Apa yang anda ketahui tentang Krisis Kapitalisme Karl Marx?

image
Salah satu pemikiran Karl Marx adalah krisis kapitalisme.

Apa yang dimaksud dengan kapitalisme Karl Marx?

Beranjak dari Alienasi dan Teori Nilai Lebih, Marx juga mengembangkan teori tentang krisis ekonomi, khususnya komponennya yang utama, kecenderungan profi t untuk turun—dan gagasan ini memang berasal dari teori nilai lebih dan teori alienasi . Teori nilai lebih mengatakan bahwa sumber profi t berasal dari jam kerja yang tak terbayar dari kaum buruh . Sedangkan, teori alienasi menjelaskan bahwa di bawah kapitalisme “kerja hidup” (living labour atau kelas buruh) semakin dikuasai oleh kerja mati (dead labour atau modal).

Seperti dikatakan oleh Ken Budha Kusumandaru dalam membahasakan maksud Karl Marx , krisis yang terjadi merupakan bagian dari mekanisme internal kapitalisme yang menggarisbawahi persaingan sebagai penggerak kehidupannya. Persaingan dapat membuat harga turun, satu hal yang menguntungkan bagi konsumen, tapi merugikan bagi pengusaha. Persaingan juga membuat lebih banyak sumber daya terbuang sia-sia. Namun, terutama karena persaingan ini menurunkan harga, keuntungan yang diterima oleh para pengusaha berkurang.

Ada saatnya para pengusaha bersedia menjual lebih murah daripada barangnya tidak laku, tapi dalam jangka panjang semua pengusaha akan lebih rela untuk melihat barangnya tertumpuk di gudang daripada harus menjualnya dengan tingkat keuntungan yang terlampau rendah. Jika barang sudah tertumpuk di gudang, para pengusaha akan enggan menginvestasikan modalnya untuk perluasan usaha. Tingkat investasi di sektor-sektor riil mulai mengalami penurunan dan pada akhirnya para pengusaha berkonsentrasi di sektor-sektor usaha yang non-produktif.

Ini jelas menyalahi hukum dasar kapitalisme , yang bekerja berdasarkan formula M-C-M’, yakni uang (money) dibelanjakan untuk sebuah proses produksi yang menghasilkan komoditi (commodity) dan komoditi ini harus dijual untuk menghasilkan keuntungan (M’ harus jauh lebih besar dari M). Jika barang tertumpuk di gudang, rantai dari C ke M’ jelas terhambat. Jika pengusaha tidak melakukan investasi, rantai dari M ke C yang terhambat. Oleh karena krisis ini selalu diawali dengan tertumpuknya barang di gudang, krisis seperti ini disebut sebagai krisis overproduksi—yang artinya barang yang tidak dibutuhkan tersedia terlampau banyak, sedangkan yang tidak dibutuhkan tidak tersedia.

Kita tidak dapat memperoleh data pasti tentang krisis seperti ini, terutama data berupa angka-angka karena hal ini biasanya tidak dipublikasikan. Namun, kita dapat mengenali gejala-gejala krisis ini dan mengambil kesimpulan yang tepat ketika gejalanya telah tersedia cukup banyak. Pertama adalah turunnya tingkat harga-harga. Jika kita perhatikan di Indonesia saja, tingkat harga secara umum mengalami penurunan (kecuali untuk barang kebutuhan pokok). Kedua adalah semakin gencarnya upaya promosi dilancarkan oleh pengusaha. Ini menunjukkan bahwa tingkat produksi sudah jauh melampaui daya serap pasar sehingga harus ada rekayasa sosial untuk membuat pasar mampu menampung lebih banyak lagi barang. Ketiga adalah data tentang tingkat investasi secara nasional. Ini jelas menunjukkan penurunan yang tajam. Keempat adalah semakin besarnya investasi di sektor-sektor usaha non-produktif, seperti real estate dan pasar modal. Pasar modal jelas tidak menghasilkan komoditas. Sedangkan, real estate, sekalipun masih menghasilkan komoditi, jangka waktu pengembalian modalnya adalah belasan tahun. Sementara, menunggu komoditas real estate menghasilkan M’, kapital yang sudah tertanam menjadi kapital mati.

Kelima adalah kecenderungan jangka panjang untuk menurunnya suku bunga bank. Tentu saja jika pengusaha enggan melakukan investasi, ia akan menyimpan uangnya di bank untuk (setidaknya) mendapatkan bunga. Namun, bank hanya dapat memberi bunga jika ia mendapatkan keuntungan dari pengembalian pinjaman yang diberikannya kepada para pengusaha di sektor-sektor produktif. Jika tingkat investasi turun, tingkat permintaan pinjaman pun turun. Untuk meningkatkan permintaan pinjaman (sekaligus mengatasi keharusan membayar bunga atas simpanan) bank-bank pun menurunkan suku bunga.

Keenam, dan ini baru terjadi jika kedua rantai M ke C dan C ke M’ sudah sama-sama mampet, adalah turunnya tingkat keuntungan dari pasar modal. Hal ini tergambar dalam kecenderungan jangka panjang untuk menurunnya tingkat Indeks Harga Saham Gabungan. Jika kita memerhatikan grafi k tingkat IHSG pasar saham dunia yang dibuat oleh Standard and Poor untuk tiga tahun terakhir, akan kita dapati bahwa kecenderungan ini telah berlaku.

Jika kita ingat lagi bagaimana krisis ekonomi yang kini melanda Indonesia sesungguhnya hanyalah imbas dari krisis yang telah menyapu sebagian besar perekonomian kekuatan-kekuatan kapitalis baru di Asia. Belakangan, krisis ini telah pula menyerang negerinegeri kapitalis maju seperti yang telah kita lihat dalam berbagai skandal yang meremukkan harga saham di AS. Para analis pasar saham boleh bicara segala macam omong kosong tentang “faktor psikologis” yang diakibatkan oleh skandal ini, tapi skandal-skandal ternyata mengandung hakikat yang sama, yakni penggelapan terhadap tingkat keuntungan perusahaan yang telah terjun bebas. Kapitalisme tengah jatuh ke dalam krisis dan ia sedang bergulat untuk menyelamatkan diri. Inilah yang mendasari berbagai ekses politik dalam hubungan global dewasa ini. Analisis ini akan penulis gunakan dalam bab berikutnya untuk melihat fenomena globalisasi dan neo-liberalisme .