Apa yang anda ketahui tentang zuhud?

Zuhud

Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.

Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.

Apa yang dimaksud dengan zuhud ?

Diceritakan suatu ketika Mbah Jalil Tulungagung ditanya oleh santrinya

Mbah, zuhud sing dipun maksud teng kitab Ihya niku dos pundi ?
(Mbah, zuhud yang dimaksud delam kitab Ihya Ulumuddin iur seperti apa ?)

Mbah Jalil menjawab,

Oh kowe durung paham to, wes kono ndang ngisi jeding disik
(Oh kamu belum paham ya, ya sudah sana, kamu nimba air untuk ngisi bak mandi dulu)

Santri, “Nggeh mbah (Iya mbah)”

Mbah Jalil,

Wes rampung to, kesel ora ?
(Sudah selesai kan (nimba airnya), terasa capek atau tidak ?)

Santri, “Sampun mbah, nggeh kesel mbah (Sudah mbah, iya capek)”

Mbah Jalil menjawab,

Wes kono sampean adus disik ya
Sudah sana kamu mandi dulu)

Setelah santrinya selesai mandi, ditanya lagi sama Mbah Jalil

Banyune rong jeding mau, sampean entekno dienggo adus kabeh opo ora ?
(Air 2 bak besar (yang kamu timba tadi) kamu habiskan semua buat mandi atau tidak ?)

Santri menjawab, “Nggeh mboten mbah, sakcekape mawon. (Ya tidak mbah, saya gunakan secukupnya saja)”

Mbah Jalil,

Ya seperti itu zuhud itu, kamu cari sebanyak-banyaknya, tetapi kamu ambil secukupnya saja buat dirimu, sisanya biar dirasakan manfaatnya untuk orang lain.

Secara etimologis, kata zahada berarti raqab ‘an shay’ wâ tarakahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fî al- dunyâ, berarti mengosongkan diri dari dunia. Orang yang melakukan zuhd disebut zâhid, zuhhâd, atau zâhidun, zâhidah. Bentuk pluralnya zuhdan, yang artinya kecil atau sedikit.

Adapun arti zuhud secara terminologi harus dilihat dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh para sufi. Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan. Karena hasrat, keinginan, dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan kehidupan, sehingga memalingkannya dari Tuhan.

Dalam tradisi tasawuf, zuhud merupakan maqâm yang sangat menentukan kelanjutan ibadah seorang sufi. Sehingga hampir seluruh ahli tasawuf meletakkan zuhud dalam setiap konsep tasawufnya, hanya saja dengan konsep yang berbeda.

Junayd al-Baghdadî menyatakan bahwa zuhud adalah kekosongan hati dari pencarian. Sufyân al-Thaurî mengatakan, zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginanya untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan yang kasar atau memakai jubah yang jelek. Dalam kitab Mizân al-Hikmah, sebagaimana yang dikutib oleh Jalaluddin Rahmat, bahwa zuhud adalah jika merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang dirasakan oleh Rasulullâh dan para Sahabat, maka para Malaikat akan turun menyertainya.

Tirai kegaiban akan disingkap, mereka akan menyalami sambil mengucapkan “Kami akan melindunggi kalian di dunia dan akhirat” (Q.S. 41: 31). Sebagai makhluk gaib yang wajib diimani keberadaannya, seringkali tidak disadari keberadaannya, karena jiwa terlalu terbuai dengan hiruk pikuk realitas material yang ada di sekitar manusia, sehingga tidak dapat merasakan dan keindahan yang datang dari realitas lain yang bersifat spiritual. Lingkup manusia hanya terbatas pada sesuatu yang dapat diamati sehingga mengabaikan sifal- sifat abstrak.

Alî b. Abî Talib mengatakan kepada Abû Dharr al-Ghifârî sebagaimana dikutip oleh al-Ghazâlî,

“barangsiapa yang zuhud pada dunia, tidak sedih karena kehinaan (dunia), tidak berambisi untuk memperoleh kemuliaan, maka Allâh akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhluk-Nya. Dia akan mengetahui sesuatu tanpa mempelajarinya, Allâh akan mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah melalui lidahnya”.

