Apa yang dimaksud intergovermental transfer?


Istilah umum “transfer” mengacu pada sejumlah berbagai jenis instrumen pembiayaan publik: Hibah, pajak bersama, subsidi, dll. Sebagian dari transfer ini dapat dirancang untuk menjadi sangat terpusat di alam yang lain desentralisasi.

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah dicirikan oleh adanya penerapan sistem desentralisasi, salah satunya adalah desentralisasi keuangan.

Ada pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan beserta lain-lain PAD yang sah.

Selain tersedia ruang untuk mengelola otonomi daerah, dalam perspektif hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah juga dikenal adanya transfer keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Komitmen pemerintah pusat untuk memperkuat derajat desentralisasi fiskal dalam skema hubungan keuangan antara pusat dan daerah diwujudkan dengan ditetapkannya dana perimbangan melalui APBN setiap tahun berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).

Namun, sejak 2002 ternyata juga terdapat transfer fiskal yang ditetapkan di luar ketiga jenis dana perimbangan tersebut yang nomenklaturnya berubah-ubah. Di berbagai negara lain, transfer fiskal semacam itu dikenal dengan sebutan intergovernmental fiscal transfer dan di Indonesia dikenal dengan nama dana ad hoc.

Pada 2011, transfer dana ad hoc dilakukan melalui skema dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No 25/PMK.07/2011 Tertanggal 11 Februari 2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan No 140/PMK.07/2011 Tertanggal 23 Agustus 2011 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) Tahun Anggaran 2011.

Walaupun tujuannya baik, yaitu untuk mendorong percepatan dan penyesuaian pembangunan infrastruktur di daerah, dalam perkembangannya DPID/DPPID mengalami berbagai kendala. Berbagai kendala tersebut terkait dengan ketentuan hukum, konsistensi program nama dana dan programnya, ketidakjelasan kriteria daerah yang berhak memperolehnya, serta bagaimana formula ditentukan untuk menentukan besaran transfer.

Keberadaan dana ad hoc tersebut di negara lain seperti di Amerika Serikat sering dikaitkan dengan kepentingan dukungan politis bagi politisi yang sering dikenal dengan sebutan pork barrel. Proyek Gravina Island Bridge yang juga dikenal sebagai " Jembatan to Nowhere " di Alaska adalah contoh dari adanya pork barrel . Rencana pembangunan jembatan itu, yang akhirnya dibatalkan, digunakan untuk kepentingan konstituen yang menjadi pendukung senator Ted Stevens dari Partai Republik.

Filipina pernah mengalokasikan anggaran yang cukup besar sampai sejumlah 200 juta peso untuk setiap senator dan 70 juta untuk setiap representatif yang sering disebut dengan program Priority Development Assisstance Fund. Titik rawan dari keberadaan pola transfer fiskal adalah absennya pengaturan pola pendanaan semacam itu dalam UU No 33 Tahun 2004 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintahan daerah.

Munculnya alokasi DPID/DPPID dalam APBN dalam tahun berjalan dan APBN Perubahan merupakan persoalan berikutnya yang menyebabkan tidak adanya keterpaduan dengan sistem perencanaan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah. Kasus yang menyeret sejumlah nama di lingkungan Badan Anggaran DPR RI, termasuk Wa Ode Nurhayati (WON) dalam pemeriksaan Pengadilan Tipikor bermula dari ketidakjelasan sistem pengaturan DPID/DPPID atau pork barrel ala Indonesia tersebut.

PMK No. 25/PMK.07/2011 mendefinisikan DPID sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan infrastruktur di daerah yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai kegiatan infrastruktur di daerah dan ditujukan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal.

Daerah provinsi, kabupaten dan kota yang menerima DPID beserta alokasinya ditetapkan dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR RI. Penggunaan DPID/DPPID selama ini pada level provinsi adalah untuk mendanai kegiatan infrastruktur kesehatan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi dan prasarana pemerintah daerah. Adapun pada level kabupaten dan kota, alokasi DPID dipergunakan untuk mendanai 17 bidang infrastruktur dimulai dari bidang pendidikan hingga transportasi perdesaan.

Di samping kemanfaatannya tersebut, terdapat sejumlah kelemahan dari dana ad hoc berupa DPID tersebut. Pertama, adanya tumpang tindih antara kegiatan/program pemda yang dibiayai dengan skema DAK dan DAU dengan DPID. Hal itu menyebabkan kerumitan dalam sistem pelaporan dan proses auditnya karena terjadinya pembiayaan yang bias dan tumpang tindih dalam beberapa sektor ( triple budget ).

Kedua, ketidakjelasan kriteria dan formula dalam sistem pengalokasiannya menyebabkan terjadinya ketidakadilan horizontal dalam alokasinya bagi daerah-daerah meski tujuannya semula untuk mengatasi kesenjangan fiskal ( fiscal gap ) antardaerah.

Ketiga, penentuan alokasi DPID yang cenderung diserahkan kepada Badan Anggaran DPR telah menimbulkan kesan terjadinya pergeseran fungsi DPR dari lembaga perwakilan menjadi terlalu jauh memasuki ranah kewenangan eksekutif.

DPR yang seharusnya dalam konstitusi disebut sebagai pengawas telah turut menjadi pemain. Bias posisi tersebut menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ). Ke depan,seharusnya praktik-praktik koruptif yang memanfaatkan kelemahan aturan main dalam sistem transfer fiskal semacam itu perlu dibenahi dan dilakukan penataan ulang. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memperjelas aturan main dalam penyaluran DPID/ DPPID sebagai bagian dari dana ad hoc .

Hal itu bisa dilakukan dengan mengintegrasikan DPID menjadi salah satu varian dari DAK yang telah memiliki mekanisme alokasi, formula,dan kriteria yang jelas dalam mengatur sistem transfer fiskal dana ad hoc berdasarkan prinsipprinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam sistem alokasinya beserta sistem pengawasannya. Korupsi dengan memanfaatkan celah kelemahan DPID/DPPID tak lain adalah korupsi dengan mengajak rakyat pembayar pajak untuk mengorupsi uang yang dibayarkannya sendiri kepada negara.