Apa yang dimaksud Revolusi Kebudayaan yang ada di Cina ?

Revolusi Kebudayaan di Cina

Revolusi Kebudayaan di Cina terjadi pada tahun 1966 - 1976, dimana revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong, dimana revolusi ini ingin mengembalika Cina kepada ajaran Maosisme, akibat kuatnya kapitalisme dari budaya Barat. Oleh karena itu revolusi ini dikenal juga dengan gerakan anti Kapitalisme.

Bagaimana apa yang terjadi pada masa revolusi itu ?

Pada tahun 1966, pemimpin Komunis China Mao Zedong meluncurkan apa yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan untuk menegaskan kembali kewenangannya atas pemerintah China. Revolusi Kebudayaan, yang secara resmi disebut Revolusi Kebudayaan Proletarian Besar, adalah sebuah gerakan sosiopolitik yang terjadi di Tiongkok dari 1966 sampai 1976.

Digerakkan oleh Mao Zedong, Ketua Partai Komunis Tiongkok pada masa itu, tujuannya adalah menyajikan ideologi komunis yang ‘sebenarnya’ di negara tersebut dengan menyapu sisa-sisa unsur kapitalis dan tradisional dari masyarakat Tiongkok, dan mendirikan kembali pemikiran Maois sebagai ideologi dominan pada Partai tersebut.

revolusi kebudayaan cina

Percaya bahwa pemimpin Komunis saat ini sedang mengambil partai, dan China ke arah yang salah, Mao meminta kaum muda bangsa untuk membersihkan elemen “tidak murni” masyarakat Tionghoa dan menghidupkan kembali semangat revolusioner yang telah membawa kemenangan dalam perang sipil 20 dekade sebelumnya dan pembentukan Republik Rakyat Cina.

Revolusi Kebudayaan berlanjut dalam berbagai tahap sampai kematian Mao pada tahun 1976 dan meninggalkan kesengsaraan dan kekerasannya akan bergejolak dalam politik dan masyarakat Tionghoa selama beberapa dekade yang akan datang.

Pada masa Revolusi Kebudayaan, China diwarnai dengan gejolak politik dan aksi kekerasan dibanyak kota-kota. Kekerasan ditujukan kepada kaum intelektual dan unsur borjuis, serta kapitalis lainnya.

Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat Presiden Liu Shaoqi dkk yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Hingga saat ini revolusi Kebudayaan masih menjadi topik peka di China dan diskusi terbuka mengenai masalah itu sangat terbatas. Revolusi Kebudayaan membuat generasi muda menjadi radikal untuk menentang kaum elit.

Sumber: hariansejarah.id

REVOLUSI KEBUDAYAAN ( CULTURAL REVOLUTION )

  • Revolusi Kebudayaan Proletar merupakan periode paling penting dalam politik China setelah tahun 1949. Revolusi ini merupakan kampanye yang paling besar. Kehidupan di kota-kota besar berhenti, produksi juga berhenti. Banyak bangunan dan gedung yang rusak, termasuk kelenteng, gereja dan masjid. Jumlah korban manusia diperkirakan sebesar 729.511 jiwa. Pada tahun 1978 ketika Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan merehabilitasi korban Revolusi Kebudayaan, tercatat sedikitnya 300.000 orang yang menjadi korban tuduhan palsu. Deng Xiaoping sendiri yakin bahwa ada 2,9 juta orang mengalami berbagai macam penganiayaan selama kampanye tersebut (James Wang, 1985).

  • Revolusi kebudayaan merupakan gerakan politik nasional yang diorganisir dan dipimpin oleh sekelompok elite politik di bawah pimpinan Mao Tse-tung. Revolusi tersebut berusaha menguji semua pejabat, khususnya para pejabat tinggi, memperbarui dan membersihkan mereka yang tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Mao. Dalam pandangan Mao banyak pemimpin menjadi borjuis dan korup. Jadi revolusi kebudayaan dipandang sebagai kampanye pembetulan dan sebagai kampanye massa untuk perjuangan kelas dalam menyelesaikan kontradiksi antara kaum proletar dan borjuis.

