Apa yang dimaksud Kejahatan Terhadap Kesusilaan?

BAB XIV KEJAHATAN TERHADAP KESUSILAAN**


Pasal 281

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

  2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Pasal 282

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dan negeri, atau memiliki persediaan ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Pasal 283

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.

(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.

Pasal 283 bis

Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 282 dan 283 dalam menjalankan pencariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi pasti karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat di cabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut.

Pasal 284

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

  1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
    b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

  2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
    b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 285

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 289

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 290

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

  1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

  2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

  3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Pasal 291

(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;

(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285. 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 292

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pasal 293

(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Pasal 294

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama:

  1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,

  2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Pasal 295

(1) Diancam:

  1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

  2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

Pasal 296

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satin tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Pasal 297

Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 298

(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 - 290 dan 292 - 297, pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat dinyatakan.

(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 - 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.

Pasal 299

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.

(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.

(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.

Pasal 300

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. barang siapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk;

  2. barang siapa dengan sengaja membikin mabuk seorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun;

  3. barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang untuk minum minuman yang memabukkan.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(4) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

Pasal 301

Barang siapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya yang sah dan yang umurnya kurang dan dua belas tahun, padahal diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 302

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan

  1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;

  2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.

(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.

Pasal 303

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

  1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;

  2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;

  3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.

(3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Pasal 303 bis

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah:

  1. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303;

  2. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.

Apa yang dimaksud Kejahatan Terhadap Kesusilaan?

Delik Kesusilaan dalam KUHP diatur di dalam Bab XIV Buku II yang merupakan Kejahatan dan dalam Bab VI Buku III termasuk jenis Pelanggaran.

Dalam bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dimuat jenis-jenis delik Kesusilaan (Pasal 281 samapai Pasal 303 KUHP) yang meliputi perbuatan-perbuatan:

1. Pasal 281 KUHP

Ketentuan pidana yang melarang orang dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum oleh pembentuk undang-undang telah diatur didalam Pasal 281 KUHP, yang rumusanya berbunyi sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  1. Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
  2. Barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, unsur subjektif dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur opzettelijk atau dengan sengaja. Unsur dengan sengaja ini ditinjau dari penempatannya di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, meliputi unsur- unsur seperti, merusak kesusilaan dan di depan umum.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komerntarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, bahwa kata kesopanan disini dalam arti kata “kesusilaan” yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Kejahatan terhadap kesopanan ini semuanya dilakukan dengan suatu “perbuatan”.

Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja tersebut, di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku, hakim dan penuntut umu harus data membuktikan:

  1. Bahwa pelaku memang mempunyai kehendak atau maksud untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan;
  2. Bahwa pelaku memang mengetahui yakni bahwa perbuatannya itu ia lakukan di depan umum.

Jika kehendak atau maksud dan pengetahuan pelaku ataupun salah satu dari kehendak atau pengetahuhan pelaku diatas ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk menyatakan pelaku terbukti memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, dan hakim akan memberikan putusan bebas bagi pelaku.

Untuk dapat menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, hakim tidak perlu menggatungkan diri pada adanya pengakuan dari pelaku yang dalam praktik memang sulit dapat diharapkan, melainkan ia dapat menarik kesimpulan dari kenyataan yang terungkap di sidang pengadilan, misalnya dari keterangan yang diberikan oleh pelaku sendiri atau dari keteragan yang diberikan oleh para saksi.

Apa sebabnya hakim atau penuntut umum harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak atau maksud para pelaku untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan dan apa sebabnya hakim atau penuntut umum harus dapat membuktikan tentang adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang ia lakukan di depan umum, kiranya sudah cukup jelas, yakni karena baik menurut memori jawaban atau menrut Memorie van Antwoord dari Menteri Kehakiman maupun menurut penjelasan atau menurut Memorie van Toelichting mengenai kata opzet atau dengan sengaja, yakni bahwa opzet itu mempunyai arti sebagai willens en wetens atau sebagai menghendaki dan mengetahui.

Unsur objektif dari tindak pidana dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum seperti yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur barangsiapa. Yang dimaksud dengan barangsiapa ialah orang atau orang- orang, yang apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP mereka itu dapat disebut sebagai pelaku atau sebagai pelaku-pelaku dari tindak pidana tersebut.

