Apa yang dimaksud Kodikologi?

Apa yang dimaksud Kodikologi?

Apa yang dimaksud Kodikologi?

Kata ini berasal dari kata Latin Codex (bentuk tunggal : bentuk jamak ialah codices) yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi naskah, bukan menjadi kodeks.

Dahulu, kata caudex atau codex dalam bahasa Latin menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan pemanfaatan kayu sebagai alat tulis; pada dasarnya, kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata codex kemudian di dalam berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.

Sedangkan Baried menguraikan sebagai berikut:

Kodikologi ialah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan. Kodikologi mempelajari seluk-beluk semua aspek naskah, antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraaan penulispenulis naskah (Baried, 1983)

Hermans dan Huisman menjelaskan bahwa istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani. Alphonse Dain, dalam kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Superieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Istilah ini baru terkenal pada tahun 1949, ketika karyanya, Les Manuscrits, diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun tersebut (Hermans dan Huisman dalam Rujiati, 1994). Dain sendiri menjelaskan bahwa kodikologi ialah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Ditambahkannya pula bahwa walaupun kata ini baru, ilmu kodikologi sendiri bukanlah ilmu yang baru.

Di dalam kodikologi atau ilmu pernaskahan juga di dalam ilmu filologi kita harus membedakan antara kata naskah dan teks. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan teks ialah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Dengan perkataan lain, teks merupakan isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah adalah wujud fisiknya.

Suatu naskah dapat saja terdiri atas beberapa teks, umpamanya Syair Kaliwungu, MI 198F di Perpustakaan Nasional , merupakan salah satu contoh. Naskah itu terdiri atas enam teks, yaitu:

  1. Hikayat Maharaja Ali (hlm. 1-33), huruf Arab Melayu
  2. Hikayat Darma Tasiah (hlm. 33-42), huruf Arab Melayu
  3. Hikayat Abu Samah (hlm. 43-67), huruf Latin
  4. Syair Kukuma (hlm. 68-71), huruf Latin
  5. Hikayat Jentayu (hlm. 71-85), huruf Latin, dan
  6. Syair Perang Kaliwungu (hlm. 86-174), huruf Latin.

Sebaliknya, suatu teks dapat tertulis di dalam lebih dari satu naskah. Contohnya adalah suatu teks mengenai Hikayat Indraputra dengan nomor MS 168212 yang disimpan di School of Oriental and African Studies, University of London (Ricklefs dan Voorhoeve, 1977 ). Hikayat itu ditulis di dalam tiga naskah. Sebenarnya, MS 168212 itu terdiri atas empat naskah dan berisikan dua teks, yaitu Hikayat Isma Yatim (naskah I, II; folio 1-4) dan Hikayat Indraputra (naskah H: folio 45-73; III, dan IV). Kalau kita melihat berbagai katalogus, suatu naskah dapat saja terdiri atas satu helai, umpamanya, naskah yang berupa surat (Rujiati, 1994)