  • Artinya kebudayaan disini tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan. Setelah mundurnya Mao dari kursi kepresidenan China setelah kegagalannya dalam program lompatan besar ke depan, Mao masih tetap merupakan pemimpin tertinggi yang diagung-agungkan oleh rakyat. Namun yang menjalankan pemerintahan adalah dari kaum pragmatis di bawah Liu Shaoqi. Revolusi Kebudayaan dilancarkan pada tahun 1966 oleh Mao Tse- tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat presiden Liu Shaoqi dan kliknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping melihat bahwa kegagalan Lompatan Jauh ke Depan menunjukkan bahwa sosialisme orthodox yang dipegang Mao tidak lagi bisa dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan Uni Soviet.

  • Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan ide Mao dan tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan anti kapitalisme. Selaku presiden RRC Liu Shao Qi memiliki gagasan untuk melunakkan penindasan pemerintahan terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat. Melalui program Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi ( sanzi yibao ), Liu mengijinkan rakyat untuk mengerjakan tanah miliknya sendiri serta memiliki usaha kecil untuk dijual ke pasar bebas. Hal ini membuat Mao khawatir akan membangkitkan kapitalisme di China.

  • Di bidang seni dan sastra juga terdapat kelonggaran dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat itu tema-tema sejarah banyak digunakan untuk mengemukakan sindiran-sindiran terhadap pemerintah dan Mao. Contohnya adalah drama tentang Mandarin Ming, yaitu tentang seorang pejabat pemerintahan yang hidup pada Dinasti Ming (1368-1644). Drama tersebut menceritakan mengenai keadilan dan keberanian Hai Rui dengan mempertaruhkan nyawa dan memprotes Kaisar demi memperjuangkan nasib rakyat yang menderita. Akibatnya Hai Rui kemudian dipecat dari jabatannya dan dibuang. Drama Hai Rui ini dianggap merepresentasikan Marsekal Peng Dehuai yang karena menyampaikan kritik terhadap Mao mengenai program Lompatan Besar Ke Depan sehingga dipecat dan dihukum buang oleh Mao.

  • Gerakan Revolusi Kebudayaan itu secara langsung mengenai isi seni, literatur, dan drama dengan menekankan bahwa ekspresi kebudayaan harus menghormati nilai-nilai kebangsaan dan proletar dalam masyarakat sosialis, menentang musush-musuh kelas dan asing, dan menolak nilai-nilai tradisional China. Tujuan revolusi kebudayaan tersebut adalah untuk memelihara ideologi komunisme, budaya, dan adat kebiasaan proletariat. Komunisme merupakan satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh tetapi juga pikiran. Revolusi kebudayaan memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Zedong. Oleh karena itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam PKC. Tradisi dan budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan adat lama lainnya.

  • Langkah organisasional Mao selama masa revolusi ini adalah dengan membentuk rantai komando pribadi yang beroperasi di luar mesin partai, meskipun secara resmi menyatakan berada di bawah politbiro dan komite pusat. PKC tidak dapat dijadikan sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao memobilisasi militer, kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai media khususnya Koran paling berpengaruh “harian rakyat”. Pada bulan Juni membuat serangkaian editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak ketua Mao, menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak rakyat agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas dan belum pernah ada sebelumnya.

    James R Townsend (1997:186) membagi Revolusi Kebudayaan dalam empat tahap.

    • Mobilisasi tahap pertama dalam Revolusi Kebudayaan berlangsung dari tahun 1965 sampai bulan Juni 1966. Dalam periode ini kepemimpinan pusat saling bertikai dalam masalah bagaimana menanggapi tuntutan Mao akibat berkembangnya pengaruh kaum revisionis. Kritik terbuka dilancarkan terhadap sejumlah kecil intelektual dan propagandis partai yang telah menyebarkan tulisan-tulisan anti Maois dalam tahun 1961 – 1962. Selama bulan Juni dan Juli 1966, Revolusi Kebudayaan meluas menjadi suatu gerakan massa terbuka untuk menelanjangi semua „penguasa borjuis‟, khususnya dalam lembaga-lembaga pendidikan dan propaganda.

