Apa yang dimaksud dengan zakat perdagangan atau zakat tijaroh ?

Zakat

Zakat adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya). Apa yang dimaksud dengan zakat perdagangan atau zakat tijaroh ?

Kata tijarah menunjukkan dua pengertian; Pertama, aktivitas jual-beli (dagang). Kedua, komoditas (barang dagangan). Dalam konteks zakat, yang dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan komoditas bukan aktivitas. Dalam perkataan lain, menzakati mal (barang dagangan) bukan amal (aktivitas dagang).

Imam An-Nawawi mengatakan, “Kekayaan dagang adalah semua yang dimaksudkan untuk diperdagangkan buat pemindahan hak dengan melakukan tukar-menukar barang”

Arti Kata tijarah (perniagaan) secara dalam bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara – yatjuru. Secara bahasa istilah terdapat sebuah perbedaan orientasi(penerimaan).

Karena zakat ini berhubungan dengan barang-barang dagangan (perniagan), maka dalam hal yang mencakup tentang ini bisa mencakup jenis barang apa saja ( yang halal ) selama niatnya untuk di dagangkan, misalkan : barang-barang tidak bergerak semisal rumah, tanah, perabotan, atau jenis peralatan dapur, hewan,mobil,kain dan lain sebagainya yang di perdagangkan.

Hukum mengenai Zakat Tijarah

Kebanyakan para Ulama’ berpendapat wajibnya zakat tijarah, berdasarkan dalil-dalil berikut ini. Firman Allah swt :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”(Al Baqarah 267)

Syarat dan Ketentuan Zakat Tijarah


Yang perlu kita ketahui di dalam hal yang meyangkut zakat tijaroh yaitu adanya beberapa syarat dan ketentuan diantaranya :

  1. Di dalam hal kepemilikan barang harus dengan perbuatannya, yaitu dengan pilihannya sendiri. Maka dalam hal ini tidak termasuk darinya dari penerimaan pemberian atau hadiah dan lain sebagainya yang diluar kehendaknya.

  2. Di dalam memiliki barang dari awalnya sudah diniatkan untuk di perdagangkan(karena niat ada hal yang terpenting di dalam ajaran agama islam ) . Sehingga brang tersebut tidak termasuk bagi yang membeli barang yang dari awal tidak niat ingin di perdagangkan lalu setelah beberapa lama muncul niatan untuk di perdagangkan. Yang seperti ini tidak wajib zakat menurut pendapat yang masyhur dari beberapa madzhab.

  3. Barang tersebut sudah mencapai nishab yaitu setara dengan harga 85 Kg emas.

  4. Sudah berjalan satu haul ( tahun ).

  5. Di keluarkan 2,5 % dari harta yang terkena wajib zakat.

  6. Bisa dikeluarkan dalam bentuk barang dan uang. Tapi di keluarkan dalam bentuk uang, ini pendapat yang masyhur dari Imam As Syafi’iy dan Imam Ahmad, karena di nilai lebih bermanfaat bagi penerima zakat.

Zakat perdagangan atau zakat perniagaan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk jual-beli. Zakat ini dikenakan kepada perniagaan yang diusahakan baik secara perorangan maupun perserikatan.

Hampir seluruh ulama sepakat bahwa perdagangan itu setelah memenuhi syarat tertentu harus dikeluarkan zakatnya. Yang dimaksud harta perdagangan adalah semua harta yang bisa dipindah untuk diperjual belikan dan bisa mendatangkan keuntungan.

Dalam hal ini, Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 267, yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Imam Thabari mengatakan dalam menafsirkan ayat ini bahwa maksud ayat tersebut adalah, “Zakatkanlah sebagian yang baik yang kalian peroleh dengan usaha kalian, baik melalui perdagangan atau pertukangan, yang berupa emas dan perak.” Mujahid dikutip dari sumber yang bermacam-macam mengenai pendapatnya tentang “sebagian yang baik dari hasil usaha yang kalian peroleh,” mengatakan bahwa maksudnya adalah “dari perdagangan.”