Sulayman al-Darânî, mengatakan zuhud adalah menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan kamu dari Allah. Fudayl b. Iyâd, mengatakan,

“Allâh menempatkan seluruh kejahatan manusia dalam satu rumah, dan menjadikan kecintaan pada dunia sebagai kuncinya, serta meletakan segala macam kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan zuhud sebagai kuncinya.

Sejarah Munculnya Zuhud


Zuhud merupakan salah satu maqâm yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tas}awuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqâmât, meskipun dengan sistematika yang berbeda-beda.

  • Al-Ghazâlî menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Tawbah, al-Sabr, al-Faqr, al- Zuhd, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma‘rifah, dan al-Ridâ.

  • Al- Tûsî menempatkan zuhud dalam sistematika: al-Tawbah, al-Warâ‘, al- Zuhd, al-Faqr, al-Sabr, al-Ridâ, al-Tawakkul, dan al-Ma‘rifah.

  • A-Qushayrî menempatkan zuhud dalam urutan maqâm yang keenam dari empat puluh sembilan maqâm yang dibahas, antara lain: al-Tawbah, al-Mujâhadah, al-‘Uzlah, al-Taqwâ, al-Wara‘, dan al-Zuhd.

Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islâm sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu: Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir.

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhud.

  • Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen.
  • Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.
  • Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia.
  • Keempat, pengaruh Budha dengan faham Nirwana- nya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
  • Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.

Sementara itu Abû al-„Alâ al-„Afîfî mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal-usul zuhud.

  • Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia.
  • Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.
  • Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
  • Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga:
    • Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur‟ân dan al- Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara‘, taqwâ, dan zuhd.

    • Kedua, reaksi ruhaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi–konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Alî b. Abî Tâlib dengan Mu„âwîyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubrâ yang menimpa khalîfah ketiga, „Uthmân b. „Affân (35 H/655 M).

      Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.

    • Ketiga, reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut al- Taftazânî, pendapat Afîfî yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqh dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktik zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya Mu„tazilah kalamîyah pada permulaan abad kedua Hijriyah, lebih akhir lagi ilmu fiqh, yakni setelah tampilnya Imâm-Imâm mazhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.

Al-Nashshâr, mengatakan bahwa zuhud dipengaruhi oleh sekelompok masyarakat yang menganut Risâlah Hanîf Ibrahîm, yang sering mempraktikan hidup zuhud dan memakai baju dari bulu domba, mengharamkan makanan yang halal. Mereka banyak mengetahui tentang nabi Muhammad.

Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, disebutkan bahwa munculnya zuhud yaitu pada abad pertama Hijriyah, sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta beberapa pejabat pemerintahan, yang merupakan dampak kaum Muslim dalam penaklukan Suriyah, Mesir, dan Persia. Jika sebelumnya kaum Muslimin hidup sederhana, corak kehidupan mereka mulai berubah setelah sepeninggal Rasulullâh dan sahabat yang empat. Para Khalifah mulai hidup dengan kemewahan, sehingga jurang pemisah dengan rakyat sangat lebar.

Realitas inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Islam rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang dicontohkan Rasulullâh. Mereka mulai mengisolasi diri sehingga pada gilirannya mucul orang-orang yang inten dalam bidang tasawuf atau orang-orang yang berusaha menjauhi gemerlap dunia.

Zuhud menurut al-Qushayrî


Dalam memulai tulisannya tentang konsep zuhd al-Qushayrî memulai dengan Hadîth Nabi yang berbunyi:

“Jika di antara kamu sekalian melihat seorang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia, sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan.”

