Apa yang dimaksud filsafat politik?

Filsafat Politik menurut Machiavelli
Ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis terutama berhubungan dengan negara. Baginya negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan bangsa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi aktivitas sang penguasa.

Filsafat Politik


Filsafat politik Machiavelli tidak bisa dijauhkan dari dua karya pentingnya, The Prince dan Discourse on Livy . Meski karyanya yang lain adalah rangkaian mutiara yang tidak ternilai, namun rujukan utama pengaji politik Machiavelli selalu kembali merujuk pada dua karya pokok ini. Di dalam The Prince , Machiavelli tampak sebagai sesosok negarawan yang melibatkan pikiran dan perasaannya untuk turut mengusahakan terwujudnya tatanan bangsa negara yang kuat, sebagaimana sudah lama ia hayalkan melalui contoh negara-negara besar masa lalu.

Di dalam karya ini, Machiavelli mengidam-idamkan terlahirnya personifikasi putra mahkota yang kelak akan menjadi pribadi kuat maha raja. Bagi Machiavelli, pemimpin adalah orang yang kuat yang dipersiapkan untuk memerintah tatanan bersama yang solid, stabil dan tanpa gangguan.

Pemimpin harus tegas, tidak cengeng dan memiliki keteguhan prinsipil dalam dirinya sendiri. Pemimpin seperti ini tidak memedulikan keluh kesah individu selama ia tidak mematuhi aturan terpusat dari negara. Aturan negara berbeda dengan standar moral individual. Ada dua jenis moral, moral negara dan moral warganegara. Moral negara harus tegas dan harus dimenangkan di atas kepentingan moral warganegara. Pertimbangan normatif yang dibangun di tengah masyarakat tidak bisa dipakai untuk merongrong ketegasan pimpinan.

Mayoritas peneliti sepakat, bahwa pikiran politik Machiavelli didominasi oleh strategi atau dengan slogan metodik “tujuan adalah yang utama, cara bisa apa saja” ( the ends justify the means ). Bahwasannya negara punya wewenang untuk menempuh segala cara demi mencapai tujuan kenegaraan yang telah ditentukan. Negara tidak boleh lemah oleh pertimbangan tertentu yang bisa menggagalkan tercapainya tujuan.

Karya Machiavelli yang forntal ini sontak mengagetkan lingkungan politik, keagamaan serta mengejutkan mata para pelajar. Mengenai terbitnya buku Sang Pangeran ini misalnya, beberapa Dewan Gereja membatasi penyebaran buku ini dan menyatakan karya ini sebagai karya terlarang. Bisa dipahami, bahwa hampir semua lembaga keagamaan di Eropa waktu itu masih memanfaatkan filsafat Plato dan Aristoteles yang menaruh etika sebagai pertimbangan penting. Machiavelli dianggap menabrak nilai-nilai berpikir etik sehingga ia harus dibatasi.

Meski demikian, tidak semua pemikir melihatnya demikian. Para pemuja Machiavelli juga tidak sedikit. Tokoh-tokoh intelektual Dunia seperti Rousseau, Harvey Mansfield atau Leo Strauss mengagumi karya Machiavelli ini sebagai prasasti pengetahuan politik yang brilian. Dengan mengesampingkan “ mudharat ” dari nilai-nilai tiraniknya, Sang Pengeran adalah pelajaran yang sangat berharga bagi para calon pemimpin. Menurut para pemikir ini, Sang Pangeran adalah karya karikatur untuk menyemangati para pemimpin agar lebih tegas dalam memerintah jika menginginkan sebuah negara yang kuat dan disegani.

Sang Pangeran


Karya ini berjudul asli De Principatibus . Pertama kali diedarkan pada tahun 1513-an tetapi baru secara utuh dicetak pada 1532, pada tahun kelima setelah kematian Machiavelli.6 Karya ini sempat dibreidel dan baru diizinkan kembali oleh kepausan Medici, Clement VII. Satu-satunya penjelasan kenapa karya ini begitu kontroversial adalah karena ia berani keluar dari dominasi pemikiran etika Yunani Plato dan Aristoteles. Kedua filsuf besar ini, sebagaimana dijelaskan dalam sejarah, tidak hanya menginspirasi pikiran sekular kefilsafatan, tapi juga menginspirasi pandangan keagamaan yang integral dengan filsafat. Jika di abad tengah Eropa, Kristen dan filsafat Yunani adalah satu kesatuan, maka keberadaan para penentang seperti Machiavelli ini akan punya banyak masalah.

Buku Sang Pangeran terdiri dari 26 bab. Setiap bab menjelaskan beberapa persoalan kunci tentang kepemimpinan. Persoalan-persoalan ini tentu saja tidak jauh keluar dari personifikasi sang pangeran yang menjadi simbol pemimpin sebagaimana diharapkan.

