Apa yang Dimaksud Perubahan Sosial Revolusioner dan Perubahan ke Masyarakat Sosialis-Komunis?


Salah satu pemikiran Karl Marx adalah perubahan sosioal revolusioner dan perubahan ke masyarakat sosialis-komunis.

Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial revolusioner dan perubahan ke masyarakat sosialis-komunis?

Produksi bisa secara sederhana kita definisikan sebagai usaha menghasilkan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan aktual, nyata. Tenaga produksi (productive force) adalah kerja manusia dan benda-benda (teknologi) yang digunakan dalam proses produksi itu. Sementara, hubungan produksi adalah hubungan di antara tenagatenaga produksi di masyarakat.

Tenaga produktif selalu berkembang. Kekuatan produksi baru pun muncul dalam fase sejarah tertentu. Misalnya, teknologi sebagai alat dan tenaga produksi ditemukan dalam perjalanan sejarah manusia. Buruh (human labour) baru muncul dalam hubungan produksi kapitalis. Modal juga demikian, baru muncul dan berkembang dalam corak produksi kapitalis.

Tenaga produktif cenderung progresif-berkembang. Sementara, hubungan produksi cenderung mengonservatifkan diri—karena kelas dominan sebagai penguasa alat produksi ingin melanggengkan penindasannya: kelas kapitalis berkepentingan untuk mengisap tenaga buruh demi kepentingannya. Maka, ia akan mempertahankan kapitalisme . Kelas tuan tanah (bangsawan , pendeta, raja) berkepentingan untuk mengisap tenaga tani hamba dan rakyat jelata.

Maka, ia melanggengkan hubungan produksi feodal. Tenaga produktif terus berkembang, maka mau tidak mau untuk mempercepat perkembangannya, ia harus mengubah dan “merevolusi” hubungan produksi lama. Inilah dasar perubahan radikal: perubahan di tingkat hubungan produksi ini (karena ia adalah struktur basis) akan diikuti oleh tatanan atasnya (superstruktur). Karena ada perkembangan tenaga produksi, fase-fase masyarakat mengenal hubungan produksi yang terus berubah: dari komnune primitif, fase kepemilikan budak , fase feodal, fase kapitalis, dan akhirnya, menurut Marx, fase sosialis, dan fase komunis.

Sejak awal perkembangan masyarakat, kontradiksi antara kekuatan produksi dan hubungan produktifnya telah menghasilkan suatu revolusi sosial politik. Di zaman perbudakan telah dikenal berbagai macam pemberontakan dari kelas yang tenaga produktifnya diisap (budak ) melawan sistem perbudakannya. Salah satu contoh yang terpenting adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Pebleian terhadap kaum Partisan, pemberontakan yang terjadi di bawah Republik Romawi untuk menuntut kesejajaran hak suara.

Kita juga melihat perjuangan yang dilakukan oleh kaum Chartist di Inggris pada abad ke-19 hanyalah pengulangan dari perjuangan kaum Pebleian selama bertahun-tahun sebelum Masehi. Kepentingan kelas yang saling berhadap-hadapan itulah —antara tuan dan budak, tuan feodal dan tani hamba, kapitalis dan buruh— yang menyebabkan terjadinya berbagai gerakan revolusioner (dengan berbagai tingkat radikalisasinya), dan selalu mengarah pada perubahan yang secara kualitatif dalam hubungan kepemilikan. Dalam fase feodal, misalnya, ada dua kepentingan yang berhadap-hadapan: kepentingan petani untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan kepentingan para penguasa feodal untuk memperluas tanah dan menambah penghasilannya dari upeti-upeti.