Ditinjau dari konteks Hadîth ini al-Qushayrî ingin mengindikasikan bahwa seorang zâhid (orang yang zuhud) adalah seseorang yang selalu mengajarkan kebijaksanaan, selalu menjaga perkataannya, dan tingkah lakunya. Hadîth tersebut seakan menggambarkan bahwa zâhid adalah orang yang mempunyai akhlâq yang mulia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep zuhud yang pertama akan dibahas oleh al-Qushayrî adalah konsep zuhud dalam tataran akhlâq.

Konsep zuhd dalam perspektif al-Qushayrî tidak jauh berbeda dengan pendapat ulama tentang zuhud. Hal ini dapat dirujuk dari uraiannya yang menukil pendapat ulama pendahulunya yang menempatkan konsep zuhud dalam tataran maqâm, namun begitu al- Qushayrî juga mengambil pendapat para ulama yang menempatkan zuhud sebagai akhlâq, sehingga dapat dipetakan bahwa pemikiran al-Qushayrî tentang zuhud bertumpu pada maqâm dan akhlâq, dengan basis argumentasi ayat al-Qurân, Hadîth, dan pendapat ulama tasawuf.

Al-Qushayrî membagi zuhud dalam tiga tingkatan, seperti pembagian al-Ghazâlî.

  • Pertama, zuhud dari barang yang haram.
  • Kedua, meninggalkan barang yang halal.
  • Ketiga, hanya pasrah terhadap pemberian Allâh dan tidak berkehendak selain dari Allâh.

Dalam hal ini al-Qushayrî menukil sebuah ayat al-Qur‟ân Surat al-Nisâ„: 77 yang berbunyi:

“Katakan Muhammad, kesenangan dunia hanya sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa.”

Menurut al-Qushayrî kata zuhud diambil dari QS. al-Hadîd: 23 yang berbunyi:

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya.”

Konsep yang ditawarkan oleh al-Qushayrî mempunyai wujud kesederhanaan, wajar, inklusif, dan aktif dalam berbagai kehidupan.

Zuhud sebagai Maqâm


Dalam tataran maqâm konsep zuhud al-Qushayrî diawali dengan QS. al-Nisâ„: 77 yang berbunyi:

“Katakanlah Muhammad, ksesenangan dunia adalah sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa”.

Ayat ini lebih menekankan pada lelaku batin dari pada sosial. Konsep ini mempunyai arti bahwa harta hanyalah sebuah penghalang bagi kehidupan bahagia di akhirat. Seorang sufi harus meninggalkan kesenangannya apabila dia ingin mendapatkan kesenangan di akhirat dan kesenangan hanya akan dicapai apabila dia bisa mengekang hawa nafsunya dan mendekatkan diri pada Allâh.

Konsep zuhud al-Qushayrî ini terlihat ekstrem, ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang diambil oleh al-Qushayrî dalam merumuskan konsep zuhd-nya. Pertama, ia menukil pendapat gurunya sendiri yaitu Abû „Alî al-Daqqâq, yang mengatakan, zâhid mempunyai sifat anti kemewahaan dunia, dan tidak berkeinginan membangun pondok dan Majlis Ta’lîm. Karena hal itu hanya akan mengakibatkan dirinya sibuk sehingga akan melupakan Allâh.

Lebih jauh al-Qushayrî mengatakan bahwa zuhud membawa implikasi mendermakan harta benda, sedangkan cinta membawa implikasi mendermakan diri sendiri sehingga seseorang yang hatinya sudah dipenuhi cinta pada dunia maka ia seperti orang yang tidak mempunyai harga diri, begitu juga sebaliknya apabila hatinya diliputi cinta pada Allâh maka ia akan mengabdikan dirinya hanya pada Allâh semata.

Ibn al-Jallâ„ sebagaimana dikutip oleh al-Qushayrî mengatakan bahwa zuhud adalah memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai arti dalam pandangan. Oleh karenanya ia akan mudah sirna, tanda-tanda dari zuhud adalah merasa sangat senang meninggalkan segala bentuk kehidupan dan harta benda tanpa ada keterpaksaan.