Imam Jashash mengatakan dalam Ahkam al-Qur’an, diriwayatkan dari sekelompok ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan “hasil usaha kalian” dalam ayat diatas adalah “hasil perdagangan.” Mereka yang berpendapat demikian itu diantaranya adalah Hasan dan Mujahid. Ayat ini secara umum memperlakukan zakat pada semua jenis kekayaan, oleh karena pengertian “hasil usaha kalian” dalam ayat itu menjangkau semua kekayaan tersebut.

Imam Abu Bakr al-Arabi berkata: “Ulama-ulama kita mengatakan bahwa maksud firman Allah “hasil usaha kalian” itu adalah perdagangan sedangkan yang dimaksud dengan “hasil bumi yang Kami keluarkan untuk kalian” itu adalah tumbuh-tumbuhan.

Berdasarkan pada hal tersebut, jelas bahwa usaha yang dimaksud ada dua macam, yaitu usaha yang bersumber dari perut bumi yaitu tumbuh-tumbuhan dan usaha yang bersumber dari atas bumi seperti perdagangan, peternakan. Allah memerintahkan orang-orang kaya di antara mereka memberi orang-orang miskin sebagian dari hasil usaha mereka tersebut menurut cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Sebagian besar ulama dari sahabat dan tabi’in begitupun para fuqaha mereka berpendapat, tentang wajibnya zakat pada barang-barang perniagaan.

Daruquthni meriwayatkan dari sumber Abu Dzar: “Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda: unta ada sedekahnya, kambing ada sedekahnya dan pakaian juga ada sedekahnya.” Pakaian ( al-Baz ) menurut al-Qamus berarti baju, peralatan rumah tangga, dan sebagainya, yang meliputi kemeja, perabot, peralatan dapur. Tetapi tidak ada seorang pun yang membantah bahwa zakat tidaklah wajib atas barang-barang itu yang dipakai untuk keperluan pribadi dan oleh karena itu hanya wajib zakat atas nilai harganya apabila diinvestasikan dan diperjual belikan.

Kekayaan perdagangan adalah kekayaan yang paling umum sifatnya, oleh karena meliputi semua yang dapat diperjual belikan: hewan, biji-bijian, makanan, buah-buahan, senjata, perkakas rumah tangga dan lain-lain. Oleh karena itu barang-barang tersebut sangat tepat termasuk ke dalam nash-nash yang sifatnya umum, sebagaimana ditegaskan oleh sebagian ulama.

Sedangkan qiyas dan i’tibar menegaskan bahwa barang perdagangan ada zakatnya, sebab barang-barang yang diperjual belikan adalah harta yang dimaksudkan untuk dikembangkan, misalnya dengan orang yang mengembangkan hewan ternak, tanaman, dan uang.

Menurut Ibn Rusyd sebagaimana dikutib Yusuf Qardhawi bahwa dari segi analogi atau qiyas bahwa harta benda yang diperdagangkan adalah kekayaan yang dimaksudkan untuk dikembangkan, karena hal itu sama statusnya dengan tiga jenis kekayaan yang disepakati wajib zakat, yaitu tanaman, ternak, emas, dan perak.

Syarat Zakat Harta Perdagangan

Pada fuqaha mengajukan beberapa syarat wajib untuk zakat harta perdagangan, yaitu:

  • Nishab . Harga harta perdagangan harus telah mencapai nishab emas atau perak yang dibentuk. Harga tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di setiap daerah. Jika suatu suatu daerah tidak tidak memiliki ketentuan harga emas atau perak, harga barang dagangan tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di daerah yang dekat dengan daerah tersebut. Nishab harta perdagangan senilai 85 gram emas. Nishab tersebut dihitung pada akhir tahun.