    • Tahap kedua adalah serangan terbuka yang dilancarkan oleh kelompok Pengawal Merah yang berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan November 1966. Revolusi Kebudayaan dikawal oleh Pengawal Merah yang didirikan oleh mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966. Pengawal Merah menjadi ujung tombak Revolusi Kebudayaan dan didukung oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Dengan dukungan kekuasaan resmi tersebut dan ditutupnya kegiatan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi Pengawal Merah berkembang biak, membawa berjuta-juta pemuda turun ke jalan berdemonstrasi mendukung ketua Mao Tse-tung, mengutuk dan meneror mereka yang digolongkan sebagai lawan-lawannya, dan menghancurkan berbagai lambang kebudayaan „borjuis‟ atau reaksioner. Akan tetapi walaupun aksi-aksi mereka mengarah kepada ketaatan yang hampir fanatik terhadap Mao, mereka tidak dapat menyingkirkan lawan-lawan Mao dari kekuasaan.

  • Puncak Revolusi Kebudayaan terjadi pada tahun 1967. Antara tahun 1966-1967 negara mengalami keadaan kacau balau oleh tindakan Pengawal Merah yang secara bebas menyerang apapun juga. Targetnya adalah pejabat-pejabat rendah dan menengah serta kader-kader partai. Mereka mengecam siapapun yang berada dalam posisi pimpinan. Kecaman- kecaman sering berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan karena hukuman maupun bunh diri. Misalnya dosen atau petingi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi, dokter ahli dimutasi menjadi petugas kebersihan WC, atau birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat. Dalam pelaksanaannya Pengawal Merah membuat kekacauan di masyarakat dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dibubarkan oleh Mao Tse-tung.

    • Tahap ketiga berlangsungnya Revolusi Kebudayaan adalah perebutan kekuasaan yang berlangsung dari bulan Desember 1966 sampai bulan September 1968. Gerakan tersebut meluas sampai ke daerah pedalaman, perusahaan-perusahaan, dan pemerintahan serta partai. Kelompok "pemberontak revolusioner‟ baru umumnya berasal dari masyarakat pekerja, dan dengan demikian merupakan organisasi-organisasi massa yang lebih luas daripada para pengawal Merah yang terdiri dari kaum mahasiswa dan pelajar.
  • Gagasan tentang „perebutan kekuasaan‟ dari bawah merupakan serangan langsung terhadap wewenang dan organisasi partai lokal. Golongan Maois di Peking menganggap pergolakan di daerah-daerah ini sebagai suatu keharusan dan memang dikehendaki, tetapi mereka dengan cepat membatasi gerakan ini. Pada bulan Januari 1967 dikeluarkan instruksi bahwa TPR harus turut campur tangan dengan memberi bantuan sepenuhnya pada pihak „kiri‟ dan menguasai fasilitas-fasilitas komunikasi yang penting, transportasi, dan lain- lainnya. Akibatnya China berada di bawah undang-undang keadaan perang, di mana TPR menjadi penguasa administratif de facto dan sebagai penengah dalam sengketa-sengketa antar daerah dan organisasi PKC lokal tidak berfungsi lagi dan bahkan organ-organ partai sentral mengalami kemerosotan.

  • Pada bulan September 1968, para komandan tentara dan para bekas kader menduduki posisi-posisi penting dalam komite-komite baru, organisasi- organisasi massa dipecah belah dan ditindas, dan para mahasiswa diperintahkan untuk kembali ke bangku sekolah atau bekerja di daerah- daerah pedalaman. Akan tetapi organisasi partai masih terpecah belah dan komite-komite revolusi tingkat propinsi telah terlanjur memperkuat wewenang kekuasaan mereka atas daerah bawahannya.