2. Pasal 282 KUHP

Tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, secara tulisan, gambar atau benda yang menyinggung kesusilaan oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 282 ayat 1 sampai dengan ayat 3 KUHP yang berbunyi:

  1. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang- terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

  2. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umumtulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barangsiapa secara terang- terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  3. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Menurut pasal 282 KUHP, pelaku harus mengetahui isi dari tulisan, gambar atau benda yang ia perunjukkan secara terbuka atau yang ia tempelkan dan lain-lainnya. Tidaklah perlu bahwa pelaku telah menganggapnya sebagai bersifat menyinggung kesusilaan atau bahwa ia sendiri telah bermaksud untuk memandang tulisan, gambar atau benda tersebut sebagai mempunyai sifat yang menyinggung kesusilaan.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 pada dasarnya adalah sama dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 1 KUHP, kecuali unsur subjektifnya, yakni karena bagi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 KUHP, undang-undang hanya mensyaratkan adanya unsur culpa pada diri pelaku. Hal mana terbukti dengan dipakainya kata-kata yang sepantasnya harus ia duga di dalam rumusan tindak pidana tersebut.

3. Pasal 283 KUHP

Tindak pidana menawarkan, menyerahkan, dan lain-lain suatu tulisan, gambar, dan lain-lain yang sifatnya melanggar kesusilaan kepada seorang anak di bawah umur. Suatu ketentuan pidana yang dibentuk khusu untuk melindungi anak-anak di bawah umur terhadap perbuatan-perbuatan menawarkan, menyerahkan dan lain-lain suatu tulisan, suatu gambar dan lain- lain yang sifatnya melanggar kesusilaan oleh pembentuk undang-undang diatur dalam Pasal 283 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus di duga bahwa umumnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.

  2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.

  3. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ribu rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memerlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seseorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.

Tindak pidana yang diatur dalam pasal 283 ayat 1 KUHP ternyata mempunyai dua unsur subjektif, masing-masing unsur yang diketahui menunjukkan bahwa undang-undang telah mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dan untuk yang sepantasnya harus dapat ia duga yang menunjukkan bahwa di samping unsur kesengajaan, undang- undang ternyata juga telah mensyaratkan unsur ketidaksengajaan, sehingga orang dapat mengatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 283 ayat 1 KUHP itu mempunyai unsur-unsur subjektif yang proparte dolus dan proparte culpa atau mempunyai unsur-unsur subjektif yang sebagian dolus dan sebagian culpa.

Dilihat dari penempatannya di dalam rumusan tindak pidana unsur- unsur subjektif yang ia ketahui dan yang sepantasnya harus ia duga itu ternyata hanya meliputi unsur-unsur seorang anak yang belum dewasa dan bahwa anak itu belum mencapai usia tujuh belas tahun.

4. Pasal 284 KUHP

Tindak pidana perzinaan atau overspel oleh pembentuk undang- undang telah diatur dalam pasal 284 KUHP yang berbunyi:

  1. Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan:
    1 a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,
    1 b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

    2 a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
    2 b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

  2. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

  3. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

  4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

  5. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Tindak pidana perzinaan atau overspel yang dimaksudkan dalam Pasal 284 KUHP merupakan suatu opzettleijk delict atau suatu tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. Artinya unsur kesengajaan tersebut harus terbukti ada pada diri pelaku, agar ia dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur kesengajaan dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinaan dari tindak pidana perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP.

Tentang perbuatan yang apabila dilakukan orang, dapat dipandang sebagai suatu perzinaan, ternyata undang-undang tidak memberikan penjelasannya, seolah-olah yang dimaksudkan dengan perzinaan sudah jelas bagi setiap orang.

Kata “zina’ di dalam Pasal 284 KUHP mempunyai pengertian lain dari kata zina di dalam hukum Islam, sehingga dapat dimengerti Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI telah berusaha untuk menemukan satu kata yang lebih tepat bagi kata overspel di dalam Pasal 284 ayat 1 KUHP, yang biasanya telah diterjemahkan orang dengan kata zina.

Perlu diketahui bahwa perbuatan mengadakan hubungan kelamin yang dilakukan oleh dua orang dari jenis kelamin yang berbeda bukan merupakan perzinaan misalnya yang dilakukan oleh seorang suami dengan istrinya atau yang dilakukan oleh seorang istri dengan suaminya.
Alasan yang membuat pembentuk undang-undang telah menjadikan tindak pidana perzinaan sebagai tindak pidana yang membuat para pelakunya hanya dapat dituntut jika ada pengaduan karena apabila pihak yang merasa dirugikan oleh para pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan untuk mengajukan gugatan perceraian, maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk memberikan wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk meminta kepada alat-alat negara agar terhadap pihak-pihak yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan menurut hukum pidana. Sehingga pengaduan yang misalnya telah diajukan oleh seorang suami terhadap seorang pria yang telah berzina dengan istrinya maka bukan hanya pengaduan yang ditujukkan kepada pria itu saja melainkan ditujukkan kepada istrinya sendiri juga.

5. Pasal 285 KUHP

Tindak pidana pemerkosaan atau verkrachting oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Menurut wijono Prodjodikoro, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkrachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh, sedangkan dalam Bahasa Indonesia kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh. Wirjono Prodjodikoro juga memberikan perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan untuk cabul dapat juga dilakukan oeh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki.

