Apa yang dimaksud komunikasi ritual?

Komunikasi ritual berkaitan dengan identitas sistem religi dan kepercayaan masyarakat. Didalamnya terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami konteks lokal dan kemudian diwujudkan dengan dialog terhadap kondisi yang ada

Masyarakat cenderung memandang adanya sebuah kekuatan gaib yang menguasai alam semesta dan untuk itu harus dilakukan dialog. Komunikasi ritual berada pada titik ini. Dalam konteks tersebut, maka penciptaan dan pemaknaan simbol-simbol tertentu menjadi sangat penting dan bervariasi. Melalui sebuah proses tertentu masyarakat mampu menciptakan simbol-simbol yang kemudian disepakati bersama sebagai sebuah pranata tersendiri. Didalam simbol tersebut dimasukkanlah unsur-unsur keyakinan yang membuat semakin tingginya nilai sakralitas sebuah simbol.

Memaknai simbol-simbol, terutama berkaitan dengan aspek keagamaan akan sangat bergantung dengan kemampuan memahami dari komunitas tersebut. Mursal Esten (1999;3) berkata bahwa masyarakat ataupun si pemaham yang berada dalam lingkungan budaya tidak persis sama, akan memberi makna berbeda yang mungkin tidak saja berbeda, malahan menyimpang dari kemungkinan arti yang diberikan oleh si pemaham dari lingkungan budaya sebelumnya. Akan terjadi proses koreksi dan pemberian makna terbaru terhadap teks tersebut.

Simbolisasi keagamaan termasuk dalam proses memaknai simbol-simbol keagamaan dan berkaitan juga dengan kemampuan dalam memproduksi simbol. Aktifitas beragama pada dasarnya adalah aktifitas memaknai simbol beragama dan kemudian saling dipertukarkan (diberi makna oleh pihak lain) sehingga ia memiliki nilai-nilai tersendiri. Hasil penelitian Ahmad Solehudin (2007) di sebuah dusun Sambirejo, Desa Gunung Sari, Jawa Tengah, menunjukkan adanya pemaknaan yang berbeda dalam kehidupan beragama masyarakat terhadap simbol-simbol agama. Dusun yang awalnya hanya mengenal satu pemahaman keagamaan, akhirnya terpecah menjadi tiga buah masjid, dimana masingmasing masjid dianggap sebagai representasi dari keterwakilan sebuah aliran. Simbol masjid dimaknai berbeda sesuai aliran masing-masing.

Komunikasi manusia memang menekankan pada aspek transaksi. Dalam komunikasi selalu terjadi pertukaran dan pemaknaan pesan yang cenderung sulit untuk diketahui akhir dari proses tersebut (Mulyana, 2001). Proses transaksi menunjukkan dinamisnya mekanisme komunikasi antar manusia dan sulitnya untuk menebak atau memberikan sebuah prediksi yang tepat. Komunikasi antar manusia menjadi sangat interpretif dan juga subjektif.

Komunikasi ritual sendiri adalah bagian dari pemaknaan simbol. Dasarnya bisa dilihat dari pandangan Majid Tehranian yang menegaskan bahwa manusia tidak ditempatkan secara individual namun kolektif. Hubungan manusia dengan alam disebut sebagai kesatuan dalam realitas yang tidak bisa dipisahkan. Selalu terjadi interaksi dan merupakan sebuah kesatuan.

Komunikasi ritual merupakan sebuah fungsi komunikasi yang digunakan untuk pemenuhan jati diri manusia sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial, dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Individu yang melakukan komunikasi ritual menegaskan
komitmennya kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, ideologi, atau agamanya. Beberapa bentuk komunikasi ritual antara lain, upacara pernikahan, siraman, berdoa (sholat, misa, membaca kitab suci), upacara bendera, momen olah raga, dan sebagainya.

Menurut Mulyana (2005:25) komunikasi ritual erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan (melamar, tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab-qabul, sungkem kepada orang-tua, sawer, dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian. Selanjutnya menurut Mulyana (2005:25). Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangasaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.

Menurut Rothenbuhler (1998:28), ritual selalu diidentikkan dengan habit (kebiasaan) atau rutinitas. Rothenbuhler selanjutnya menguraikan bahwa, ”ritual is the voluntary performance of appropriately patterned behavior to symbolically effect or participate in the serious life”. Sementara itu, Couldry (2005:60) memahami ritual sebagai suatu habitual action (aksi turun-temurun), aksi formal dan juga mengandung nilai-nilai transendental. Mencermati pandangan-pandangan tersebut, dipahami bahwa ritual berkaitan dengan pertunjukan secara sukarela yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun (berdasarkan kebiasaan) menyangkut perilaku yang terpola. Pertunjukan tersebut bertujuan mensimbolisasi suatu pengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Lebih jelasnya, Rohtenbuhler (1998:29-33) menguraikan beberapa karakteristik dari ritual itu sendiri sebagai berikut: Ritual sebagai aksi, Pertunjukan (performance), Kesadaran dan Kerelaan, Irasionalitas, Ritual bukanlah sekadar rekreasi, Kolektif, Ekspresi dari Relasi Sosial, Subjunctive dan Not Indicative, Efektifitas simbolsimbol, Condensed Symbols, Ekspresif atau Perilaku Estetik, Customary Behavior, Regularly Recuring Behavior, Komunikasi tanpa informasi, Keramat.