Tak terhindarkan lagi, pemberontakan pun dilakukan oleh massa tertindas untuk menegaskan kekuatan produksinya dan melepaskan diri dari pengisapan yang dilakukan oleh penguasa yang melanggengkan hubungan produksi feodal waktu itu. Misalnya, pemberontakan petani di Jerman (1524—1525). Cerita-cerita rakyat pun sering mengisahkan para pahlawan yang “merampok orang kaya dan membagikan hasil rampokan itu pada kaum miskin”, seperti kisah Robin Hood di Inggris. Dalam sejarah sejati, pemberontakan di Inggris masa itu bisa dikatakan yang paling berhasil. Para penguasa feodal yang dipimpin Raja John Tak Bertanah (John ‘the Landless’) dapat dipaksa oleh pemberontak tani hamba untuk menandatangani Magna Charta tahun 1215. hal inilah yang membuat feodalisme Inggris berbeda dengan feodalisme Eropa pada umumnya, yaitu sedikit birokrasi sentral, tidak ada tentara (prajurit) reguler, tidak ada polisi bersenjata, tradisi petugas administrasi maupun pengadilan lokal yang sukarela, dan sistem pengamanan lingkungan swadaya.

Jurang dua ribu tahun itu ternyata tidak mengubah esensi perjuangan umat manusia hingga zaman sekarang: menuntut kembalinya sistem kekuasaan yang membuat hak-haknya diakui untuk mengembangkan kapasitas produktifnya sebagai manusia. Juga, tidak mengubah pola-pola yang digunakan oleh pihak penguasa: selalu akan kembali pada kekuatan senjata untuk menindas tuntutan itu. Kondisi kata Ken Budha, hal ini semacam “basic instinct” dan sekaligus menunjukkan bahwa “teori Marx memang benar”.

Bukti bahwa kematangan tenaga produktif akan membawa perubahan: fase transisi dari feodalisme menuju kapitalisme ditandai dengan munculnya tenaga produktif baru, yaitu modal. Akarnya di Eropa dilihat pada Gilda-Gilda. Kemajuan alat-alat dan teknologi memunculkan, awalnya, kelas perajin, yang hasilnya digunakan untuk memiliki alat pertanian. Modal dan kaum pedagang pun mulai tumbuh. Didukung oleh basis teknologi yang revolusioner di Eropa, kaum modalis-borjuis mulai lahir—ia terus mengembangkan tenaga produktifnya.

Agar berkembang cepat, ia harus mengubah secara mendasar hubungan produksi feodal (yang di dalamnya terdiri dari tuan tanah-dan-tani hamba). Modal harus merevolusi tatanan lama—hingga tatanan atas (ideologi-politik) feodal yang berupa monarki absolut turut tumbang karena hubungan produksinya sudah menjadi kapitalis (kelas borjuis sebagai penguasa alat-alat produksi adalah kelas penindas, dan buruh pun lahir sebagai kelas baru yang ditindas—oleh modal). Dengan demikian, dapat dilihat: kaum borjuis dalam Revolusi Industri dan revolusi politik (sebagaimana kita lihat pada kejadian Revolusi Prancis dan negara-negara lainnya) berhasil menumbangkan tatanan feodal yang bersandar pada tatanan politik monarki absolut sebagai tatanan atasnya.

Tentu saja: karena hubungan produksinya berubah, dari feodal ke kapitalis, tatanan politik-ideologi pun ikut berubah. Kaum borjuis membawa ide-ide politik demokrasi borjuis ([-]parlementarian) yang bersandar pada ideologi liberalisme dan individualisme . Pada saat itu, kaum monarki adalah kaum konservatif dan kaum borjuis adalah kaum progresif-revolusioner.

Sampai sekarang, dalam kurun waktu kurang lebih 300 tahun, kekuatan produktif modal dan hubungan kapitalis telah berkembang pesat. Akan tetapi, masyarakat dengan fase-fase sebelumnya telah berkembang jutaan tahun. Kapitalisme menunggu kehancurannya dengan kematangan kekuatan produktif barunya, yaitu buruh . Di Era ini, misalnya, kontradiksi antara buruh dan hubungan produksi kapitalis sudah agak matang, sebentar lagi, menunggu cara kerja neo-liberalisme sebagai tahap akhir kapitalisme . Sebab, kapitalisme telah menggunakan revisi-revisinya untuk menanggulangi krisisnya. Dimulai dari krisis over-produksi negaranegara Barat, mereka menggunakan jalan imperialisme kolonial, menjajah negara-negara Dunia Ketiga untuk melemparkan modal yang jenuh, mencari pasar baru, dan mencari bahan mentah. Tingkat tertinggi kapitalisme, kata Lenin , adalah imperialisme karena dengan pendekatan ideologis—sebelum neo-liberalisme dengan manajemen keynesian (dan welfare state), lalu Ideologi Developmentalisme dan Perang Dingin secara ideologis dengan USSR—kapitalis dan borjuis tidak ingin bangkrut dan tatanannya runtuh. Maka, perang adalah jalan berikutnya.