Di dalam rumusan Pasal 285 KUHP tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di dalam rumusan terebut, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja.

Untuk dapat menyatakan seorang terdakwa yang didakwa melanggar pasal 285 KUHP terbukti memiliki kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan, maka hakim maupun penuntut umum harus dapat membuktikanya di sidang pengadilan dengan melihat beberapa sisi:41

  1. Adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan;

  2. Adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan;

  3. Adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa;

  4. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang wanita yang bukan istrinya;

  5. Adanya pengetahuan pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya di luar perkawinan.

Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan ke dalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita tersebut adalah wanita itu sendiri. Dalam hal ini kiranya sudah jelas, bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari dipakainya kekerasan dan ancaman kekerasan oleh pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku.

6. Pasal 286 KUHP

Tindak pidana yang mengadakan hubungan kelamin dengan wanita yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam ketentuan Pasal 286 KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 286 KUHP ini salah satunya menerangkan bahwa mengadakan hubungan dengan seorang wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Wanita yang dalam keadaan pingsan ialah keadaan dimana wanita tersebut tidak sadar sepenuhnya, dan yang dimaksudkan dengan tidak berdaya adalah berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik yang membuat wanita tersebut tidak berdaya untuk melakukan perlawanan.

Agar seorang terdakwa dapat dinyatakan terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak pidana tersebut, maka penegak hukum harus dapat membuktikan:

  • Tentang adanya kehendak, maksud, atau niat terdakwa untuk mengadakan suatu hubungan kelamin di luar pernikahan dengan seorang wanita.
  • Tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa wanita tersebut sedang berada dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya.

7. Pasal 287 KUHP

Tindak pidana mengadakan hubungan kelamin diluar pernikahan dengan seorang wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 287 KUHP yang tersirat:

  1. Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

  2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umumnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut Pasal 291 dan Pasal 294.

Yang dimaksudkan dengan pernikahan di dalam rumusan tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 287 ayat 1 KUHP ialah perikahan yang sah menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tersirat:

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Presiden RI telah menentukan:

  1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

  2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

  3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlau bagi tata cara pencatat perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana dalam sPasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Di dalam pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat 2 KUHP, undang- undang telah menentukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasala 287 ayat 1 KUHP itu tidak akan dituntut kecuali jika ada pengaduan. Pengaduan yang dimaksudkan di dalamnya harus diajukan oleh korbanya sendiri, yakni wanita yang telah mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan. Pengaduan seperti yang dimaksudkan di atas tidak perlu ada, jika korban ternyata merupakan seorang wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun.

8. Pasal 288 KUHP

Tindak pidana mengadakan hubungan kelamin dalam pernikahan dengan seorang wanita yang belum dapat dinikahi oleh pembentuk undang- undang telah diatur dalam Pasal 288 KUHP yang ditulis:

  1. Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

  2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.

  3. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pernikahan yang dimaksud disini adalah pernikahan yang sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang wanita mana yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat dinikahi, undang-undang sendiri ternyata tidak memberikan penjelasannya. Jika berusaha mendapatkan jawabannya tentang wanita yang dapat dipandang sebagai wanita yang belum dapat dinikahi dengan menggunakan metode penafsiran secara teologis kiranya sudah jelas bahwa wanita tersebut harus merupakan wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun, karena undang-undang pidana kita pada dasarnya hanya bermaksud untuk memberikan perlindungan bagi wanita yang belum mencapai usia lima belas tahun.

Mengingat pertumbuhan fisik dan psikis antara wanita-wanita yang berusia dua hingga enam belas tahun maka disini yang menjadi patokan adalah kebijakan hakim yang harus melihat sendiri keadaan yang senyata- nyatanya dari wanita yang telah menjadi korban dari tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 288 KUHP.

9. Pasal 289 KUHP

Tindak pidana dengan kekarasan atau dengan ancaman akan kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 289 KUHP yang rumusanya ditulis:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Dalam Pasal ini tidak mencantumkan unsur kesengajaan, karena dengan dicantumkannya unsur memaksa dalam melakukan tindak pidana tersebut kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana yang dimaksudkan adalah harus dilakukan dengan sengaja, karena perbuatan memaksa orang lain tentu tidak pada dilakukan dengan tidak sengaja.

Dalam hal pengertian pencabulan, pendapat para ahlu dalam mendefinisikan tentang pencabulan berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bahwa “Pencabulan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laku-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar”. Adapun pendapat lain menurut R.Sughandhi yang menyatakan bahwa

Pencabulan adalah seorang pria yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.”

Pemaksaan itu harus ditujukkan secara langsung pada orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar kesusilaan atau pada orang yang dipaksa untuk membiarkan dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan oleh pelaku.