    • Tahap keempat atau terakhir adalah tahap konsolidasi, kepemimpinan China menyatakan
      kemenangan nominal dari Revolusi Kebudayaan, tetapi mengakui pula bahwa pembangunan kembali partai dan ekonomi serta struktur politik yang stabil masih harus dicapai.
  • Revolusi kebudayaan tidak memberi kemenangan yang mutlak kepada golongan Maois. Kepemimpinan yang muncul pada akhir kampanye masih merupakan suatu koalisi campuran dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Revolusi Kebudayaan mengakibatkan kira-kira separo dari elit politik sebelum tahun 1966 dipecat atau diturunkan jabatannya. Dengan diangkatnya sejumlah besar pimpinan politik baru pada jabatan-jabatan yang lebih tinggi, periode Revolusi Kebudayaan jelas merupakan suatu periode mobilitas besar-besaran. Tokoh-tokoh militer paling banyak mendapat keuntungan berupa kedudukan dalam Komite Sentral dan sebagian besar posisi-posisi penting pada tingkat propinsi.

Referensi

Townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.

Tzen Po Ta, Mao Tze Tung: Peralihan dari Revolusi Demokrasi ke Sosialisme , Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.

Wibowo, I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000 ,

Wibowo, I. Mao dan Reformasi Praksis , Jakarta: Pusat Studi Cina, 2000.

Scharm, Stuart, Mao Tse-tung: Political Leaders of the Twentieth Century , New York: Preager Publishers, 1969.

Sukisman, W.D., Sejarah Cina Kontemporer: Dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis , Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.

Munculnya Menglongshi 朦胧诗 atau puisi samar sebagai genre puisi baru di Cina pada tahun 1970-an dikondisikan oleh situasi yang tidak menentu ketika Revolusi Kebudayaan atau Wenhua Geming 文化革 命 berlangsung di RRC.

Revolusi Kebudayaan yang dimulai pada 1966 dan berakhir pada 1976 merupakan salah satu peristiwa penting di Cina pada masa kepemimpinan Mao Zedong. Dalam hal periodisasi, beberapa pakar menyebutkan bahwa Revolusi Kebudayaan berlangsung sejak Mei 1966 sampai April 1969, tetapi ternyata masih terus dilaksanakan hingga Mao wafat pada 1976 (Fairbank dan Reischauer 1989).

Sementara itu, Wibowo (2004) menyebutkan bahwa Revolusi Kebudayaan termasuk periode setelah rezim Partai Komunis Cina pada 1949 dan mencapai puncaknya pada “Revolusi Kebudayaan Proletar” pada 1966. Terlepas dari pendapat kedua pakar itu, periode Revolusi Kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah 1966–1976.

Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah untuk memperkuat kemurnian partai, mencegah pertumbuhan kapitalisme, dan mencari jalan sosialis khas Cina (lihat Wenhua Da Geming) 1 Skenario pemerintah Cina untuk menanamkan pola pikir dalam masyarakat tersebut dilaksanakan melalui rapat massa, parade, dan propaganda pemikiran Mao Zedong sebagai ideologi. Mao sebagai pendiri Republik Rakyat Cina (1949) merupakan tokoh negara sekaligus tokoh Partai yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat Cina.

Sebagai bagian dari tujuan Revolusi Kebudayan, yakni ”mencari jalan sosialis khas Cina”, pemikiran Mao adalah faktor penting yang terkait dengan tujuan itu. Langkah pertama Mao dalam Revolusi Kebudayaan adalah mengontrol media massa lewat kritik yang ditujukan kepada pejabat kebudayaan dan pendidikan, juga Komite Partai di Beijing. Langkah berikutnya adalah memerintahkan para pelajar untuk bertugas sebagai Pengawal Merah atau 红卫兵 Hong Weibing. Slogan yang dipakai untuk memacu dan memotivasi para pelajar itu adalah “Belajar Revolusi melalui Revolusi”. Artinya, melalui praktik revolusi, para pelajar akan belajar revolusi.

