Apa yang dimaksud pendekatan perilaku (Behavioral) Sistem Politik?

Politik

Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik merupakan salah satu pendekatan teori sistem politik yang ada didunia.

David Easton (1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an. Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan konteks spesifik. Sedangkan ilmuwan politik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.

Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity,politik, policy (kebijakan). Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.

Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:

  • Tahap 1 : Di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.

  • Tahap 2 : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.

  • Tahap 3 : Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.

  • Tahap 4 : Ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).

  • Tahap 5 : Kembali ke tahap 1.

Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.

Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:

  1. Sifatnya yang mutlak;

  2. Teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik;

  3. teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);

  4. Teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;

  5. Teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi.

Referensi : Easton “The Political system” (1964), hlm. 52-54

Pendekatan Perilaku merupakan reaksi terhadap teori-teori yang dikembangkan dengan menggunakan pendekatan legal/institusional. Teori- teori politik yang terlalu normatif, formal, preskriptif dan sangat bias Barat, yang menjadi ciri-ciri pendekatan tersebut, menyebabkan keterbatasan deskripsi analisis mengenai institusi-institusi politik non-Barat dalam kajian perbandingan politik.

Kritik dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika mengenai hal ini telah dikemukakan pada tahun 1944. Baru pada dekade 1950-an muncul tuntutan-tuntutan untuk melakukan penelitian-penelitian empirik dengan menggunakan metode-metode ilmiah dan pengujian hipotesis pada data empirik. Sejak itu penelitian-penelitian empirik tentang politik di negara-negara non-Barat yang berada di bawah bidang ilmu perbandingan politik berkembang dengan pesat.

Kemunculan pendekatan perilaku setelah Perang Dunia kedua disebabkan karena beberapa hal. Di antaranya adalah ketidakpuasan para ilmuwan pada masa itu akan sifat deskriptif ilmu politik dan ketidakmampuannya untuk menjelaskan realita empirik saat itu. Mereka khawatir bahwa ilmu politik tidak berkembang bahkan akan tertinggal dari ilmu-ilmu lainnya. Sementara itu ada keraguan di kalangan pemerintah pada kemampuan sarjana ilmu politik untuk menjelaskan fenomena politik.

Pandangan kritis para ilmuwan dari pendekatan ini merefleksikan kekhawatiran mereka. Menurut mereka tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Bagi mereka lebih bermanfaat mempelajari perilaku manusia karena merupakan gejala yang benar dapat diamati. Tujuan penelitian pendekatan perilaku menurut Eulau (1963) adalah untuk menjelaskan mengapa orang melakukan tingkah laku politik tertentu dan bagaimana dampaknya terhadap proses dan sistem politik (Ronald Chilcote 1981).

Sejumlah catatan metodologis dalam mempelajari pendekatan perilaku dapat dikemukakan sebagai berikut. Pendekatan ini tidak memperlakukan lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau aktor independen dalam penjelasan mereka. Tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia. Pendekatan perilaku tidak hanya mengamati perilaku perorangan, tetapi juga unit-unit pengamatan (dan analisis) yang lebih tinggi seperti organisasi misalnya organisasi pemerintahan, kelompok, gerakan atau masyarakat politik (polity). Dengan demikian perhatian diberikan baik pada struktur- struktur dan fungsi-fungsi yang formal maupun informal. Pendekatan ini cenderung bersifat kuantitatif, interdisipliner, membandingkan beberapa negara dalam kajian-kajiannya dan mempelajari faktor pribadi dan faktor budaya, sosiologi, dan psikologi.

Pendekatan ini juga berorientasi kuat untuk mengilmiahkan ilmu politik dan memisahkan diri dari pendekatan tradisional. Prinsip utama yang menjadi kredo perilaku pendekatan ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

  • Pertama, menampilkan keteraturan (regularities).

  • Kedua, membedakan secara jelas antara norma (standar dan ide sebagai pedoman perilaku) dan fakta.

  • Ketiga, analisisnya bebas nilai (value free), tidak boleh dipengaruhi nilai-nilai pribadi peneliti.

  • Keempat, penelitian bersifat sistematis dan cenderung theory building ,

  • Kelima, harus bersifat murni, kajian terapan yaitu mencari penyelesaian masalah dan penyusunan rencana perbaikan.

Perubahan berdampak tidak hanya pada metode keilmuan atau analisis tapi juga substansi kajian ilmu politik. Nampak jelas perubahan-perubahan dari pendekatan legal/institusional ke perilaku, misalnya satuan analisis bergeser dari institusi ke manusia (sebagai pelaku atau aktor), dan dari struktur ke proses dan dinamika. Kini kajian-kajian politik mempelajari juga perilaku presiden dan aktor politik lainnya, seperti : anggota parlemen, para pemilih, anggota partai atau kelompok kepentingan, dan sebagainya. Demikian juga dengan penelitian politik mulai mempelajari masalah kepemimpinan, keterwakilan, sosialisasi, atau rekrutmen politik, budaya politik, konsensus dan konflik, komposisi sosial dan elit politik. Contoh pendekatan perilaku ini misalnya karya Almond dan Verba The Civic Culture (1962) misalnya. Beberapa ilmuwan politik, selain Gabriel Almond, yang dapat dikategorikan dalam kelompok pendekatan ini antara lain David Easton, Karl Deutsch, Robert Dahl, dan David Apter.