Disini tindak pidananya adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul. Perbuatan cabul yang dimaksud disini ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanta dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Sebagai tindak pidana menurut pasal ini tidaklah hanya memaksa seseorang melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa seseorang dengan kekerasan membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dikarenakan untuk menunjukan sifat berat dari tindak pidana sebagai perbuatan yang sangat tercela.

10. Pasal 290 KUHP

Tindak pidana melakukan tindakan melanggar kesusilaan dengan orang yang sedang berada dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya ataupun dengan orang yang belum mencapai usia lima belas tahun oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 290 KUHP yang ditulis:

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

  1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

  2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

  3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan atau belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Jika yang dilakukan oleh pelaku ialah perbuatan melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan dengan seorang wanita yang diketahui bahwa wanita tersebut sedang berada dalam keadaan pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya secara fisik, maka bagi pelaku diberlakukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 286 KUHP dan bukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290, walaupun perbuatan melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan seperti itu juga termasuk dalam pengertian tindakan melanggar kesusilaan.

Jika yang dilakukan oleh pelaku ialah perbuatan mengadakan hubungan seksual dengan seorang anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama, maka tanpa memperhatikan apakah anak tersebut sedang berad dalam keadaan pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya atau pun tidak sama sekali atau sadar, bagi pelaku harus diberlakukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 192 KUHP dan bukan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 290 angka 1 KUHP.

Kata “pingsan” di sinonimkan dengan kata-kata “tidak sadar”, “tidak ingat, sedangkan kata “tidak berdaya” dapat disinonimkan dengan kata “tidak bertenaga” atau sangat lemah. Kata “diketahuinya” adalah rumusan dolus atau sengaja. Dengan demikian si pelaku mengetahui bahwa yang dicabulinya tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak sadar.

Jika dipandang dari segi kemanusiaan diamana orang yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya memerlukan pertolongan kepada orang lain, tetapi keadaan tersebut malah dimanfaatkan oleh pelaku pencabulan. Perilaku demikian sangatlah tercela maka wajar saja bila ancaman pidananya diperberat.

Pasal ini merupakan perlindungan terhadap anak atau remaja. Perlu diperhatikan bahwa pada pasal tersebut tidak ada kata “wanita” melainkan kata “orang”. Dengan demikian, meskipun dilakukan terhadap anak atau remaja pria, misalnya homoseks atau yang disebut sehari-hari oleh “tante girang” maka pasal ini dapat diterapkan. Tetapi jika sesama jenus maka hal itu diatur dalam Pasal 292 KUHP.

11. Pasal 292 KUHP

Tindak pidana melakukan perbuatan melanggar kesusilaan dengan seorang anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagai homoseksualitas oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 292 KUHP yang ditulis:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal ini melindungi orang yang belum dewasa dari orang yang dikenal sebagai “homoseks” atau “Lesbian”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di muat arti dari homoseksual dan lesbian adalah dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama (homoseksual), sedang lesbian adalah wanita yang cinta birahi kepada sesama jenisnya. Bagi orang dibawah umur, perlu dilindungi dari orang dewasa yang homoseks atau lesbian karena sangat berbahaya bagi perkembangannya.

Mengenai unsur melakukan tindakan melanggar kesusilaaan di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP, dengan sendirinya perbuatan melakukan hubungan kelamin sebagaimana yang dimaksudkan diatas yaitu perbuatan melanggar kesusilaan harus dilakukan oleh orang-orang dari jenis kelamin yang sama, sehingga tidak ada alasan untuk berbicara tentang perbuatan melakukan hubungan kelamin dan mungkin hanya agak tepat jika dalam hal ini orang hanya berbcara tentang dilakukannya hubungan seksual yang tidak wajar.

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan perbuatan melakukan tindakan melanggar kesusilaan di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP bukan hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang lazim dilakukan oleh orang- orang homoseksual yakni melakukan hubungan seksual sesame jenis seperti melalui anus atau dubur, melainkan juga perbuatan-perbuatan seperti melakukan hubungan seksual melalui mulut, mempermainkan alat kelamin dan sebagainya.

12. Pasal 293 KUHP

Tindak pidana dengan pemberian atau janji akan memberikan uang atau benda atau dengan menyalahgunakan hubungan yang ada dengan sengaja menggerakan seorang anak di bawah umur untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilan atau membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan seperti itu oleh anak di bawah umur tersebut dengan dirinya sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 293 KUHP yang ditulis:

  1. Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, meyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakan seseorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaanya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

  2. Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.

