort, adalah totalitarianisme yang terjadi paska terjadinya perang dunia kedua. Pertarungan bukan lagi terjadi pada kubu sekutu dengan kubu fasisme. Tetapi konflik bergeser kepada pertarungan antara kekuatan barat dan kekuatan USSR. Ketegangan ini biasa disebut sebagai perang dingin. Akan tetapi, Lefort memberikan kritikan kepada pandangan mengenai totalitarianisme ini. Bagi dia, totalitarianisme bukan sekedar perpindahan karakteristik komunisme yang berasal dari fasisme. Tetapi bagi dia, totalitarianisme adalah sebuah kategori politik baru yang telah terbentuk. Kata totalitarianisme mengalami transisi bentuk dari sebuah kata ejekan kepada mereka yang dianggap sebagai musuh-musuh negara menjadi sebuah kata yang diciptakan untuk mengambarkan sebuah tipe sosio-historis baru. Kata ini menunjukan komunisme di USSR yang menunjukan bahwa totalitarianisme ini merupakan ancaman bagi eksistensi demokrasi. ( Lefort, 1986)

Politik Totalitarianisme

Masyarakat baru yang terbentuk di bawah kungkungan totalitarianisme adalah sebuah pemikiran yang menyangkal terjadinya sebuah relasi antagonisme kepentingan yang terjadi di dalam kelas atau grup. Di dalam totalitarianisme perbedaan yang dapat memicu perselisihan harus disingkirkan. Sebagai contoh pekerjaan yang dilakukan oleh insiyur, guru, pengacara dan dokter bukan mereka lakukan sebagai tanggung jawab pribadi terhadap profesinya, tetapi semua yang mereka lakukan semata-mata hanya untuk kepentingan politik pemegang otoritas. Berdasarkan hal ini, bahwa di dalam masyarakat yang dikungkung oleh totalitarianisme, gagasan mengenai masyarakat heterogenitas secara jelas ditolak. Karena gagasan tersebut dianggap dapat menganggu keharmonisan di dalam masyarakat. ( Lefort, 1987).

Selain menyangkal relasi antagonisme, politik totalitarianisme juga memiliki karakteritik utama yakni, politik ini menyembunyikan semua bentuk konflik antagonistik. Kondisi masyarakat yang beragam yang berpotensi menimbulkan konflik disingkirkan. Sebaliknya, kondisi masyarakat yang homogen dan bersifat transparan meruapakan sebuah postulat bagi konsep totalitarianisme. Perbedaan pendapat yang terjadi di dalam masyarakat sangat dikutuk. Penyangkalan mengenai konflik yang merupakan karakteristik totalitarianisme dapat kita lihat dari kesimpulan Marchart seperti yang ada di bawah ini :

“So the main feature of totalitarianism- with respect to the founding conflict- is that any form of antagonism will be concealed, and a homogenized and self-transparent society will be postulated : “ social division, in all its modes, is denied, and at the same time all signs of differences of opinion, belief or mores are condemned”
(“Jadi, fitur utama totalitarianisme – dengan respek kepada pendasaran terhadap konflik – adalah bahwa bentuk apa saja dari antagonisme akan disembunyikan, dihomogenkan dan transparansi masyarakat dalam dirinya sendiri akan di postulatkan : “divisi sosial, dalam semua bentuk disangkal dan pada saat yang sama semua tanda yang menunjukan perbedaan opini, kepercayaan dan kebiasaan dikutuk.”) (Marchart, 2007).

Proses identifikasi antara kekuasaan dan masyarakat, proses homogenisasi dalam ruang sosial, serta proses membatasi kekuasaan dan masyarakat, semua hal tersebut saling berhubungan dalam proses pembentukan sistem totalitarianisme. Melalui terbentukanya sistem ini, maka representasi sebuah keteraturan natural dibangun kembali. Tetapi keteraturan ini, diandaikan menjadi sebuah rasional sosial dan tidak memberikan toleransi baik kepada divisi-divisi maupun hierarkis. Proses identifikasi merupakan hasil elaborasi Lefort yang dituangkan dalam uraian di bawah ini :

With the constitution of this system the representation of a “natural” order is reestablished, but this order is supposed to be social-rational and does not tolerate apparent divisions and hierarchies.”
(“Dengan konstitusi dari sistem ini yang merupakan representasi sebuah perintah “natural” didirikan kembali, tetapi perintah ini diandaikan menjadi sebuah rasional sosial dan tidak toleransi nyata kepada divisi dan hirarki.”) (Lefort : 1987).

Perpindahan kekuasaan bukan lagi terjadi seperti pada pola kuasa lama, yang mana peralihan kekuasaan dilakukan berdasarkan garis keturunan, tetapi pada totalitarianisme yang berkembang setelah perang dunia kedua ini, di dasari oleh kesamaan ideologi. Penguasa tertinggi hanya berasal dari partai tertentu saja. Dalam hal representasi penguasa, Lefort memberikan istilah People-as-One . Di dalam pengertian ini, masih belum sepenuhnya utuh. Pengertian People disini masih kabur dengan konsep proletarian. Kemudian selanjutnya kekaburan makna ini menjadi semacam mitos yang merupakan hasil konstruksi sosialisme. People-as-One hanya dapat direpresentasikan dan diakui hanya melalui sebuah kesepakatan dari Great Other . People-as-One ini selain merupakan representasi dari Great-Other juga merupakan representasi dari keterasingan people yang juga merupakan musuhnya sendiri.

Pandangan mengenai kondisi alamiah di dalam masyarakat yang bersifat penuh konflik disingkirkan di dalam model totalitarianisme. Tidak ada lagi realitas antagonisme di dalam masyarakat. Divisi original ini, berada di dalam tataran dimensi ontological. Akan tetapi divisi original ini tidak benar-benar dapat disingkirkan. Kemudian, divisi original ini berubah menganggu dengan menyembunyikan the imaginary.

Sumber : Richard Losando, Demokrasi sebagai ruang kosong : Kritik terapeutik Claude Lefort terhadap pola kuasa totalitarianisme, Universitas Indonesia