Bab pertama membahas jenis-jenis pemimpin dan bagaimana ia diperlukan sesuai dengan kebutuhan negaranya. Bab kedua menjelaskan asal-muasal profil pemimpin. Bab ketiga menyoal koalisi kepemimpinan. Bab keempat mengisahkan bagaimana kekuatan Alxander mampu meredam dendam kesumat klan Darius, padahal klan ini ditaklukkan. Bab kelima tentang bagaimana menerapkan hukum di saat merdeka dan di saat sebuah negara diduduki negara lain.

Bab keenam menjelaskan tentang pentingnya sebuah kepemimpinan itu mandiri, punya kemampuan dan tidak bergantung pada negara lain. Bab ketujuh merinci bagaimana negara bekerjasama dengan negara lain, memanfaatkan kekuatan negara lain dan mengambil keuntungan dari mereka. Bab kedelapan soal strategi merebut kepemimpinan dengan muslihat. Bab kesembilan tentang kepemimpinan sipil. Bab kesepuluh menjelaskan mengenai pentingnya mengukur sebuah kekuatan kepemimpinan.

Bab kesebelas menjelsakan tentang kepemimpinan keagamaan. Bab duabelas tentang kekuatan bersenjata beserta pentingnya merencanakan anggaran. Bab ketigabelas menerangkan tentang pasukan cadangan, pasukan gabungan dan pasukan khusus. Bab empatbelas adalah soal apa yang harus diperhatikan pemimpin di saat berperang. Bab limabelas menjelaskan soal kapan seharusnya pemimpin layak dipuji atau layak disalahkan.

Bab keenambelas membicarakan soal apa perbedaan antara kemurahhatian dengan kecerobohan. Bab tujuhbelas mendedah soal hukuman yang kejam atau pengampunan. Bab ini juga menerangkan tentang betapa kepemimpinan lebih baik dicintai daripada ditakuti. Bab delapanbelas menjelaskan mengenai keimanan seorang pemimpin. Bab sembilanbelas membahas pentingnya seseorang hidup dalam cinta, lebih baik tidak dibenci dan tidak dihindari. Bab duapuluh merinci soal fasilitas pertahanan, benteng dan jaminan keselamatan pemimpin.

Bab duapuluhsatu membahas soal sikap yang harus ditempuh pemimpin untuka mendapat rasa cinta dan kemasyhuran. Bab duapuluhdua menerangkan tentang staf-staf yang bisa membantu mengoptimalkan tugas pemimpin. Bab duapuluhtiga menyoal pentingnya menghindari suap atau pujian berlebihan. Bab duapuluhempat menjelaskan tentang kasus-kasus kenapa para pemimpin Italia kehilangan tampuk kekuasaan mereka. Bab duapuluhlima membicarakan tentang apakah keberuntungan menentukan nasib manusia. Bab duapuluhenam atau terakhir berisi nasihat-nasihat bagaimana caranya bangsa Italia keluar dari cengkeraman para penjajah.

Keduapuluhenam bab yang ditulis oleh Machiavelli ini tampak detil dan rinci. Machiavelli adalah pemikir politik yang secara epistemologis benar-benar tidak mau luput meliput setiap bagian dari politik secara utuh dan menyeluruh. Tentu saja, membaca karya Machiavelli, Sang Pangeran, adalah sesuatu yang sangat penting bagi siapapun yang berniat menjadi pelajar politik yang baik.

Diskursus Livius


Selain Il Principe , buah karya dan pikiran besar Machiavelli yang lain terpampang dalam sebuah buku yang berjudul Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio . Buku ini secara umum adalah uraian tentang filsafat sejarah dan filsafat politik yang mengemuka pada abad ke-16. Buku ini sendiri ditulis oleh Machiavelli pada tahun 1517 namun baru populer setelah penerbitannya di tahun 1531 M.

Secara umum, buku ini adalah obsesi Machiavelli untuk memberikan wawasan kepada seluruh umat manusia bahwa kita semua bisa belajar berpolitik melalui cara manusia-manusia masa lalu dalam berpolitik. Buku ini merupakan apresiasi Machiavelli atas gambaran yang pernah diberikan oleh sejarahwan Romawi yang terkenal, Titus Livius atau Livy. Livy sendiri hidup pada sekitar tahun 60 SM.

Menurut Machiavelli, sejarah adalah media masa lalu yang signifikan untuk memperbaiki kemampuan bernegara kita di masa-masa sekarang. Sejarah Romawi dan sejarah masyarakat lainnya adalah contoh kejayaan masa lalu yang bisa menentukan standar patok cara kita mengelola negara dan pemerintahan di masa kontemporer. Karena pada dasarnya, kejayaan adalah hal yang terus bisa terulang di dalam sejarah.