  3. Tenggang waktu tersebut dalam Pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 293 KUHP ini memiliki dua macam unsur subjektif, yaitu bahwa undang- undang telah mensyaratkan tentang keharusan adanya unsur dolus atau unsur kesengajaan pada pelaku dimana pelaku yang sudah memiliki umur lebih dewasa melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan dan selain adanya unsur dolus atau unsur kesengajaan, undang-undang juga mensyaratkan adanya unsur culpa atau unsur ketidaksengajaan pada diri pelaku dimana pelaku yang sudah dewasa membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan pelaku.

Yang diancam dengan hukuman dalam pasal ini adalah:

  1. Membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya orang tersebut;

  2. Cara membujuk itu dengan jelas mempergunakan:
    a. Hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang.
    b. Kekuasaan yang timbul dari pergaulan.
    c. Tipu daya

  3. Orang yang dibujuk itu belum dewasa dan tak bercacat kelakuannya.
    a. Membujuk berarti berusaha mempengaruhi supaya orang mau menuruti kehendaknya yang membujuk.
    b. Perjanjian mengenai hal lain, tidak termasuk disini.
    c. “Belum dewasa” berarti belum berumur dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.
    d. Yang dimaksud “tidak bercacat kelakuannya” hanya mengenai kelakuam dalam segi seksual. Membujuk seorang pelacur yang belum dewasa tidak termasuk disini, karena pelacur sudah cacat kelakuannya dalam bidang seksual.
    e. Kejahatan ini adalah suatu delik aduan. Tempo untuk memasukkan pengaduan ialah sembilan bulan bagi orang yang diam di dalam negeri dan dua belas bulan bagi orang yang diam di luar negeri. Jelasnya pengaduan ini tak boleh lewat dari tempo yang telah ditetapakan di atas ini, bila terlambat berarti kadaluarsa.

13. Pasal 294 KUHP

Tindak pidana melakukan tindak melanggar kesusilaan dengan anaknya sendiri, dengan anak tirinya, dengan anak angkatnya atau dengan seorang anak di bawah umur yang pengawasannya, pendidikanya atau pengurusanya dipercayakan kepada pelaku itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 294 KUHP yang ditulis:

  1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaanya dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

  2. Diancam dengan pidana yang sama:

    1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
    2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga social, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.

Menurut pasal ini perbuatan cabul atau persetubuhan dilakukan dengan mereka yang dikategorikan khusus yaitu yang dipercayakan padanya untuk diasuh, di didik, atau di jaga. Demikian pula jika yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan adalah pegawai negeri dan dilakukan dengan orang yang dalam pekerjaannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga.

Dalam pasal ini pun mengandung unsur paksaan psikis dan tidak dapat dikatakan atas dasar suka sama suka karena dilakukan dengan seseorang yang lebih rendah tingkatannya dari segi sastra social kekeluargaan dan stratasosial hubungan kerja dimana si pria memiliki kekuasaan dan wewenang untuk memaksa si wanita secara psikis agar menuruti kemauan dan kehendaknya.

Unsur objektif yang terpenting dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat 1 KUHP ialah unsur-unsur anak sendiri, anak tiri, anak asuh atau anak angkat yang belum dewasa ataupun anak yang belum dewasa yang pengurusannya, pendidikannya atau penjagaanya telah dipercercayakan kepada pelaku. Menurut penuli pengertian dari anak- anak seperti yang dimaksudkan diatas sudah cukup jelas, sehingga tidak akan dibicarakan lebih lanjut.

Itulah yang merupakan tindak pidana kesusilaan yang diatur di dalam KUHP di dalam Pasal 281 hingga Pasal 303 KUHP, adapun yang mengatur mengenai kesusilaan namun dalam bentuk pelanggaran yang diatur dalam Pasal 504 hingga Pasal 547 KUHP.

Referensi :

  • Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.
  • P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma
  • Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
  • R.Sugandhi, Kitab Undang-Undang HUkum Pidana dan Penjelasannya, Usaha Nasiona, Surabaya.
  • Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
  • Muhammad Abdul Malik, Perilaku ZIna Pandangan Hukum Islam.

Tinjauan Delik-Delik Kesusilaan Di Dalam KUHP


Delik Kesusilaan dalam KUHP diatur di dalam Bab XIV Buku II yang merupakan Kejahatan dan dalam Bab VI Buku III termasuk jenis Pelanggaran. Dalam bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dimuat jenis-jenis delik Kesusilaan (Pasal 281 samapai Pasal 303 KUHP) yang meliputi perbuatan-perbuatan:

  • Pasal 281 KUHP

Ketentuan pidana yang melarang orang dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum oleh pembentuk undang-undang telah diatur didalam Pasal 281 KUHP, yang rumusanya berbunyi sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  • Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
  • Barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP mempunyai unsur- unsur sebagai berikut:
a. Unsur Subjektif : dengan sengaja
b. Unsur Objektif :

  1. Barangsiapa
  2. Merusak kesusilaan
  3. Di depan umum

Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, unsur subjektif dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur opzettelijk atau dengan sengaja. Unsur dengan sengaja ini ditinjau dari penempatannya di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, meliputi unsur- unsur seperti, merusak kesusilaan dan di depan umum.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya “ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komerntarnya Lengkap Pasal Demi Pasal ” (hlm 204), bahwa kata kesopanan disini dalam arti kata “kesusilaan” yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Kejahatan terhadap kesopanan ini semuanya dilakukan dengan suatu “perbuatan”.

Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja tersebut, di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku, hakim dan penuntut umu harus data membuktikan:

  • Bahwa pelaku memang mempunyai kehendak atau maksud untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan;
  • Bahwa pelaku memang mengetahui yakni bahwa perbuatannya itu ia lakukan di depan umum.

Jika kehendak atau maksud dan pengetahuan pelaku ataupun salah satu dari kehendak atau pengetahuhan pelaku diatas ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk menyatakan pelaku terbukti memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, dan hakim akan memberikan putusan bebas bagi pelaku.

Untuk dapat menyatakan pelaku terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP, hakim tidak perlu menggatungkan diri pada adanya pengakuan dari pelaku yang dalam praktik memang sulit dapat diharapkan, melainkan ia dapat menarik kesimpulan dari kenyataan yang terungkap di sidang pengadilan, misalnya dari keterangan yang diberikan oleh pelaku sendiri atau dari keteragan yang diberikan oleh para saksi.

Apa sebabnya hakim atau penuntut uumum harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak atau maksud para pelaku untuk melakukan perbuatan merusak kesusilaan dan apa sebabnya hakim atau penuntut umum harus dapat membuktikan tentang adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang ia lakukan di depan umum, kiranya sudah cukup jelas, yakni karena baik menurut memori jawaban atau menrut Memorie van Antwoord dari Menteri Kehakiman maupun menurut penjelasan atau menurut Memorie van Toelichting mengenai kata opzet atau dengan sengaja, yakni bahwa opzet itu mempunyai arti sebagai willens en wetens atau sebagai menghendaki dan mengetahui.

Unsur objektif dari tindak pidana dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum seperti yang diatur dalam Pasal 281 KUHP ialah unsur barangsiapa. Yang dimaksud dengan barangsiapa ialah orang atau orang- orang, yang apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 281 KUHP mereka itu dapat disebut sebagai pelaku atau sebagai pelaku-pelaku dari tindak pidana tersebut.

2. Pasal 282 KUHP
Tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, secara tulisan, gambar atau benda yang menyinggung kesusilaan oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 282 ayat 1 sampai dengan ayat 3 KUHP yang berbunyi:

  • Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang- terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

  • Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umumtulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barangsiapa secara terang- terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  • kalau yang bersalah melakukan kejahata tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Mengenai Pasal 282 KUHP, R.Soesilo berpendapat (hlm 206), tulisan, gambar atau barang itu harus melanggar perasaan kesopanan, perasaan kesusilaan, misalnya buku yang isinya cabul, gambar atau patung yang bersifat cabul, dan sebagainya. Sifat cabul dan tidaknya itu harus ditentukan berdasar atas pendapat umum, tiap-tiap peristiwa harus ditinjau sendiri- sendiri, amat tergantung pada adat istiadat dalam lingkungan itu.

Menurut pasal 282 KUHP, pelaku harus mengetahui isi dari tulisan, gambar atau benda yang ia perunjukkan secara terbuka atau yang ia tempelkan dan lain-lainnya. Tidaklah perlu bahwa pelaku telah menganggapnya sebagai bersifat menyinggung kesusilaan atau bahwa ia sendiri telah bermaksud untuk memandang tulisan, gambar atau benda tersebut sebagai mempunyai sifat yang menyinggung kesusilaan.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 pada dasarnya adalah sama dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 1 KUHP, kecuali unsur subjektifnya, yakni karena bagi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat 2 KUHP, undang-undang hanya mensyaratkan adanya unsur culpa pada diri pelaku. Hal mana terbukti dengan dipakainya kata-kata yang sepantasnya harus ia duga di dalam rumusan tindak pidana tersebut.

Kejahatan terhadap kesusilaan meskipun jumlahnya relatif tidak banyak jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda (kekayaan) namun sejak dahulu sampai sekarang sering menimbulkan kekhawatiran, khususnya para orang tua. Delik kesusilaan menurut D.Simons orang yang telah kawin yang melakukan perzinahan dengan orang yang telah kawin pula, tidak dapat dihukum sebagai turut melakukan dalam perzinahan yang dilakukan oleh orang yang tersebut terakhir. Delik kesusilaan diatur dalam Bab XIV buku II KUHP dengan judul “kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP.