Zuhud adalah orang yang terisolir dalam kehidupan dunia sedangkan ma‘rifat adalah orang yang terisolir dalam kehidupan akhirat, dan Allâh tidak rela jika mereka menikmati dunia. Pendapat ini seperti yang diucapkan oleh al-Sirrî dan Nashr „Abâdî yang dinukil oleh al- Qushayrî dalam al-Risâlah.

Senada dengan pendapat di atas berkata „Abd. Al-Wahîd b. Zayd bahwa arti zuhud adalah meninggalkan Dînâr dan Dirham sekaligus meninggalkan semua aktifitas yang akan mengakibatkan lupa pada Allâh.

Al-Qushayrî juga mengatakan bahwa Yahyâ b. Mu‟âd berkata, seseorang tidak akan sampai pada tingkatan zuhud kecuali karena tiga hal.

  • Pertama, berbuat tanpa ketergantungan (pamrih).
  • Kedua, ucapan tanpa keingginan hawa nafsu.
  • Ketiga, kemuliaan tanpa kekuasaan.

Dari pendapat ini al-Qushayrî berharap bahwa zuhud tidak akan bisa dicapai kecuali melepaskan diri sepenuhnya dari keterikatan harta benda, baik yang halal apalagi yang haram. Tujuan dari konsep zuhud ini hanya Allâh semata. Apabila seorang zâhid lupa pada Allâh karena dunia, maka hal itu suatu kesalahan besar. Seorang zâhid harus menyerahkan hidupnya hanya pada Allâh. Karena kebersamaan dengan Allâh adalah tujuan hidupnya.

Zuhud adalah meninggalkan kepentingan-kepentingan nafsu dari seluruh bagian yang ada di dunia, sehingga zâhid bisa mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki hanya pada Allâh.

Zuhud Sebagai Akhlak


Dalam menguraikan konsep zuhud sebagai akhlaq al-Qushayrî menulis sebuah ayat al-Qur‟ân surah al-Hashr ayat 9 yang berbunyi:

“Mereka mengutamakan (orang-orang Muhâjirîn) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sangat butuh (apa yang mereka berikan).”

Ayat ini menyiratkan bahwa orang yang mempunyai jiwa zuhud tidak akan merasa kehilangan walaupun harus menafkahkan hartanya yang tersisa untuk orang lain, dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah utama. Ia tidak diperbudak oleh harta dan tidak terikat padanya. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Qushayrî dengan mengatakan hendaknya bagi seorang hamba jangan memilih meninggalkan barang yang halal karena terpaksa, jangan memilih hal yang tidak bermanfaat, dan hendaknya selalu memperhatikan pembagian rezekinya.

Apabila Allâh memberikan rezeki yang halal, hendaknya dia bersyukur, apabila Allâh memberikan rezeki yang cukup, maka jangan memaksakan diri mencari harta yang tidak bermanfaat dengan menghalalkan bermacam cara, oleh karena itu sabar lebih baik untuk orang fakir, sedangkan sukur lebih relevan untuk orang yang mempunyai harta yang halal.

Ayat di atas sarat dengan kehidupan sosial dan gotong royong dan lebih menekankan pada keberlangsungan hidup yang penuh dengan relasi-relasi sosial dan kepentingan masyarakat secara umum, karena pada dasarnya arti zuhud dalam hal ini adalah lebih memperhatikan keseimbangan dan keserasian dalam menjalani kehidupan, dan manusia akan selalu saling membutuhkan agar tercipta kehidupan yang dinamis dan harmonis.

Konsep ini mengajak manusia untuk menatap masa depan bahwa hanya dengan saling melengkapi dan membantu sesamanya keberlangsungan hidup akan terus berjalan.
Al-Qushayrî berusaha mendekontruksi konsep zuhud yang terlihat ekstrem dan menolak dunia menjadi sebuah konsep yang dinamis.

