Munculnya Menglongshi 朦胧诗 atau puisi samar sebagai genre puisi baru di Cina pada tahun 1970-an dikondisikan oleh situasi yang tidak menentu ketika Revolusi Kebudayaan atau Wenhua Geming 文化革 命 berlangsung di RRC.
Revolusi Kebudayaan yang dimulai pada 1966 dan berakhir pada 1976 merupakan salah satu peristiwa penting di Cina pada masa kepemimpinan Mao Zedong. Dalam hal periodisasi, beberapa pakar menyebutkan bahwa Revolusi Kebudayaan berlangsung sejak Mei 1966 sampai April 1969, tetapi ternyata masih terus dilaksanakan hingga Mao wafat pada 1976 (Fairbank dan Reischauer 1989).
Sementara itu, Wibowo (2004) menyebutkan bahwa Revolusi Kebudayaan termasuk periode setelah rezim Partai Komunis Cina pada 1949 dan mencapai puncaknya pada “Revolusi Kebudayaan Proletar” pada 1966. Terlepas dari pendapat kedua pakar itu, periode Revolusi Kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah 1966–1976.
Tujuan dari Revolusi Kebudayaan adalah untuk memperkuat kemurnian partai, mencegah pertumbuhan kapitalisme, dan mencari jalan sosialis khas Cina (lihat Wenhua Da Geming) 1 Skenario pemerintah Cina untuk menanamkan pola pikir dalam masyarakat tersebut dilaksanakan melalui rapat massa, parade, dan propaganda pemikiran Mao Zedong sebagai ideologi. Mao sebagai pendiri Republik Rakyat Cina (1949) merupakan tokoh negara sekaligus tokoh Partai yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat Cina.
Sebagai bagian dari tujuan Revolusi Kebudayan, yakni ”mencari jalan sosialis khas Cina”, pemikiran Mao adalah faktor penting yang terkait dengan tujuan itu. Langkah pertama Mao dalam Revolusi Kebudayaan adalah mengontrol media massa lewat kritik yang ditujukan kepada pejabat kebudayaan dan pendidikan, juga Komite Partai di Beijing. Langkah berikutnya adalah memerintahkan para pelajar untuk bertugas sebagai Pengawal Merah atau 红卫兵 Hong Weibing. Slogan yang dipakai untuk memacu dan memotivasi para pelajar itu adalah “Belajar Revolusi melalui Revolusi”. Artinya, melalui praktik revolusi, para pelajar akan belajar revolusi.
Prinsip itu berhasil menggerakkan para pelajar di Cina menjadi Pengawal Merah yang berperan dalam Revolusi Kebudayaan. Terril, Rose (2006) menyatakan bahwa gagasan Revolusi Kebudayaan dicetuskan oleh Mao khususnya untuk generasi muda yang tidak cukup berpendidikan, memiliki sikap tegas, tetapi harus dilatih agar memiliki pengalaman politis. Gagasan ini disebutkan berasal dari refleksi diri Mao ketika berjuang pada usia 23 tahun, yaitu ketika ia menyadari bahwa para penguasa pada masa itu sudah berumur dan berpengalaman. Ia mengatakan bahwa pada masa itu para penguasa lebih berpengetahuan, tetapi para pemuda, termasuk dirinya, memiliki banyak kebenaran.
Berdasarkan pemikiran itu, Revolusi Kebudayaan dijadikan semacam ujian untuk generasi muda yang selama ini masih terikat pada konsep lama, agar dapat lepas dari tradisi lama. Mao mengangkat para pemuda menjadi “Pengawal Merah” yang bertugas untuk menghancurkan jejak-jejak budaya tradisional, seperti kelenteng, menangkap kaum intelektual yang diduga “borjuis”, dan juga para revisionis. Mao meyakini bahwa para pemuda— sebagaimana dirinya ketika muda— memiliki kekuatan atas kebenaran.
Bersamaan dengan Revolusi Kebudayaan, yang dimulai pada musim gugur 1966, sekitar 11.000 “Pengawal Merah” berdatangan ke Beijing demi menyukseskan gerakan massa itu. Mereka menyebar ke seluruh negeri dan bergabung dengan kelompok lain untuk melaksanakan penghancuran simbol-simbol ataupun ritual tradisional Cina yang dianggap bertentangan dengan pemikiran Mao. Pada praktiknya, mereka menyerang rakyat dan simbol-simbol kultural yang merepresentasikan “empat lama” (四旧 si jiu ), yaitu ideologi lama, pemikiran lama, kebiasaan lama, dan adat-istiadat lama. Gerakan ”penghancuran” itu langsung berdampak pada masyarakat luas, dan kerusuhan sosial pun bermunculan. Berbagai aturan baru juga diterapkan, di antaranya perintah untuk mahasiswa agar tidak melanjutkan studi dan melaksanakan program “turun ke desa”.
Secara umum, kondisi itu mengakibatkan rasa tidak aman pada masyarakat. Pada akhirnya, penutupan sekolah selama masa kampanye itu dihentikan, dan sekolah diizinkan untuk dibuka kembali pada tahun 70-an. Akibatnya, para mahasiswa yang semula sudah terdaftar di universitas tertentu— dan terpaksa berhenti studi sejalan dengan instruksi yang disampaikan pada Revolusi Kebudayaan— harus mendaftar kembali melalui kompetisi yang ketat.