Seseorang tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan kepada orang tersebut tidak dapat dibuktikan. Sebab tidak terpenuhinya salah satu unsur tindak pidana tersebut membawa konsekuensi dakwaan atas tindak pidana tersebut tidak terbukti. Sekalipun demikian, batasan normatif tersebut dalam perkembangannya mengalami pergeseran, dimana sangat dimungkinkan orang tetap dapat dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sekalipun perbuatan tersebut tidak secara tegas diatur di dalam perangkat normatif atau undang-undang.

Sesuai dengan letaknya didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 296 KUHP, kesengajaan pelaku itu harus ditunjukan pada perbuatan-perbuatan memudahkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan oleh orang lain dengan pihak ketiga, dan membuat kesengajaan tersebut sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan. Menurut Hoge Raad harus dipandang sebagai perbuatan memudahkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan yakni perbuatan menyewakan kamar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga. Bertolak dari berbagai tuntutan normatif tersebut di atas, pemahaman terhadap unsur-unsur tindak pidana merupakan kebutuhan yang sangat mendasar berkaitan dengan penerapan hukum pidana materi.

kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kesusilaan dimuat arti sebagai berikut:

  • Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;

  • Adat istiadat yang baik, sopan santun,kesopanan,keadaan;

  • Pengetahuan tentang adat.

Dengan demikian makna “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah disimpulkan bahwa pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah diatur dalam perundang-undangan.

Unsur-Unsur Tindak Pidana Kesusilaan

Kejahatan yang yang dirumuskan dalam Pasal 281, yang di rumuskan selengkapnya adalah:

  • Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak lima ratus rupiah:

    • Barang siapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan;

    • Barang siapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Ada tiga unsur yang membentuk kejahatan kesusilaan pertama menurut Pasal 281, yang merupakan syarat esensial terwujudnya kejahatan, yaitu satu unsur subjektif berupa kesalahan dalam bentuk kesengajaan, satu unsur mengenai tingkah laku atau perbuatan materil dan suatu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya perbuatan materil, dan satu unsur keadaan yang menyertai tempat dilakukannya perbuatan materil, yakni dimuka umum. Kejahatan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

  • Unsur Subjektif (Unsur Kesengajaan (Opzettelijk) )

Unsur ini merupakan kesengajaan yang ditempatkan pada permulaan rumusan, yang mendahului unsur perbuatan melanggar kesusilaan dan tempatnya dimuka umum. Berdasarkan keterangan di dalam Memorie van Toelichting (MvT) Wvs Belanda, yang mengatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dicantumkan unsur kesengajaan (Opzettelijk), harus diartikan bahwa unsur kesengajaan itu haruslah ditujukan pada semua unsur yang ada pada urutan dibelakangnya.6 Artinya unsur kesengajaan itu selalu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya, atau dengan kata lain semua unsur yang disebutkan sesudah sengaja selalu diliput oleh unsur kesengajaan tersebut.

Berdasarkan yang diterangkan di dalam MvT tersebut di atas maka dapat ditarik suatu pengertian dari unsur kesengajaan dalam kejahatan melanggar kesusilaan di muka umum itu yaitu sebagai berikut:

  1. Sebelum dia (si pembuat) mewujudkan perbuatan melanggar kesusilaan, di dalam batinnya telah terbentuk suatu kehendak untuk mewujudkan perbuatan melanggar kesusilaan itu, artinya perbuatan itu memang dikehendakinya

  2. Disadarinya atau diketahuinya tentang nilai perbuatannya itu sebagai menyerang rasa kesusilaan umum, serta disadarinya pula bahwa dia mewujudkan perbuatan itu adalah secara terbuka atau di muka umum.

Sikap batin demikianlah merupakan unsur kesalahan subjektif dari kejahatan melanggar kesusilaan bentuk pertama menurut Pasal 281, yang wajib dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. Di samping itu jaksa penuntut umum harus membuktikan dua unsur lain bersifat objektif, agar dia dapat mengajukan pemidanaan terhadap terdakwa. Di dalam Wvs Belanda mengenai kejahatan melanggar kesusilaan menurut Pasal 281 KUHP Hindia Belanda tidak dicantumkannya unsur kesengajaan ini, jika ada orang melakukan perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum, sudahlah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada orang tersebut tanpa melihat bagaimana sikap batinnya dalam berbuat melanggar kesusilaan itu, kecuali jika ada dasar peniadaan pidana, misalnya orang cacat dalam pertumbuhan atau terganggu jiwanya oleh sebab suatu penyakit sementara itu, disini menurut KUHP kita harus dibuktikan lebih dulu adanya kesengajaan yang demikian.

