Apa yang dimaksud negara tanpa hukum ?

Negara hukum

Negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Namun apa yang dimaksud dengan negara tanpa hukum?

Menurut Friedrich Julius Stalh, yang dimaksud negara hukum, harus memenuhi (memiliki) 4 unsur (elemen) yaitu:

  1. Terjaminnya hak asasi manusia (HAM),
  2. Pembagian kekuasaan,
  3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan
  4. Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan negara tanpa hukum adalah negara yang tidak memiliki 4 unsur tersebut.

Secara teori, negara tanpa hukum adalah negara kekuasaan, yaitu negara yang gerak dan operasinya hanya akan berujung kekuasaan seseorang. Dalam negara kekuasaan bukan berarti tidak ada hukum, tapi hukum dibuat hanya untuk melegitimasi dan mengayomi kekuasaan. Hukum akan dicampakkan ketika bertentangan dengan hasrat kekuasaan.

Kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan

Dari kutipan diatas, pada dasarnya tidak ada istilah “negara tanpa hukum”. Negara tanpa hukum yang disamakan dengan negara kekuasaan hanyalah pandangan kaum poitivistik, dimana asumsinya adalah kekuasaan absolut akan akan memunculkan penguasa yang absolut. Pendapat ini muncul akibat banyaknya raja-raja eropa yang zalim ketika itu.

Pertanyaannya adalah, apakah semua raja (penguasa absolut) selalu zalim ?

Banyak sejarah yang membuktikan bahwa tidak semua raja, penguasa absolut, akan bertindak zalim. Di bumi Nusantara inipun banyak sekali contoh-contoh raja yang sangat bijaksana, walaupun hukum tertinggi yang berkalu adalah perkataan raja itu sendiri.

Hukum yang adil harus lahir dari kekuasaan yang adil pula.

Dari kutipan diatas, hukum dan kekuasaan berjalan beriringan, tanpa melihat apakah negara tersebut merupakan negara kekuasaan atau negara dengan bentuk lainnya. Selama penguasa berlaku adil, maka “hukum” pun akan ada didalam negara tersebut, tetapi selama penguasa tidak adil, maka “hukum” akan absen di negara tersebut, terlepas bentuk negaranya seperti apa.

Rechstvacuum dalam Perdebatan

  • Manusia dan hukum adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat istilah yang terkenal “Ubi Socitas Ibu Ius” yang artinya di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Maksudnya, bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan hukum sebagai suatu perekat dalam masyarakat.

  • Ketika manusia sudah ada hubungan dengan hukum, maka hal yang harus dilakukan manusia untuk terbebas dari jerat hukum adalah memperbaiki nilai dan moral karena ketika nilai dan moral sudah bagus maka dorongan untuk melakukan kejahatan secara perlahan akan hilang. Dengan tidak adanya hukum di dalam lingkungan masyarakat, ini akan membuat terjadinya kekacauan di dalam masyarakat dikarenakan tidak adanya pedoman dan petunjuk bagaimana berperilaku masyarakat. Tidak adanya petunjuk yang benar atau yang salah, dan masyarakat tidak akan tahu apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Dengan tidak adanya hukum keadilan juga tidak akan terbentuk, karena tidak ada pengadilan. Tanpa hukum pula, pembangunan akan sulit dicapai, karena hukum mempunyai sifat mengikat dan memaksa sehingga bisa memaksa warga Negara melakukan kewajiban-kewajiban baik terhadap masyarakat maupun terhadap Negara.

  • Jika hukum tidak ada, maka kehidupan sosial akan menemui kekacauan dan menimbulkan konflik-konflik yang akan merugikan banyak orang. Hukum juga akan membatasi hak dan perilaku anggota masyarakat sehingga masing-masing tidak bisa berbuat sewenang-wenang. Pada hakikatnya, hukum itu tumbuh dan digunakan akibat dari pada peristiwa yang timbul di dalam lingkungan masyarakatyang pada saat itu masih terdapat keraguan dan kebimbangan dalam pemecahan masalahnya, sehingga hukum itu masuk dan menyatu dengan kehidupan setiap manusia. Setiap peristiwa yang timbul di dalam lingkungan sosial itu sering kali menjadi suatu problem dalam kehidupan mereka, sehingga terjadi suatu kekacauan yang dapat merusak sistem sosial tersebut.

Kekosongan Hukum dalam Perspektif

  • Menurut Hukum Positif kekosongan hukum (rechstvacuum) tersebut lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan Undang- Undang atau Peraturan Perundang-Undangan. Ada kalanya hal tersebut juga terjadi dari sisi pihak yang mempunyai wewenang dalam melakukan penyusunan suatu Peraturan Perundang-Undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat Peraturan Perundang-Undangan itu dinyatakan berlaku maka keadaan dan hal-hal yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan seiring dinamika masyarakat. Masalah yang sama juga dapat kita temukan dalam sistem & badan peradilan yang semakin memperlebar jurang kekosongan hukum itu sendiri.

  • Seringkali ditemukan juga ketidakkonsistensian Lembaga Eksekutif (Pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan Undang-Undang dalam upaya menjamin kepastian hukum masyarakat, hal ini bisa kita temui dalam hal adanya amanah suatu Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan diterbitkannya peraturan pelaksana namun pada kenyataannya aturan pelaksanaan tersebut yang pada dasaranya merupakan suatu kumpulan pedoman untuk menjadi dasar menjalankan lebih lanjut isi suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tidak pernah ada / dibuat.