Dalam tataran akhlâq, al-Qushayrî tidak menganjurkan untuk meninggalkan dunia, tapi ia menekankan bagaimana orang yang kaya bisa memanfaatkan hartanya untuk orang lain, dan tidak ada rasa kehilangan apabila harta tersebut bermanfaat bagi orang lain, karena harta yang dimiliki adalah titipan dari Allâh, dan dia tidak tergantung pada harta atau dunia. Kalau dilihat dari ayat di atas pastilah maklum bagaimana orang-orang Ansâr membantu kaum Muhâjirîn dari Makkah yang datang hanya membawa keperluan seadanya.

Al-Qushayrî menukil pendapat Sufyân al-Thawrî bahwa seorang zâhid bukan memakan sesuatu yang keras dan memakai baju yang kasar, tapi lebih bersikap rela terhadap pemberian Allâh dan selalu bersyukur. Seorang zâhid sejati adalah orang yang rendah hati di dunia ini, bersikap mengasihi pada orang lain dan memperhatikan kebutuhan umat Muslim.

Menurut Ahm} ad b. Hanbâl arti zuhud adalah memperkecil cita-cita dan kehendak dari dunia. Ia pun membagi zuhud menjadi tiga, di antaranya:

  • Pertama, meninggalkan hal yang haram. Ini adalah zuhud orang yang awam.
  • Kedua, meninggalkan yang halal. Ini adalah zuhd orang yang istimewa.
  • Ketiga, meninggalkan segala hal yang menyibukkan sehingga jauh dari Allâh. Zuhud model terakhir ini hanya bagi orang yang ma‘rifat.

Al-Qushayrî mengatakan bahwa seseorang bisa menempati kedudukan tawakal dan memakai selendang zuhud apabila ia mampu melatih jiwanya dengan samar. Seandainya Allâh tidak memberinya rezeki selama tiga hari, jiwanya tidak akan menjadi lemah. Jika hal ini tidak dapat dilalui, maka ia tidak berhak untuk duduk di tempat orang zâhid.

Dari konsep yang ditawarkan oleh al-Qushayrî ini dapat dianalisa bahwa konsep zuhd dalam lingkup akhlâq mempunyai makna mendahulukan sikap yang baik, salah satunya mementingkan urusan orang lain. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, maka ia harus mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan.

Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan). Ia tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ia tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. Ia juga tidak mau istirahat dengan enak sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. Ia tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk îthâr (sikap lebih mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îthâr.

Zuhud semacam ini merupakan zuhud yang hakiki, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Ke-zuhd-an semacam inilah yang dimiliki Imâm Alî b. Abî T}âlib. Beliau tidak makan, namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian (bagus-bagus) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain.

Dalam al-Qur‟ân surat al-Insân ayat 8-9 Allâh berfirman:

“Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih.”

Mazhab akhlak yang tidak menganjurkan kezuhudan semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang paling tinggi, untuk itulah tujuan zuhud dalam lingkup akhlaq adalah mempunyai sikap yang peduli pada orang lain. Hal ini juga sesuai dengan ayat al-Qur‟ân yang dinukil oleh al-Qushayrî ketika memulai pembahasan ini.

Dalam konsep yang ditawarkan al-Qushayrî lebih menekankan konsepnya berdasarkan pada ayat al-Qur‟ân dan al-Hadîth Nabi, seakan menunjukan bahwa konsep zuhud yang ditawarkan bukan hanya sebuah konsep yang dijalankan oleh para tokoh sufi sebelumnya, tapi lebih kepada bagaimana seorang Muslim bisa mengaplikasikan nilai- nilai al-Qur‟ân sesuai dengan realitas kehidupan yang diaplikasikan oleh Rasûlullâh. Untuk mendukung konsepnya al-Qushayrî kemudian mengambil beberapa pendapat ulama sufi aliran Sunni terutama ajaran- ajaran yang dikembangkan oleh gurunya Alî al-Daqqâq.