Aturan tersebut yang berubah-ubah dan tidak pasti terus berlaku sehingga dapat dikatakan bahwa sepanjang periode sepuluh tahun (1966–1976) Revolusi Kebudayaan, Cina mengalami dinamika politis yang cukup rumit. Selain program penghancuran “4 lama”, pemerintah Cina juga melaksanakan propaganda besarbesaran untuk mengubah pola pikir lama menjadi pola pikir berlandaskan pemikiran Mao. Mao beranggapan bahwa untuk mengubah pola pikir generasi muda dan rakyat Cina, perlu melakukan perubahan pada sistem pendidikan.
Untuk merealisasikan konsep itu, “tim propaganda pemikiran Mao Zedong” dikirim ke universitas sebagai langkah awal Revolusi Kebudayaan. Dalam pelaksanaannya, rakyat harus menjalankan prinsip “perjuangan-kritik-transformasi” untuk mengubah diri dan pemikirannya (Uhalley 1975). Kampanye “dou, pi, gai” 斗-批-改 (perjuangan-kritik-reformasi), seperti yang disebutkan Uhalley sebelumnya, disebarluaskan setelah Kongres Nasional ke-9. Berdasarkan asumsi Mao, kampanye mencakup pendirian komite revolusi, kritik, konsolidasi partai, pelurusan institusi, reformasi aturan dan regulasi yang tidak rasional, serta pendelegasian departemen. Kampanye itu juga mencakup “Revolusi Pendidikan” atau “jiaoyu geming” 教育革命 yang menginstruksikan para intelektual muda untuk pergi ke desa.
Menglongshi atau Puisi Samar
Dalam kondisi penuh tekanan tersebut, gerakan penolakan terhadap kebijakan Mao tidak dilakukan secara terbuka, tetapi melalui gerakan bawah tanah yang meluncurkan kritik melalui tulisan. Salah satu gerakan bawah tanah yang muncul adalah penerbitan majalah sastra berisi berbagai puisi yang mengkritisi penguasa. Puisi “samar” atau menglongshi lahir pada pertengahan abad ke-20 di Cina, sebagai reaksi para penyair terhadap situasi yang tidak menentu pada masa Revolusi Kebudayaan. Sebagian orang menyebut menglongshi dengan “puisi gelap”; “puisi kabut” karena puisi ini sarat dengan simbol untuk menyembunyikan maksud sesungguhnya.
Dalam Fridolin (1998) disebutkan bahwa menglong berarti ‘gelap’, ‘samar-samar’ atau ‘ambigu’, dan sebenarnya kaya akan asosiasi. Oleh sebab itu, Fridolin menyatakan juga bahwa sajak kaum simbolis pada umumnya gelap karena maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Pendapat itu menguatkan kemungkinan muncul ungkapan kesedihan, kekecewaan, kerisauan akibat situasi yang tidak menentu itu melalui aliran menglongshi 朦胧诗. Ditinjau dari struktur yang membangun puisi, dapat dilihat bahwa rangkaian kalimat— termasuk diksi—mengandungi kesamaran atau ketidakjelasan untuk menyamarkan kritik terbuka terhadap pemerintah.
Puisi berjudul “Jauh dan Dekat” itu menggambarkan satu momen yang sangat pendek yang dijelaskan dengan “Kau, sebentar menatapku/sebentar menatap awan/Aku merasa/ ketika kau menatapku, sangat jauh/ ketika menatap awan, sangat dekat”.
Puisi itu tidak berbicara banyak tentang perasaan secara terbuka, seakan-akan hanya menggambarkan satu momen kecil saja. Akan tetapi, dari kesederhanaannya, puisi itu sesungguhnya berbicara tentang suatu hubungan yang digambarkan melalui kau, aku, dan awan.
Paradoks yang dimunculkan dalam puisi adalah dari latar tempat (aku dan awan), dan latar jarak (jauh dan dekat). Puisi tersebut juga bermain dengan logika yang diputarbalikkan, yaitu “menatap aku (yang dekat denganmu) dengan pandangan jauh”, sedangkan “menatap awan (yang jauh darimu) dengan pandangan dekat”. Kontras itu memaknai sesuatu yang samar terjadi antara kau dan aku, suatu batas jarak hubungan keduanya, situasi hubungan yang dingin dan tidak pasti. Karya Gu Cheng itu tidak berbicara tentang revolusi ataupun kritik sosial, tetapi menampilkan kesamaran dalam mengungkapkan emosi.
Oleh sebab itu, konsistensi para penyair menglong dalam menyamarkan satu momen atau situasi dalam berbagai sisi kehidupan mengukuhkan karya menglong sebagai berbeda dari genre puisi terdahulu. Kekhasan itu pun menjadikan menglongshi penyaluran aspirasi, kritik, bahkan mimpi pada masa kritik terbuka merupakan tindakan yang hampir tidak mungkin dilakukan. Meskipun demikian, tidak semua karya menglongshi ditujukan kepada pemerintah karena, dalam pengungkapan emosi tertentu dalam kisah cinta, ciri puisi ini juga sangat kuat dalam kesamarannya. Kesamaran terlihat dari makna yang berlapis-lapis dari kalimat sederhana, seperti yang tersaji dalam puisi Gu Cheng berjudul “Yuan he Jin” 远和近. Meskipun termasuk pusi pendek, mengandungi pemaknaan yang cukup dalam.
Referensi
Pulungsari, Rahadjeng. 2018. Menglongshi 朦胧诗 dan Revolusi Kebudayaan Cina. Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 8 No. 1 (2018): 84–98