  • Maka dari itu diperlukan sinergisitas serta kesadaran lebih (awareness) dengan menghilangkan ego sektor terkait dengan tugas dan tanggung jawab selaku penyelenggara negara antara para pihak pembentuk peraturan dan peran serta aktif masyarakat, seperti yang tertuang dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 terkait dengan “Partisipasi Masyarakat” dalam pembentukan Peraturan Perundang- Undangan sesuai dengan semangat perkembangan dunia dewasa ini yang mengedepankan transparansi antara pemerintah dengan rakyatnya yang tetap mengacu pada koridor hukum sesuai ideologi bangsa.

  • Hal lain yang kerap terjadi dalam fenomena berlakunya hukum jika disandingkan dengan perkembangan dinamika masyarakat terkait kekosongan hukum tidak hanya berhubungan langsung dengan Badan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan namun dapat juga berhubungan dengan Badan Peradilan itu sendiri. Yang pada hakikatnya Badan Peradilan merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut mengenai Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan hal ini dan kerap menjadi kebingungan dalam masyarakat yaitu dalam hal terjadi suatu perbuatan yang salah dan berakibat merugikan orang lain sementara perbuatan tersebut belum ada aturan dalam Undang- Undang. Untuk menjawab hal tersebut perlu dibahas lebih lanjut mengenai Yurisprudensi.

  • Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formil selain Undang- Undang, kebiasaan, dan traktat. Yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan oleh peradilan dan dipertahankan secara terus menerus oleh peradilan. Menurut (A. Ridwan Halim, 1985) Yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus- kasus serupa. Lebih jelas Prof. Subekti berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Yurisprudensi adalah Putusan- putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang diciptakan melalui yurisprudensi (Kamil dan Fauzan, 2004).

  • Jadi tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikatakan sebagai yurisprudensi. Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan tersebut memenuhi unsur, yaitu: pertama , putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan Perundang- Undangannya; kedua , putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; ketiga , telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; keempat , putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; kelima , putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

  • Sehingga dalam hal ini lebih dititikberatkan pada integritas serta profesionalitas aparat penegak hukum khususnya dalam Badan Peradilan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

  • Kemudian permasalahan kekosongan hukum lain yang berkaitan erat dengan Badan Peradilan apabila telah terjadi kekosongan hukum dalam masyarakat yakni akan timbul adanya perbuatan/hal baru yang menyimpang namun belum dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, apa bisa dikategorikan perbuatan tersebut sebagai suatu tindakan kriminal. Untuk menjawab hal tersebut perlu dikaitkan dengan sistem peradilan hukum Indonesia, sistem peradilan hukum di Indonesia yang tidak menganut aliran freie rechtslehre (hakim bebas melakukan sesuatu / menciptakan hukum) dan aliran legisme (hakim selaku pelaksana pelaksana Undang- Undang belaka), tetapi menganut aliran rechtsvinding yang merupakan perpaduan antara aliran freie rechtslehre dengan aliran legisme (hakim terikat pada Undang- Undang, tetapi mempunyai kebebasan untuk menciptakan hukum/kebebasan yang terikat/keterikatan yang bebas). Oleh karena itu meskipun terjadi kekosongan hukum hakim harus lah berperan untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) .

  • Penemuan hukum dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk menemukan hukum yang konkret terhadap gejala/peristiwa hukum yang konkret yang nantinya akan dibentuk oleh hakim atau petugas hukum terkait berdasarkan perkembangan yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, ada kalanya hakim dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesi harus menyesuaikan Peraturan Perundang-Undangan dengan hal-hal nyata oleh karena peraturan- peraturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni untuk mencapai kepastian hukum Berdasarkan Pasal 22 A.B.

  • (Algemene Bepalingen) dinyatakan bahwa

    “Hakim yang menolak mengadili dengan alasan Undang- Undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak mengadili”. Selain itu disebutkan pula dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

  • Sehingga jika mengacu pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut secara tidak langsung memberikan ruang seluas-luasnya kepada hakim untuk tetap memeriksa perkara meski belum diatur dalam Undang-Undang dengan ketentuan hakim tersebut harus mampu berperan sebagai penemu hukum yang belum ada agar tetap sejalan dengan prinsip/asas legalitas yang masih dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Karena jika kita mengacu pada amanah Undang-Undang sangat tegas dikatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, independent dan bebas dalam intervensi manapun, merdeka dapat diartikan bahwa hakim diberikan kewenangan yang sangat luas oleh Undang- Undang untuk menjalankan peradilan dan mengadilinya termasuk jika diperlukan melakukan inovasi dengan cara penemuan dan pembentukan hukum baru dengan tetap menegakan serta menerapkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila.

  • Namun perlu diingat walaupun hakim mempunyai peran untuk penemuan dan pembentukan hukum, kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif seperti halnya Badan Pembentuk Peraturan Perundang- Undangan. Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1917 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa “Kekuasaan keputusan kehakiman hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.

Referensi

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (West Publishing Co. 2000).

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum (Balai Pustaka 1989).

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty 1988).

Apeldoorn, L.J.van, Pengantar Ilmu Hukum (Pradnya Paramita 1983).