    Dalam kitab al-Tadzhîb fî Adillat Matan al-Ghâyat wa al- Taqrîb al-Masyhûr bi Matan Abi Syujâ’ fi al-Fiqh al-Syâfi’î telah disebutkan bahwa:

    “Barang-barang dagangan dikalkulasikan pada akhir tahun dengan harga pembeliannya (harga modal). Jika telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5%.

  • Haul. Harga harta perdagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai haul, terhitung sejak dimilikinya harta tersebut.

  • Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.

    Pemilik harta perdagangan harus berniat berdagang ketika membelinya. Adapun jika niat dilakukan setelah harta dimiliki, niatnya harus dilakukan ketika kegiatan perdagangan dimulai.

  • Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran.

  • Harta perdagangan tidak dimaksudkan sebagai “qunyah” (yakni sengaja dimanfaatkan oleh diri sendiri dan tidak diperdagangkan).

Cara Membayar Zakat Harta Perdagangan


Pedagang hendaknya menghitung barang-barang dagangannya pada setiap akhir tahun. Perhitungan tersebut disesuaikan dengan harga barang-barang ketika zakat dikeluarkan, bukan dengan harga pembelian ketika barang-barang tersebut dibeli. Ketika melakukan perhitungan, pedagang tersebut boleh menggabungkan barang-barang dagangan yang ada walaupun jenisnya berbeda.

Seorang pedagang muslim bila sudah sampai pada tempo pengeluaran zakat, maka ia harus menggabungkan seluruh kekayaan, baik yang berupa modal, laba, simpanan dan piutang yang bisa diharapkan kembali, lalu mengosongkan semua dagangannya dan menghitung semua barang ditambah dengan uang yang ada, baik yang digunakan untuk perdagangan maupun yang tidak, ditambah lagi dengan piutang yang diharapkan bisa kembali, kemudian mengeluarkan zakatnya 2,5%. Sedangkan piutangnya yang tidak mungkin kembali, maka piutang tersebut tidak ada zakatnya, sampai orang tersebut menerima piutang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya untuk satu tahun.

Perhitungan = (modal diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) - (hutang+kerugian) x 2,5%

Orang yang memiliki harta-harta dagangan kemudian tiba-tiba ia berhenti mengelolahnya, maka hukumnya adalah hukum bukan harta perdagangan sehingga tidak ada kewajiban untuk dizakati.

Sedangkan barang tijârah yang diambil dari suatu tempat Wawan Shofwan Shalehuddin dalam bukunya Risalah Zakat Infak dan Sedekah menegaskan bahwa yang dimaksud dari barang tijârah yang diambil dari suatu tempat adalah barang-barang yang ada di suatu tempat disebabkan proses alamiah dan pengusaha itu hanya tinggal mengambilnya, lalu menjual apa adanya tanpa mengolah, mengubah atau mencampurnya dengan bahan-bahan lain seperti:

  • Memancingkan ikan di sungai

  • Melaut untuk menangkap ikan

  • Memanen madu di hutan

  • Mengambil marmer, poslen, batu, pasir, baik batu bahan bangunan atau batu-batu perhiasan.

Apabila barang-barang yang telah disebutkan diatas dijual langsung maka wajib mengeluarkan zakatnya 2,5% dari barang tersebut atau dari harga jual barang tersebut atau dengan barang lain yang senilai yang dibutuhkan mustahiq.

Referensi :

  • Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Ibadah, diterjemahkan Abdul Rosyd Shiddiq, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003).
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, diterjemahkan Kamran As’at Irsyady, dkk, Fiqh Ibadah;Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji , (Jakarta: Amzah, 2009).
  • Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Adilatuh, diterjemahkan Agus Effendi dan Bahruddin Fanani, Zakat Kajian Berbagai Madzhab, (Cet. 6; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005).
  • Musthafa Diib al-Bugha, “ al-Tadzhîb fî Adillat Matan al-Ghâyat wa al-Taqrîb al-Masyhûr bi Matan Abi Syujâ fi al-Fiqh al-Syâfi’î” diterjemahkan D.A Pakihsati, Fikih Islam Lengkap;