Pertumbuhan pendekatan Perilaku mendapat pengaruh cukup besar dari analisis struktural-fungsional yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, seorang ilmuwan sosiologi. Parsons memperkenalkan sebuah kerangka yang luas yang memperlihatkan saling keterkaitan antara berbagai fenomena sosial. Sistem tindakan manusia selain dipengaruhi oleh unsur fisik, kimia dan biologis, juga terkait dengan pola-pola budaya dan simbolis yang dimiliki bersama. Pandangan sistemnya Parsons menjadi dasar teori sistem politik yang didasarkan pada stabilitas dan keseimbangan yang dikembangkan oleh David Easton.

Dalam bukunya A System Analysis of Political Life Easton mengutarakan bahwa dalam sebuah sistem politik (negara) selalu ada aliran (flow) yang berlangsung terus menerus dari input ke output dan pulang balik. Input yang berupa dukungan atau tuntutan akan masuk ke sistem politik, terdiri dari para pembuat keputusan dan aktor politik lainnya, menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan atau membuat keputusan. Input , yang berupa informasi tersebut akan diproses dalam sebuah ’black box’ yang merupakan institusi politik dan hasilnya adalah output dalam bentuk peraturan atau keputusan.

Analisis struktural-fungsional memberi sumbangan besar bagi perkembangan ilmu perbandingan politik. Khususnya sumbangan pendapat yang mengatakan bahwa meskipun berbagai sistem politik berbeda satu dan lainnya dalam cara mengatur institusi, tetapi ada fungsi-fungsi tertentu dalam setiap sistem-sistem politik. Dengan mengamati bermacam-macam struktur yang melaksanakan fungsi yang sama maka para strukturalis fungsionalis dapat mempelajari kegiatan dan kehidupan politik di negara-negara berkembang meskipun latar belakang sejarah, kebudayaan maupun ideologi negara-negara tersebut berbeda-beda. Kajian-kajian perbandingan politik mengalami kemajuan pesat dan menjadi lebih kaya dengan adanya perkembangan ini.

Kritik terhadap pendekatan perilaku datang dari kalangan dalam kelompok pendekatan perilaku sendiri dan dari luar. Dari luar berasal dari kelompok Tradisionalis dan dari kelompok Neo-Marxis. Kritik dari kelompok Tradisionalis antara lain mengatakan:

  • Pertama, pendekatan Perilaku terlalu steril karena menolak nilai-nilai atau norma-norma (value free) dalam penelitian politik.

  • Kedua, pendekatan ini tidak mempunyai relevansi dengan realitas politik, terlalu menekankan pada masalah yang kurang penting seperti soal voting atau pendapat umum, bukannya masalah serius seperti pertentangan atau konflik dalam masyarakat.

Kritik dari dalam pendekatan perilaku sendiri muncul karena banyaknya keresahan-keresahan yang ada di dalam masyarakat pada dekade 1960-an. Permasalahan diskriminasi ras, perlombaan persenjataan, dan keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam harus dihadapi dalam masyarakat. Sejumlah ilmuwan kelompok pendekatan Perilaku menyadari kegagalan untuk meramalkan atau mengatasi keresahan-keresahan tersebut. Mereka mengkritik dan sekaligus melakukan koreksi pendekatan Perilaku. Mereka menunjukkan kelemahan-kelemahan pendekatan Perilaku sekaligus mengingatkan perlunya meningkatkan mutu ilmiah ilmu politik. Mereka ini dikelompokkan sebagai ilmuwan Pasca Perilaku, dan mereka dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Marxis, seperti Herbert Marcuse dan Jean-Paul Sartre. Meskipun mereka tetap non-Marxis, sejumlah mengembangkan ‟orientasi sosialis‟.

David Easton, salah satu pelopor pendekatan perilaku dan pendukung pendekatan Pasca-Perilaku, mengekspresikan kritiknya tentang pendekatan Perilaku. Menurutnya ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi; pendekatan Perilaku bersifat konservatif lebih menekankan kestabilan daripada memperhatikan gejala perubahan; ilmu tidak boleh bebas nilai dalam evaluasinya dan nilai-nilai tidak boleh dihilangkan, khususnya nilai-nilai kemanusiaan; ilmuwan harus mempunyai komitmen untuk aktif merubah masyarakat agar menjadi lebih baik dan harus berorientasi aksi (David Easton 1971