  • Unsur Objektif ( Perbuatan Melanggar Kesusilaan ( Shcennis der eebarheid ))

Melanggar Kesusilaan artinya melakukan suatu perbuatan yang menyerang rasa kesusilaan dimasyarakat. Perbuatan abstrak itu adalah suatu perbuatan yang dirumuskan sedemikian rupa oleh pembentuk undang-undang, yang isinya atau wujud kongkretnya itu ada sekian banyak jumlahnya, bahkan tidak terbatas, dan wujud perbuatannya dapat diketahui pada saat perbuatan itu telah terjadi secara sempurna, misalnya: bertelanjang, berciuman, memegang alat kelaminnya atau alat kelamin orang lain, memegang buah dada seorang perempuan, memperlihatkan penisnya atau vaginanya dan sebagainya yang dilakukannya di muka umum.

Unsur dimuka umum inilah yang menjadi penyebab semua perbuatan di atas menjadi perbuatan kesusilaan yang artinya melekat sift tercela atau melawan hukum pada perbuatan melanggar kesusilaan. Jika dilakukan di muka umum, sifat tercela perbuatan itu mungkin tetap ada. Akan tetapi, sifat itu terdapat pada unsur yang lain, dan menjadi kejahatan lain pula, dan menurut pasal ini bukan barupa pelanggaran kesusilaan, misalnya pada tindak pidana perkosaan sifat tercela itu berada pada unsur perempuan itu bukan istrinya.

Perbuatan melanggar kesusilaan ini, tidak disebut wujud kongkretnya, karena memang demikian sifat dari rumusan perbuatan yang bersifat abstrak, apakah disebut wujud perbuatan melanggar kesusilaan ataukah tidak, sepenuhnya diserahkan kepada penilaian hakim. Penilaian hakim itu harus di dasarkan pada keadaan dan sifat masyarakat dan tempat perbuatan itu diwujudkan, bahkan pertimbangan hakim bisa pula didasarkan pada suatu masa tertentu.

Demikian dapat dikatakan bahwa perbuatan melanggar kesusilan itu bersifat relatif, karena tergantung dari masyarakatnya, dan tempatnya mungkin pula masanya. Pendapat demikian benar juga, namum perlu diketahui bahwa tidak semua wujud perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum mempunyai sifat relatif demikian. Ada wujud perbuatan tertentu yang dinilai menyerang rasa kesusilaan bagi setiap golongan masyarakat mana pun berada dan untuk setiap masa, misalnya bersetubuh di tempat umum atau di muka umum atau di muka orang banyak, perbuatan serupa dengan perbuatan binatang dalam melampiaskan nafsu birahinya.

  • Unsur Objektif ( Unsur Secata Terbuka atau dimuka Umum ( Openbaar )

** Unsur di muka umum ( openbaar ) artinya di muka orang banyak. Biasanya orang banyak itu berada di suatu tempat yang disebut dengan tempat umum. Pembuat melakukan perbuatan melanggar kesusilaan itu di tempat umum yang disana hadir banyak orang. Sesungguhnya sifat terbukanya dari perbuatan melanggar kesusilaan bukanlah sekedar pada banyak orang saja. tetapi pada keleluasan atau kebebebasan atau secara bebas bagi orang banyak ditempat umum tersebut, tanpa ada halangan atau di tutup-tutupi oleh si pembuat atau mengetahui perbuatan melanggar kesusilaan yang dilakukannya, atau bagi tiap orang yang berada di tempat itu tidak di perlukannya upaya khusus untuk dapat melihat si pembuat melanggar kesusilaan tersebut.

Sebagai perluasan arti sifat terbuka di muka umum ini ialah tidak hanya di tempat banyak orang seperti tersebut di atas saja, tetapi juga terdapat pada suatu tempat di mana seseorang melakukan perbuatan melanggar kesusilaan itu dapat dilihat oleh orang-orang yang berada di tempat umum. Pada pelanggaran kesusilaan sifat terbuka tidak selalu berlaku untuk semua tempat umum walaupun di sana berada banyak orang. Ada tempat-tempat yang dihadiri oleh banyak orang, di tempat khusu mana orang boleh melakukan perbuatan tertentu, yang jika dilakukan di tempat umum lainnya dapat merupakan suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan.

Sifat terbuka di muka umum ini, harus dihubungkan atau tidak dapat di pisahkan dengan unsur kesengajaan si pembuat. Hanya ada kesengajaan pada melanggar kesusilaan dari suaru perbuatan bagi diri si pembuat, yang artinya dia memiliki keinsyafan bahwa perbuatannya sebagai menyerang rasa kesusilaan masyarakat saja, yang dapat dipersalahkan atas perbuatannya itu, dan ini tidak terdapat pada orang-orang yang melakukannya di tempat yang menurut kebiasaan di tempat itu orang pada umumnya melakukannya.10 Misalnya pada konteks pakaian dan dadanan seorang Pekerja Seks Komersial yang berada di tengah-tengah perkumpulan masyarakat.