Seperti era ini, kapitalis-imperialis utama AS sedang mengalami krisis berat, selain dengan jalan ideologis, mereka sangat butuh perang. Serangan terhadap teroris, Perang Afghanistan atau Perang Irak adalah jalan kapitalis untuk mengatasi krisis. Siapa yang tidak tahu Laut Kaspia sebagai jalur minyak dunia? Siapa yang tidak tahu rencana Bush untuk mengganti Saddam dengan rezim baru yang pro-neo-liberalisme? Perang minyak, bukan lainnya, untuk mengatasi krisis.

Di satu sisi, gerakan buruh —perkembangan tenaga produktif buruh—terus meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Perlawanan orang miskin secara internasional semakin menguat. Hubungan produksi kapitalis—menurut Marx—pasti akan tumbang—diganti sosialisme dan komunisme.

Komunisme adalah tahapan tertinggi masyarakat tempat kelas dan pertentangan kelas menghilang karena sudah tidak ada lagi monopoli atas alat-alat produksi dan sumber-sumber ekonomi. Tahapannya, sebagaimana kelahiran corak masyarakat sebelumnya, adalah melalui revolusi proletariat yang menghancurkan tatanan borjuasi. Proletariat yang berkesadaran kelas dan di bawah ideologi komunis—Partai Komunis sebagai pelopornya—akan mengantarkan sosialisme dengan Kediktatoran Proletariat. Kediktatoran ini akan menghancurkan sisa-sisa borjuasi yang masih melawan terhadap pengilangan monopoli dan kepemilikan alat-alat produksi.

Kediktatoran Proletariat inilah yang ditegaskan Marx dan marxis berikutnya sebagai jalan mengantarkan menuju komunisme . Kediktatoran ini berbeda dengan masyarakat kapitalis yang pada dasarnya adalah kediktatoran kelas juga (diktator kapitalis)—tempat minoritas menguasai alat produksi modal dan menggunakannya untuk menindas mayoritas kelas pekerja. Karl Marx dengan tegas menyatakan bahwa revolusi proletariat haruslah menghasilkan satu kediktatoran kelas proletar. Marx juga jujur bahwa sistem dalam negara proletar kelak masih akan berupa satu kediktatoran karena sebelum negara benar-benar melenyap, kediktatoran itu masih akan tetap ada. Sekali lagi, Marx konsisten karena hal ini berkaitan dengan teorinya tentang negara.

Namun, yang berkuasa dalam diktator proletariat adalah massa rakyat mayoritas yang tadinya tertindas. “Diktator” ini maknanya adalah bertujuan untuk menindas segala kemungkinan bangkitnya kembali kekuatan-kekuatan reaksioner dari kaum kapitalis. Gerakan kontra-revolusi adalah sebuah keniscayaan. Alat-alat petahanan diri pun sangat penting untuk menyelamatkan Negara Proletar ini dari upaya reaksioner.

“Kediktatoran” ini adalah demokratis karena ia merupakan perwujudan dari mayoritas rakyat. Tidak seperti negara sebelumnya, yang merupakan kehendak dari minoritas kapitalis, suatu kekuasaan yang lahir dari mengisap hasil lebih massa rakyat. “Kediktatoran” ini juga dijalankan secara demokratis: para pemegang alat-alat represi dipilih oleh dewan-dewan dan hanya memegang jabatan itu dalam waktu yang sesingkat mungkin. Inilah yang akan mencegah timbulnya kekuasaan berada di tangan segelintir orang.

Kita sudah melihat beberapa contoh buruk atas penerapan “kediktatoran proletariat ” ini dari pengalaman Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur. Kita tak dapat menyebut apa yang ada di Uni Soviet, di bawah Stalin, sebagai kediktatoran proletariat karena sistemnya yang terbangun menumbuhkan satu ruang elite, dan akhirnya mengarah pada kapitalisme negara.