Bagaimana mitigasi bencana dengan ilmu komunikasi?

komunikasi bencana dan lingkungan

Jika terjadi bencana, perlu adanya pengkajian di bidang komunikasi, guna melakukan sebuah assesment terhadap korban dan kondisi bencana.

Apa yang dimaksud dengan komunikasi bencana dan lingkungan?

Mitigasi bencana dapat dikatakan sebagai bagian dari manajemen bencana, yang mana manajemen bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan aspek penanggulangan bencana (Lestari, dkk, 2013). Mitigasi bencana merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari peristiwa bencana (Noor, D, 2014). Mitigasi tidak hanya dilakukan saat terjadi bencana, tetapi juga dapat dilakukan sebelum dan setelah peristiwa bencana (Noor, D, 2014).

Mitigasi bencana sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 15 huruf c (dalam Noor, 2014) dilakukan guna mengurangi resiko dan dampak yang diakibatkan dari peristiwa bencana terhadap masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana. Dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tertulis bahwa mitigasi dapat dilakukan prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Prabencana berupa kesiagaan dan upaya dalam memberikan pemahaman kepada penduduk dalam mengantisipasi peristiwa bencana. Mitigasi bencana dilakukan lewat komunikasi bencana.

Komunikasi bencana yang dilakukan dengan pemberian informasi prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Kebanyakan fokus dari komunikasi bencana terletak pada seputar penanganan bencana dan bantuan bencana, terkait dengan hal-hal yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Kurangnya perhatian pada lingkungan yang habis terkena bencana dapat menimbulkan bencana baru lagi.

Misalnya saja bencana kebakaran hutan, badan-badan dan organisasi akan terfokus pada penyelamatan korban jiwa tidak dan kurang menaruh perhatian pada lingkungan yang terkena dampak bencana. Dengan lebih berfokus pada penyelesaian suatu bencana pada kawasan bencana, bukan berarti kawasan bencana tersebut akan terhindar dari peristiwa lain.

Lingkungan sendiri menurut Ahimsa-Putra (2004) terdapat dua macam lingkungan berdasarkan sifat atau keadaannya dan asal-usulnya.

Berdasarkan sifatnya (Yenrizal, 2017) :

  1. Lingkungan fisik yang berhubungan dengan manusia, mahluk hidup, dan unsur alam.

  2. Lingkungan sosial termasuk kedalamnya perilaku-perilaku manusia dan berbagai aktivitas sosial manusia seperti interaksi antarindividu dalam setiap kegiatan individu.

  3. Lingkungan budaya, mencakup pandangan-pandangan, pengetahuan, dan norma serta nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan asal usulnya :

  1. Lingkungan alami, termasuk kedalamnya keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia.

  2. Lingkungan buatan, merupakan hasil dari kreasi manusia.

Komunikasi lingkungan dan mitigasi bencana akan berfokus pada lingkungan alami / lingkungan fisik, yang langsung bersentuhan dengan manusia.

Pada komunikasi bencana juga, informasi yang disampaikan lebih sering pada bencana-bencana alam yang diluar kendali manusia. Kurangnya perhatian pada penanganan bencana karena faktor manusia juga menjadi salah satu kurang terjaganya lingkungan kita. Komunikasi bencana seharusnya juga dapat menjadi salah satu sarana untuk mengajak masyarakat agar lebih mencintai dan menjaga lingkungan.

Setelah terjadinya bencana, kondisi kawasan bencana akan terlihat berantakan dan tidak terkendali. Kondisi lingkungan kawasan bencana juga akan rusak, maka dari itu penggunaan komunikasi bencana dalam memeperbaiki lingkungan sangat dibutuhkan. Bagaimanapun setelah terjadi bencana, masyarakat harus kembali menata ulang lingkungan mereka yang rusak karena bencana. Memang setelah terjadi bencana masyarakat akan lebih fokus untuk mengurus hal-hal yang berkaitan langsung dengan pribadi mereka dibandingkan dengan sekitarnya, maka dari itu diperlukannya kelompok-kelompok dalam lingkup masyarakat yang bertugas khusus dalam menjaga lingkungan pada tahap-tahap awal setelah terjadinya bencana

Dalam menyikapi bencana diperlukannya tahapan manajemen, terdapat dua tahap manajemen akni manajemen resiko dan manajemen krisis. Manajemen resiko meliputi kesiapsiagaan mitigasi, dan pencegahan yang nantinya dapat memberika perlindungan, kenyamanan bagi masyarakat yang terkena bencana. Manajemen risiko ini erat hubungannya dengan perencanaan pembangunan oleh pemerintah pusat daerah antara lain Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bupati, Badan Pengelolaan Bencana Daerah (BPBD), Kepala Dinas Sosial, Kominfo, Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglimas), Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia TNI), Camat, Kepala Desa, komunitas-komunitas peduli bencana, dan masyarakat hal tersebut dituliskan Puji Lestari dan teman-teman dalam jurnalnya dengan mengangkat dari kasus erupsi Gunung Sinabung yang terjadi (Lestari, dkk, 2016).

"Komunikasi lingkungan di daerah bencana tidak lepas dari tingkat pengetahuan dan sikap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bencana lingkungan, baik bencana lingkungan fisik maupun lingkungan masyarakat dan pemerintah. Pengetahuan adalah dasar pembentukan keyakinan. Keyakinan tersebut pada tahap berikutnya menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap dan perilaku, termasuk sikap dan perilaku tangguh bencana." (dalam Lestari, dkk, 2016)

Dalam pelaksanaan Komunikasi bencana dengan fokus pada komukasi lingkungan di dalamnya dapat dilakukan dengan melihat detail dari situasi dan kondisi daerah terjadinya bencana. Pada saat terjadinya peristiwa bencana tentu infrastruktur akan mengalami gangguan sehingga akan sulitnya berkomunikasi dengan pihak luar, maka dari itu perlu dibuatnya komunitas khusus dalam penanganan lingkungan. Komunitas ini dirasa lebih baik jika dibuat ditingkat masing-masing rukun warga atau juga rukun tetangga.

Hal tersebut dilihat dari segi kedekatan dengan lokasi bencana dan juga karena mereka pastinya merupakan bagian dari masyarakat yang tercakup dalam daerah bencana. Tingkat RW/RT dipilih selain karena kedekatan dari aspek geografis juga dari aspek psikologis, dan lingkungan yang akan ditanganipun dalam lingkup yang tidak terlalu luas.

Gerakan komunitas tersebut akan dimulai dengan komunikasi lingkungan dalam komunikasi kebencanaan yang mana sudah dilakukan prabencana, saat-bencana, an juga pasca-bencana. Komunikasi tersebut dilakukan untuk memberikan informasi terkait dengan penjagaan lingkungan yang rusak karena peristiwa bencana. Tingkat yang lebih didekat dipilih karena mereka lebih memahami kondisi lingkungan mereka sendiri dan lebih mengenal masyarakat di daerah tersebut. Lewat komunikasi juga masyarakat diharapkan mau membangun kesepahaman antara satu dengan yang lainnya.

Referensi

Lestari, P., Kusumayudha, S. B., Paripurno, E. T., & Ramadhaniyanto, B. (2016). Komunikasi Lingkungan untuk Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Sinabung. Jurnal ASPIKOM-Jurnal Ilmu Komunikasi , 3 (1), 56-64.