Sumber : Moh. Fudholi, Konsep zuhud al-qushayrî dalam risâlah al-qushayrîyah

Referensi
  1. „Afifî (al), Abû al-Alâ. dalam “pengantar” edisi bahasa Arab buku Nicholson, Fî al-Tasa} wuf al-Islâm wa Târikhihi. Kairo: Lajnah al- Ta‟lif wâ al-Tarjamah wâ al-Nashr, 1969.
  2. „Alî, Muh}ammad b… al-Ta’rîfât. Kairo: Dâr al-Thaqâfah, 1983.
  3. Basûnî, Ibrâhîm. al-Imâm al-Qushayrî: S}irâtu} hu, Athâruhu, Madhhabuhu fî
  4. al-Tasa} wuf. Mesir: Majma‟ al-Buhûth al-Islâmîyah, 1972.
  5. Ghazâlî (al), Abû Hâ} mîd. Mukâshafah al-Qulûb. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. H}afnî (al), A. Mun‟im. Musta} lahâ} t al-S}ûfîyah. Beirut: Dâr al Masirah, t.th. Hasan, A. Hakim. al-Tas}awuf fî Shi’r al-‘Arabî. Mesir: al-Anjlû al-Misriyah, 1954.
  6. Madhkûr, Ibrâhîm. Fî al-Falsafah al-Islâmîyah: Manhâj wa Tatb} îq, Vol. 2. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
  7. Manawi (al), „Abd. al-Raûf. al Kawâkib al-Dhurriyah fî Tarâjim al-Sûfîyah Mesir: Dâr al-Kutub, t.th.
  8. Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
  9. Munawir, A. Warson. al-Munawir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP. al-Munawir, 1984.
  10. Nashshâr (al), „Alî Sâmî. Nash’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, Vol. 3. Beirut: Dâr al-Ma„ârif, 1977.
  11. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
  12. Naysâbûrî (al), „Abd. al-Karîm b. Hawâzin Al-Qushayrî. al-Risâlah al- Qushayrîyah Fî ‘Ilm al-Tasa} wuf. Jakarta: Pustaka Amani, 2007
  13. Rahmat, Jalaluddin. Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan, 1997.
  14. Redaksi, Tim. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Bakhtiar Baru van Houve, 2000.
  15. Sûyûtî (al), Jalâl al-Dîn. al-Jâmi‘ al-Shaghîr, Vol. 1, No. 635. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
  16. Syukur, Amin. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
  17. Tûsî (al), Abû Nahsr. al-Luma’. Mesir: Dâr al-Kutub al-H}adîthah, 1969. Taftâzânî (al), Abû al-Wafâ. Madkhal ilâ Tasa} wuf al-Islami. Mesir: Dâr al- Thaqâfah al-Qâhirah, 1970.
  18. Yassu‟i (al), Louis Ma‟luf. al-Munjid fî al-Lughâh wâ al-Adab. Beirut: Kâtulîkiyah, t.th.
  19. Zaini, Fudholi. Sepintas Sastra Sufi: Tokoh dan Pemikirannya. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan.

Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah.

TINGKATAN ZUHUD

Zuhud itu sendiri, menurut Ibnu Al Qoyyim, terdiri dari empat tingkatan, yaitu :

  • Pertama : Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.

  • Kedua : Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah). Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan, minum, pakaian dan semisalnya.

  • Ketiga : Zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan menuju Allah. Zuhud ini ada dua macam.

    1. Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan menjadi hampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya. Hal ini, seperti keadaan para khulafa’ur rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun kekayaan harta benda ada di tangannya. Begitu pula keadaan manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika dunia ditaklukkan oleh Allah untuk Beliau, malah menjadikan Beliau semakin zuhud terhadap dunia.

    2. Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan zuhud yang terberat.

  • Keempat : Zuhud terhadap perkara syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang belum jelas bagi seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya orang-orang yang wara’ (menjaga kehormatan).