Di dalam bahasa Inggris, buku Machiavelli yang terkenal ini biasa berjudul Discourses on The First Decade of Titus Livius atau hanya ditulis Discourses on Livy saja. Buku ini berisi tiga bagian. Bagian pertama berisi pasal-pasal tentang sejarah pertama berdirinya negara-kota dunia secara umum, atau secara khusus adalah sejarah tentang tegaknya Roma. Bagian pertama ini berisi 60 bab dan memuat penjelasan yang panjang tentang sejarah.8

Mula-mula Machiavelli menuliskan tentang penjelasan Livius soal Roma, bagaimana ia muncul, apa tantangan-tantangan Roma dan bagaimana Roma bisa menjadi lambang pemerintahan yang disegani. Roma adalah sebuah produk sejarah yang dihasilkan oleh manusia yang mau mengorganisasi diri melalui kelompok inti dan meluas memberi pengaruh kepada kelompok-kelompok lebih cair yang lain. Pertama aristokrat yang berperan membentuk kesatuan semangat dan emosional kebangsaan, kemudian meluas menjadi perasaan bersama sebagai sebuah bangsa secara umum.

Pada bagian pertama buku ini di antaranya berturut-turut menceritakan tentang kelahiran Roma, tipe-tipe gubernur yang sempat memimpin Roma, bagaimana sistem yang menjadikan pemimpin Roma bisa dihormati, bagaimana kinerja senator sehingga Romawi bisa dijalankan secara bebas namun tetap punya kohesifitas yang kuat. Pada bagian ini pula dijelaskan soal tugas-tugas kelompok militer bagi stabilitas dan keutuhan negara, bagaimana sumbangsihnya bagi pembentukan peran di antara negara dan warga negara serta bagaimana mereka tetap mengawal terciptanya kepemerintahan yang kuat.

Pada bagian yang sama, buku ini juga menguraikan tentang bagaimana agama hidup di Roma. Apakah agama signifikan bagi masyarakat Roma. Apakah agama bisa dipakai untuk memperkuat sendi-sendi kepemerintahan sekaligus mampu menjadikan para pimpinan menjadi semakin kuat.

Bagian kedua dari buku ini memuat 33 bab. Bab ini merupakan bagian yang lebih banyak membicarakan soal kebijaksanaan, keberuntungan dan kebebasan. Bagian kedua buku ini sebenarnya merupakan uraian kefilsafatan yang luar biasa mengenai kaitan antara sikap tegas pimpinan yang dipadu dengan kemampuan penalaran yang luar biasa masyarakat atas makna kebebasan sehingga menjadikan Roma berjalan sebagai negara yang disegani.

Bagian ini juga mengatur soal inisiatif perang, kenapa harus melakukan ekspansi, apa saja yang harus dilakukan saat melakukan ekspansi dan menciptakan koloni hingga apa kaitan antara penguasaan banyak koloni dengan peningkatan kokohnya kekuasaan pemimpin.

Pada bagian ketiga buku ini terdiri dari 49 bab. Sebagian bab-bab pada buku ini membahas hal-hal problematis yang muncul beriringan dengan dinamika negara dan warga negara. Misalnya saja, di sini dijelaskan tentang ketegasan untuk menjaga tradisi masa lalu ketika di tengah masyarakat sudah terindikasi terjadi patologi sosial akibat pengaruh budaya asing. Di bab-bab ini juga dijelaskan tentang laju pertumbuhan penduduk, pembatasan kelahiran, hukuman dan seterusnya.

Yang menarik, pada bab-bab di bagian akhir buku ini pula mulai dijelaskan tentang kemungkinan akan hilangnya kekuasaan negara. Artinya, bab-bab akhir ini mulai menggambarkan bagaimana kepemimpinan Roma lambat laun mulai melemah beserta penjelasan kenapa ia bisa makin melemah. Konspirasi, penghianatan, pembelotan hingga kisah- kisah tentang tokoh-tokoh yang akhirnya harus disingkirkan.

Pada bagian terakhir, buku ini menutupnya dengan penjelasan soal apa yang harus dilakukan ketika sebuah negara sudah mulai menandakan terjadi keruntuhan dan kemunduran. Bab-bab terakhir ini lebih banyak mengusulkan kiat-kiat agar negara tetap kokoh berdiri melalui contoh-contoh tokoh siapa saja yang pernah membuat Roma kuat dan siapa saja yang menjadikan Roma lemah.

Pengaruh Pemikiran Politik Machiavelli


Pada sebuah buku bunga rampai ilmiah, Machiavelli: Figure dan Reputation editorial Joseph Theodoor Lersen dan Menno Spiering secara gegap gempita mengapresiasi jasa Machiavelli bagi pembentukan arah pemikiran politik dunia. Di dalam buku ini, jasa Machiavelli tidak hanya besar bagi lingkungan asalnya, Eropa, tapi juga menjadi inspirasi yang masif bagi pengetahuan politik dunia.