Ritual merupakan salah satu cara dalam berkomunikasi. Semua bentuk ritual adalah komunikatif. Ritual selalu merupakan perilaku simbolik dalam situasi-situasi sosial. Karena itu ritual selalu merupakan suatu cara untuk menyampaikan sesuatu. Menyadari bahwa ritual sebagai salah satu cara dalam berkomunikasi, maka kemudian muncul istilah komunikasi ritual. Istilah komunikasi ritual pertama kalinya dicetuskan oleh James W. Carey (1992:18). Ia menyebutkan bahwa, ”In a ritual definition, communication is linked to terms such as “sharing,” “participation,” “association,” “fellowship,” and “the
possession of a common faith.” Hal ini berarti, dalam perspektif ritual, komunikasi berkaitan dengan berbagi, partisipasi, perkumpulan/asosiasi, persahabatan, dan kepemilikan akan keyakinan iman yang sama. Selanjutnya ditambahkan Carey, dalam pandangan ritual, komunikasi tidak secara langsung diarahkan untuk menyebarluaskan pesan dalam suatu ruang, namun lebih kepada pemeliharaan suatu komunitas dalam suatu waktu. Komunikasi yang dibangun juga bukanlah sebagai tindakan untuk memberikan atau mengim partasikan informasi melainkan untuk merepresentasi atau menghadirkan kembali kepercayaan-kepercayaan bersama.

Ringkasan

Carey, James W. 1992. Communication as Culture: Essays on Media and Society. Newyork: Routledge.

Komunikasi ritual

Dalam konteks komunikasi, Carey (dalam Eilers, 2012) menyajikan 2 perspektif terhadap komunikasi yaitu transmisi dan ritual. Perspektif ritual melihat komunikasi bukan sebagai upaya penyebarluasan pesan, tetapi lebih pada pemeliharaan masyarakat, representasi dari keyakinan bersama. Sebagaimana dikemukakan Carey (2009, h.15) “In a ritual definition, communication is linked to term such as „sharing‟, „participation,‟ association‟… the possession of a common faith.” Dengan demikian, praktik ritual dalam berbagai komunitas kultural bukanlah bagian dari proses penyebarluasan pesan, tetapi lebih pada upaya membangun kebersamaan, pemeliharaan struktur masyarakat (Wijaya, Laturrakhmi, Wahid, 2016).

Salah satu ciri khas komunikasi ritual adalah penggunaan bahasa simbolik yang unik (khas), terlihat dalam wujud tarian, permainan, kisah dan tutur lisan (Hadirman, 2016). Simbol komunikasi ini tidak dipilih sendiri oleh setiap anggota komunitas kultural, tetapi telah dirumuskan secara turun temurun berdasarkan tradisi yang berlaku.

Berkaitan dengan makna, melalui Teori Interaksionisme Simbolik, Mead (dalam West & Turner, 2008) menggarisbawahi bahwa makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Lebih lanjut, interaksionisme simbolik mengajarkan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian untuk istilah-istilah dan tindakan-tindakan tertentu dan memahami kejadian-kejadian dalam cara-cara tertentu pula (Littlejohn & Foss, 2014).

Referensi

https://jsbn.ub.ac.id/index.php/sbn/article/view/26/10

Komunikasi Ritual

Komunikasi Ritual biasanya dilakukan secara kolektif atau berkelompok. Suatu komunitas atau masyarakat tertentu sering melakukan upacara – upacara adat seperti tradisi dari leluhurnya. Upacara – upacara adat tersebut biasanya dilakukan rutinpada waktu yang telah ditentukan. Dalam upacara – upacara tersebut orang mengucapkan kata –kata atau menampilkan perilaku – perilaku simbolik untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.

Fungsi ritual tampak dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan suatu tradisi seperti perkawinan, ulang tahun, kelahiran, sunatan dan lain sebagainya. Kegiatan ritual tersebut memungkinkan para pelaku atau peserta komunikasi ini berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagau kepada masyarakat (Mulyana, 2010).

Komunikasi ritual terkadang dihubungkan dengan hal yang bersifat mistik dan tidak masuk akal. Namun pada hakikatnya komunitas ritual menunjukkan makna yang terkandung didalamnya. Pada ngaibakan benda pusaka misalnya upacara adat tersebut dilakukan untuk membersihkan benda – benda pusaka serta menghargai para peninggalan dari leluhur dan didalam ritual tersebut mengandung makna yang bisa dijelaskan dengan pespektif agama. Dalam menjalankan setiap ritualnya, mesyarakat melaksanakannya dengan saling berkomunikasi dengan baik secara verbal maupun non-verbal

Referensi

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40244/1/SYIFA%20FAUZIAH-FDK.pdf