Apa yang Dimaksud Ilmu Sosial Positif Auguste Comte?

image
Auguste Comte merupakan seorang ahli filsafat dari Prancis yang sering membahas masyarakat (sosial) dalam buku-bukunya. Salah satu teori yang muncul adalah ilmu sosial positif.

Apa yang dimaksud ilmu sosial positif Auguste Comte?

Pengaruh fisiologi terhadap ilmu sosial itu tampaknya yang kemudian membuat Auguste Comte menegaskan bahwa ilmu sosiologi merupakan ilmu positif yang dapat dipelajari sebagaimana ilmu pengetahuan alam. Inilah yang kemudian disebut sebagai positivisme . Ciri-cirinya antara lain: membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh pancaindra; membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah; fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai; dan objek memiliki nilai dan manfaat.

Auguste Comte , dengan demikian, dikenal sebagai Bapak Positivisme. Ia adalah seorang ahli matematika yang mencoba membangun kegiatan fi lsufi s berdasarkan suatu defi nisi ilmu yang baru, ilmu yang perannya terbatas pada penggambaran. Penggambaran atau deskripsi ini merupakan kebalikan dari penjelasan dan dugaan, yang mengarah pada kemungkinan peramalan kejadian dan akhirnya pada pengendalian kejadian.

Positivisme menurut Comte merupakan penerapan metode empiris dan ilmiah pada setiap lapangan penelitian. Ia menunjukkan suatu penolakan terhadap setiap bentuk pengetahuan yang berlandaskan pemikiran bahwa ada realita lain di luar eksistensi material. Menurut Comte, sosiologi adalah ilmu yang mencari hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia dengan kepastian hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia dengan kepastian seperti pada ilmu pasti (eksakta). Sekali manusia menemukan bahwa evolusi dunia nyata diatur oleh hukum-hukum tertentu, manusia dapat memanfaatkan dan mempercepat “operasi”- nya.

Comte percaya bahwa:

  1. Dunia tertata secara rasional , dan ada hukum-hukum perkembangan dan interaksi sosial yang dapat ditemukan;
  2. Penemuan hukum-hukum tersebut adalah mungkin sebab manusia memiliki penalaran yang cukup;
  3. Manusia juga cukup berakal untuk menggunakan pengetahuan mereka untuk kepentingannya sendiri; dan
  4. Penalaran tidak hanya memungkinkan ditemukannya hukumhukum tingkah laku sosial, tetapi juga memungkinkan manusia untuk menemukan tujua-tujuan nyata yang diinginkan.

Comte percaya pada adanya kemajuan (progress). Ia menafsirkan masyarakat ke dalam tiga tahap:

  1. tahap “teologis”, dengan kepercayaan bahwa nasib manusia diatur oleh kekuatan-kekuatan ketuhanan, dari sejak awal peradaban manusia hingga lahirnya reformasi Protestan;
  2. tahap metafi sika, yang merupakan zaman yang bersifat kritis dan zaman pemberontakan yang berpuncak pada Revolusi Prancis ; dan
  3. tahap “positif” atau “ilmiah”, yang merupakan zaman kontemporer ketika pengetahuan tentang manusia dan alam menggantikan ketidaktahuan, takhayul, dan ilusi yang ada pada tahap-tahap sebelumnya. Inilah masa sintesis antara tatanan dan kemajuan.

Pengaruh Comte dan positivisme sangat luar biasa, terjadi “positivisasi ilmu-ilmu sosial”. Positivisme dalam ilmu sosial seperti yang dinyatakan oleh Arnold Brecht , menjadi sinonim dari gerakan “pemurnian metodologis” dan bersama-sama dengan gerakan Positivisme Logis dan Filsafat Linguistik yang mengikuti jejaknya, mendorong perkembangan yang dahsyat dari suatu gerakan intelektual yang mendukung diadakannya pemisahan sempurna antara “fakta” dan “nilai”.

Benih gagasan bahwa “nilai tak ada sangkut pautnya dengan fakta” dapat ditelusuri kembali sampai pada Immanuel Kant dan Mill, namun keduanya telah mencoba membangun jembatan antara “nilai” dan “fakta”, yang masing-masing dicirikan oleh Brecht sebagai “jembatan moral” dan “jembatan kebahagiaan”. Kelahiran Gulf Doctrine (lagi-lagi suatu istilah yang digunakan oleh Brecht untuk memisahkan logis antara “yang ada” (is) dengan “yang seharusnya” (ought) dapat ditelusuri kembali pada sejumlah pemikir Jerman, seperti Arnold Kitz (lahir 1807), Julius von Kirchmann (1802— 1894), Wilhelm Windelband (1848—1915), para penganut Kant Baru (Neo-Kantians) Heinrich Rickert (1868—1936), dan George Simmel (1858—1918), dan dianggap telah mencapai puncaknya pada tulisan-tulisan sosiologi Max Weber (1864—1920), yang telah dianggap memprakarsai Neo-Positivisme atau Positivisme post-Comte.

Makalah Max Weber yang berjudul “Objectivity of Knowledge in Social Science dan Social Policy” yang diterbitkan pada 1904 memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan ilmuilmu sosial di dunia Barat. Dalam tulisan tersebut, Weber berusaha menetapkan perbedaan yang ketat antara pengetahuan empiris dan pertimbangan nilai (value judgement), yang diakuinya sebagai pendekatan yang tidak baru, tetapi hanya merupakan penerapan hasil-hasil logika modern yang telah diakui secara luas tentang persoalan kita sendiri.

Pamor positivisme dalam ilmu sosial dan sosiologi menurun sejak tahun 1960-an, bersama dengan modernisme dan proyek pengetahuannya dianggap gagal untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Pendekatan post-positivisme atau mazhab posmodernisme mulai muncul. Orang dapat menyaksikan kemunculan kembali filsafat spekulatif, bahkan di Inggris yang merupakan benteng analisis linguistik. Orang Eropa yang tak pernah menaruh perhatian pada positivisme telah menyibukkan diri dengan berbagai macam “ilmu gejala”, atau yang disebut fenomenologi (phenomenology), dan realisme baru (neo-realism). Juga, ilmu sosial Amerika yang dicap positivistik perlahan-lahan menurun, sebagian disebabkan oleh serangan terhadapnya dari radikalisme sosial baru dengan semangat moralistisnya yang kuat dan sebagian lagi disebabkan oleh kritik yang gencar terhadap pengakuannya akan objektivitas sosial dan netralitas nilai terhadap kekurangan dasar ilmiahnya. Objektivitas sosial neo-positivis mulai dianggap sebagai “sikap purapura suatu kecenderungan ideologis” yang menuju pada introduksi pertimbangan nilai yang menyeluruh di bawah kedok keharusan ilmiah. Bagi post-positivisme, tidak ada yang netral dan objektif.