Prinsip itu berhasil menggerakkan para pelajar di Cina menjadi Pengawal Merah yang berperan dalam Revolusi Kebudayaan. Terril, Rose (2006) menyatakan bahwa gagasan Revolusi Kebudayaan dicetuskan oleh Mao khususnya untuk generasi muda yang tidak cukup berpendidikan, memiliki sikap tegas, tetapi harus dilatih agar memiliki pengalaman politis. Gagasan ini disebutkan berasal dari refleksi diri Mao ketika berjuang pada usia 23 tahun, yaitu ketika ia menyadari bahwa para penguasa pada masa itu sudah berumur dan berpengalaman. Ia mengatakan bahwa pada masa itu para penguasa lebih berpengetahuan, tetapi para pemuda, termasuk dirinya, memiliki banyak kebenaran.

Berdasarkan pemikiran itu, Revolusi Kebudayaan dijadikan semacam ujian untuk generasi muda yang selama ini masih terikat pada konsep lama, agar dapat lepas dari tradisi lama. Mao mengangkat para pemuda menjadi “Pengawal Merah” yang bertugas untuk menghancurkan jejak-jejak budaya tradisional, seperti kelenteng, menangkap kaum intelektual yang diduga “borjuis”, dan juga para revisionis. Mao meyakini bahwa para pemuda— sebagaimana dirinya ketika muda— memiliki kekuatan atas kebenaran.

Bersamaan dengan Revolusi Kebudayaan, yang dimulai pada musim gugur 1966, sekitar 11.000 “Pengawal Merah” berdatangan ke Beijing demi menyukseskan gerakan massa itu. Mereka menyebar ke seluruh negeri dan bergabung dengan kelompok lain untuk melaksanakan penghancuran simbol-simbol ataupun ritual tradisional Cina yang dianggap bertentangan dengan pemikiran Mao. Pada praktiknya, mereka menyerang rakyat dan simbol-simbol kultural yang merepresentasikan “empat lama” (四旧 si jiu ), yaitu ideologi lama, pemikiran lama, kebiasaan lama, dan adat-istiadat lama. Gerakan ”penghancuran” itu langsung berdampak pada masyarakat luas, dan kerusuhan sosial pun bermunculan. Berbagai aturan baru juga diterapkan, di antaranya perintah untuk mahasiswa agar tidak melanjutkan studi dan melaksanakan program “turun ke desa”.

Secara umum, kondisi itu mengakibatkan rasa tidak aman pada masyarakat. Pada akhirnya, penutupan sekolah selama masa kampanye itu dihentikan, dan sekolah diizinkan untuk dibuka kembali pada tahun 70-an. Akibatnya, para mahasiswa yang semula sudah terdaftar di universitas tertentu— dan terpaksa berhenti studi sejalan dengan instruksi yang disampaikan pada Revolusi Kebudayaan— harus mendaftar kembali melalui kompetisi yang ketat.

Aturan tersebut yang berubah-ubah dan tidak pasti terus berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa sepanjang periode sepuluh tahun (1966–1976) Revolusi Kebudayaan, Cina mengalami dinamika politis yang cukup rumit. Selain program penghancuran “4 lama”, pemerintah Cina juga melaksanakan propaganda besarbesaran untuk mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir berlandaskan pemikiran Mao. Mao beranggapan bahwa untuk mengubah pola pikir generasi muda dan rakyat Cina, perlu melakukan perubahan pada sistem pendidikan.

Untuk merealisasikan konsep itu, “tim propaganda pemikiran Mao Zedong” dikirim ke universitas sebagai langkah awal Revolusi Kebudayaan. Dalam pelaksanaannya, rakyat harus menjalankan prinsip “perjuangan-kritik-transformasi” untuk mengubah diri dan pemikirannya (Uhalley 1975). Kampanye “dou, pi, gai” 斗-批-改 (perjuangan-kritik-reformasi), seperti yang disebutkan Uhalley sebelumnya, disebarluaskan setelah Kongres Nasional ke-9. Berdasarkan asumsi Mao, kampanye mencakup pendirian komite revolusi, kritik, konsolidasi partai, pelurusan institusi, reformasi aturan dan regulasi yang tidak rasional, serta pendelegasian departemen. Kampanye itu juga mencakup “Revolusi Pendidikan” atau “jiaoyu geming” 教育革命 yang menginstruksikan para intelektual muda untuk pergi ke desa.