Yang menonjol dari jasa-jasa Machiavelli menurut catatan Lersen ini adalah bahwa Machiavelli telah mengubah dasar-dasar pengetahuan politik dari yang statis menjadi dinamis. Machiavelli adalah pemikir dunia pertama yang nyata-nyata berani meyakinkan dunia bahwa politik adalah sesuatu yang real dan tidak sekedar hidup dalam utopia dan ide-ide. Machiavelli telah menciptakan trend politik sebagaimana pengetahuan yang diibaratkan sebagai rimba raya Darwinisme (Lersen, 1996).

Rasionalitas yang dibangun oleh Machiavelli adalah rasionalitas praksis yang berdiri di atas kaki-kaki sejarah dan fakta yang pernah terjadi di lapangan. Machiavelli membuat jarak dengan para pemikir politik pendahulunya dengan cara mengubah pengetahuan politik dari sesuatu yang Platonik menjadi sosiologik.

Secara harfiah filsafat diterjemahkan sebagai kecintaan terhadap kebijaksanaan yang diperoleh dari perenungan atau kontemplasi untuk mencari kebenaran (Macridis 1983). Dalam ilmu politik, filsafat politik lebih diartikan sebagai sebuah cabang ilmu yang berusaha mencari penjelasan berdasarkan rasio tentang metafisika dan hakikat mendapatkan ilmu pengetahuan (epistemologi). Oleh karena itu, penjelasannya dicari melalui penjelasan hubungan antara sifat dan hakikat dari alam semesta dengan hubungan antara sifat dan hakikat di dunia fana (Budiardjo 2008). Hasil dari proses berpikir ini digunakan sebagai dasar atau patokan nilai dalam kehidupan bernegara.

Salah satu filsuf Yunani yang terkenal adalah Plato. Plato menulis tentang The Republic sebuah negara ideal yang dipimpin oleh seorang philosopher king yang secara sengaja memisahkan diri dari hak milik dan ikatan keluarga supaya dapat memerintah untuk mencapai kepentingan bersama. Salah satu pemikiran Plato yang banyak dikutip orang adalah tentang keadilan. Menurutnya keadilan merupakan hakikat dari alam semesta dan sekaligus merupakan pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik seperti yang dicita-citakan. Oleh karena itu untuk dapat menanggulangi masalah ketidakadilan dan persoalan-persoalan politik lainnya di dunia fana,
manusia haruslah memecahkan terlebih dahulu persoalan-persoalan yang menyangkut alam semesta.

Selanjutnya mengenai pembagian dalam filsafat politik, Magnis-Suseno, berbeda dengan Miriam Budiardjo dalam menetapkan pembagian tersebut. Menurut Magnis-Suseno (1983) filsafat terbagi menjadi dua cabang utama yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis (etika). Filsafat teoritis mempertanyakan “apa yang ada” seperti mempertanyakan hakikat manusia, hakikat alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, hakikat pengetahuan ataupun hakikat Yang Transenden (Magnis-Suseno 1983). Sedangkan filsafat praktis atau etika mempertanyakan “apa yang mesti manusia lakukan terhadap yang ada itu”. Dengan begitu, filsafat praktis atau etika
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia (Magnis-Suseno 1983).

Berbeda degan Magnis-Suseno, Miriam Budiardjo (2008) yang mengutip Jenkin (1967) tidak membagi filsafat ke dalam kedua kelompok tersebut. Menurut Budiardjo, filsafat politik dilanjutkan dengan apa yang disebut teori politik yang sistemis (systemic political theory). Sebagaimana dikatakan oleh Budiardjo (2008), teori politik yang sistemis ini tidak memajukan pandangan sendiri tentang metafisika dan epistemologi, tetapi mendasarkan diri atas pandangan- pandangan yang sudah lazim diterima pada masa itu. Dengan perkataan lain, teori politik sistematis ini tidak menjelaskan asal-usul atau cara lahirnya norma-norma, tetapi mencoba mewujudkan norma-norma itu ke dalam suatu program politik.

Teori-teori politik semacam ini merupakan langkah lanjutan dari filsafat politik dalam arti bahwa ia langsung menetapkan norma-norma (tanpa mempertanyakan asal-muasal norma tersebut) dalam kegiatan politik. Sebagai contoh pada abad ke-19 teori-teori politik banyak membahas mengenai hak-hak individu yang diperjuangkan terhadap kekuasaan negara dan adanya sistem hukum serta sistem politik yang sesuai dengan pandangan itu. Pembahasan teori-teori politik itu mendasarkan pandangan mengenai adanya hukum alam – sebuah pandangan yang sudah lazim pada saat itu. Hanya saja, teori-teori politik itu tidak lagi mempersoalkan lagi hukum alam tersebut.