Apa yang dimaksud Inauthentic Self Presentation?

Apa yang dimaksud Inauthentic Self Presentation?

Apa yang dimaksud Inauthentic Self Presentation?

Inauthentic self-presentation menurut Tworney & O’Reilly (2017) adalah presentasi identitas diri yang palsu dan ideal. Sedangkan Delamater et al. (2015) mendefinisikan self-presentation sebagai proses dimana individu berusaha untuk mengelola impresi atau kesan yang dibentuk oleh orang lain mengenai dirinya pada interaksi sosial.

Aspek-aspek inauthentic self-presentation

Twomey & O’Reilly (2017) mengungkapkan dua aspek dalam inauthentic self- presentation, diantaranya:

  1. Presentasi diri yang palsu ( false self ). Menurut Michikyan et al. (2015), false self adalah perasaan dan tindakan yang tidak sesuai dengan karakteristik diri sesungguhnya yang dapat terjadi karena berbagai motivasi, seperti deception (mempresentasikan informasi mengenai diri yang tidak benar), exploration (mencoba berbagai aspek dari identitas diri yang berbeda), dan impressing others (menyesuaikan presentasi diri terhadap persepsi diri akan ekspektasi orang lain).

  2. Presentasi diri yang ideal ( ideal self ). Menurut Michikyan et al. (2015) dapat dipahami sebagai karakteristik-karakteristik ideal (cita-cita, harapan, atau aspirasi yang dimiliki) yang ingin diperlihatkan kepada orang lain.

Faktor yang mempengaruhi inauthentic self-presentation

Faktor-faktor yang mempengaruhi inauthentic self-presentation berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diantaranya

  1. Self-esteem yang rendah
    Mehdizadeh (2010) dalam penelitiannya berhipotesis bahwa individu dengan self-esteem rendah akan berkorelasi dengan konten promosi diri di laman media sosial mereka. Zhao, Grasmuck, & Martin (2008) menyebutkan bahwa media online menyediakan tempat efektif bagi individu untuk mengaktualisasikan identitas yang mereka harapkan atau ideal self, tetapi tidak dapat dicapai dalam interaksi tatap muka.

  2. Public self-consciousness
    Public self-consciousness diyakini sebagai prediktor dari self-presentation (Lee-Won et al., 2014). Penelitian telah mengindikasikan bahwa individu yang memiliki public self-consciousness yang tinggi cenderung memiliki kekhawatiran yang lebih besar akan penolakan oleh orang lain dan membuat impresi yang baik. Karenanya, mereka lebih mungkin terlibat dalam ideal self-presentation (Lee-Won, Shim, Joo, & Park, 2014).

  3. Self-concept clarity yang rendah
    Fullwood, James, & Chen-Wilson (2016) meyakini bahwa remaja yang memiliki self-concept clarity atau konsep diri yang stabil akan menampilkan dirinya di media online konsisten dengan bagaimana kehidupan sehari-harinya.

  4. Self-criticism
    Jackson & Luchner (2017) membuktikan adanya pengaruh antara self- criticism dengan inauthentic self-presentation pada penggunaan Instagram. Individu yang memiliki kecenderungan untuk mengkritik dirinya sendiri, seringkali memprioritaskan kebutuhan untuk self-definition atau kebutuhan untuk memiliki identitas diri yang independen daripada kebutuhan untuk mempertahankan relasi interpersonal yang sehat (Luyten & Blatt, 2013). Individu yang dimotivasi oleh kebutuhan self-definition yang maladaptif memiliki kecenderungan untuk menciptakan versi palsu dari identitasnya utnuk mencari validasi dan dukungan dari orang lain (Jackson & Luchner, 2017).

  5. Kepribadian neurotik
    Michikyan, Subrahmanyam, & Dennis (2014) dalam penelitiannya membuktikan bahwa individu yang berkepribadian neurotik cenderung mempresentasikan informasi yang tidak seluruhnya sesuai dengan kenyataan atau bahkan berbohong ( false self-deception) dan menggunakan perbadingan sosial ( false self-compare), serta mempresentasikan aspek atribut diri yang diinginkan ( Ideal self ).

  6. Kepribadian introvert
    Dari hasil penelitian Michikyan, Subrahmanyam, & Dennis (2014) ditemukan ada hubungan asosiasi negatif antara kepribadian ekstrovert dengan authentic self-presentation, khususnya false self: exploration. Temuan ini mengindikasikan bahwa remaja yang rendah tendensi ekstraversi atau memiliki kepribadian introvert bertendensi melakukan perilaku eksplorasi identitas pada media online.

  7. Kepribadian narsisistik
    Mehdizadeh (2010) yang dalam penelitiannya menemukan adanya asosiasi positif antara kepribadian narsisistik dengan konten promosi diri pada laman profil media sosialnya.

  8. Social support yang rendah
    Leung (2011) dalam penelitiannya membuktikan bahwa remaja dengan tingkat offline social support yang lebih rendah menemukan eksperimen identitas di media online sebagai kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Hasil ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki dukungan emosional dan kasih sayang yang kurang pada kehidupan sehari- harinya cenderung memiliki keinginan yang kuat untuk bereksperimen dengan identitas mereka, “melarikan diri” dari identitas autentik, atau menjalani fantasi online atau melakukan inauthentic self-presentation (Leung, 2011).

  9. Imagined audience
    Baumeister & Hutton (1987) menyatakan salah satu motivasi individu melakukan self-presentation ialah untuk memenuhi ekspektasi audiensi (pleasing the audience). Baumeister & Hutton (1987) juga mengungkapkan bahwa motivasi untuk melakukan self-presentation dihasilkan oleh kehadiran orang lain.

Pengukuran inauthentic self-presentation

Perbedaan istilah yang digunakan dalam menjelaskan fenomena inauthentic self- presentation menyebabkan bervariasinya alat ukur yang digunakan oleh peneliti. Gil-Or et al. (2015) menggunakan False Facebook Self-Questionnaire (POFSP) yang dikembangkan oleh Weir & Jose (2010, dalam Gil-Or et al., 2015).

Alat ukur ini dikembangkan untuk mengukur perbedaan persepsi akan day-to-day self atau identitas diri yang ditampilkan sehari-hari dengan persepsi akan facebook self atau persepsi akan identitas diri yang ditampilkan di Facebook (Gil-Or et al., 2015). Semakin besar perbedaannya, maka semakin tidak autentik self- presentation yang dilakukan (Gil-Or et al., 2015). Skala ini terdiri dari 21 item pernyataan dan dinilai dengan sistem 5-poin skala Likert (Gil-Or et al., 2015).