Menglongshi atau Puisi Samar

Dalam kondisi penuh tekanan tersebut, gerakan penolakan terhadap kebijakan Mao tidak dilakukan secara terbuka, tetapi melalui gerakan bawah tanah yang meluncurkan kritik melalui tulisan. Salah satu gerakan bawah tanah yang muncul adalah penerbitan majalah sastra berisi berbagai puisi yang mengkritisi penguasa. Puisi “samar” atau menglongshi lahir pada pertengahan abad ke-20 di Cina, sebagai reaksi para penyair terhadap situasi yang tidak menentu pada masa Revolusi Kebudayaan. Sebagian orang menyebut menglongshi dengan “puisi gelap”; “puisi kabut” karena puisi ini sarat dengan simbol untuk menyembunyikan maksud sesungguhnya.

Dalam Fridolin (1998) disebutkan bahwa menglong berarti ‘gelap’, ‘samar-samar’ atau ‘ambigu’, dan sebenarnya kaya akan asosiasi. Oleh sebab itu, Fridolin menyatakan juga bahwa sajak kaum simbolis pada umumnya gelap karena maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Pendapat itu menguatkan kemungkinan muncul ungkapan kesedihan, kekecewaan, kerisauan akibat situasi yang tidak menentu itu melalui aliran menglongshi 朦胧诗. Ditinjau dari struktur yang membangun puisi, dapat dilihat bahwa rangkaian kalimat— termasuk diksi—mengandungi kesamaran atau ketidakjelasan untuk menyamarkan kritik terbuka terhadap pemerintah.

Puisi berjudul “Jauh dan Dekat” itu menggambarkan satu momen yang sangat pendek yang dijelaskan dengan “Kau, sebentar menatapku/sebentar menatap awan/Aku merasa/ ketika kau menatapku, sangat jauh/ ketika menatap awan, sangat dekat”.

Puisi itu tidak berbicara banyak tentang perasaan secara terbuka, seakan-akan hanya menggambarkan satu momen kecil saja. Akan tetapi, dari kesederhanaannya, puisi itu sesungguhnya berbicara tentang suatu hubungan yang digambarkan melalui kau, aku, dan awan.

Paradoks yang dimunculkan dalam puisi adalah dari latar tempat (aku dan awan), dan latar jarak (jauh dan dekat). Puisi tersebut juga bermain dengan logika yang diputarbalikkan, yaitu “menatap aku (yang dekat denganmu) dengan pandangan jauh”, sedangkan “menatap awan (yang jauh darimu) dengan pandangan dekat”. Kontras itu memaknai sesuatu yang samar terjadi antara kau dan aku, suatu batas jarak hubungan keduanya, situasi hubungan yang dingin dan tidak pasti. Karya Gu Cheng itu tidak berbicara tentang revolusi ataupun kritik sosial, tetapi menampilkan kesamaran dalam mengungkapkan emosi.

Oleh sebab itu, konsistensi para penyair menglong dalam menyamarkan satu momen atau situasi dalam berbagai sisi kehidupan mengukuhkan karya menglong sebagai berbeda dari genre puisi terdahulu. Kekhasan itu pun menjadikan menglongshi penyaluran aspirasi, kritik, bahkan mimpi pada masa kritik terbuka merupakan tindakan yang hampir tidak mungkin dilakukan. Meskipun demikian, tidak semua karya menglongshi ditujukan kepada pemerintah karena, dalam pengungkapan emosi tertentu dalam kisah cinta, ciri puisi ini juga sangat kuat dalam kesamarannya. Kesamaran terlihat dari makna yang berlapis-lapis dari kalimat sederhana, seperti yang tersaji dalam puisi Gu Cheng berjudul “Yuan he Jin” 远和近. Meskipun termasuk pusi pendek, mengandungi pemaknaan yang cukup dalam.

Referensi

Pulungsari, Rahadjeng. 2018. Menglongshi 朦胧诗 dan Revolusi Kebudayaan Cina. Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 8 No. 1 (2018): 84–98