Apa yang dimaksud dengan zakat madu atau Al-‘Asl ?

Zakat madu

Zakat madu, secara harfiah, adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha peternakan madu. Apa yang dimaksud dengan zakat madu atau Al-‘Asl secara lebih mendalam ?

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” QS. An-Nahl (16): 68-69.

Ayat di atas menggambarkan bahwa madu yang keluar dari perut lebah merupakan anugerah dari Allah swt, yang salah satu fungsinya adalah sebagai obat bagi manusia. Para ulama sepakat bahwa zakat terhadap madu diqiyas-kan dengan zakat terhadap tanaman dan buah-buahan dan juga terbentuk dari intisari tanaman dan bunga-bungaan yang terus menerus tertimbun, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya, seperti halnya biji-bijian dan kurma, karena beban tanggung jawab yang terdapat dalam tanaman dan buah- buahan.

Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman dalam QS. Al- An’am: 141, yaitu:

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”

Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa madu wajib dikeluarkan zakatnya, dengan syarat lebahnya tidak bersarang di tanah kharajiya, karena tanah kharajiya sudah dipungut pajaknya, sesuai dengan ketentuan bahwa dua kewajiban tidak bisa sama-sama terdapat dalam satu kekayaan oleh satu sebab pula. Zakat madu pun wajib, baik tanah tersebut tanah usyriya maupun tidak, begitu pula bila lebahnya bersarang di hutan atau di pegunungan. Sedangkan besar zakatnya sebesar 10%. Imam Ahmad juga sejalan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah. Menurutnya, Umar bin Khattab pun pernah memungut zakat madu.

Golongan Hanafi, begitu juga Ahmad berpendapat bahwa wajib zakat pada madu, karena dia berasal dari sari dan bunga pohon, ditakar serta disimpan. Maka wajib dizakatkan seperti halnya biji dan buah, apalagi ongkosnya lebih ringan dari tanaman dan buah-buahan. Berdasarkan pada logika, hal ini dapat dibenarkan. Sebab, madu terjadi dari intisari tanaman dan bunga-bungaan, yang berarti sama juga dengan buah-buahan, biji-bijian dan tanaman lainnya, yang telah diolah menjadi madu oleh lebah.

Analog madu dengan hasil tanaman dan buah-buahan, yakni setiap penghasilan yang diperoleh dari bumi, dinilai sama dengan penghasilan yang diperoleh dari lebah. Dalam hal ini Yusuf al- Qardhawi berkeyakinan bahwa syari’at tidak membeda-bedakan dua hal yang sama, serta tidak akan mempersamakan dua hal yang berbeda.

Selain pada hal yang telah disebutkan diatas, Syaukani dalam bukunya al-Durar al-Bahiyyah berpendapat seperti hal yang telah disebutkan diatas juga dan mengatakan bahwa “Madu wajib zakat sebesar sepersepuluh.”

Pendapat yang tidak mewajibkan


Imam Syafi’i, Malik Ibn Abi Laila, Hasan Abi Shalih dan Ibn al-Mundziri menyatakan bahwa madu bukan merupakan objek yang harus dikeluarkan zakatnya dengan alasan antara lain:

  1. Keumuman nash yang ada dalam QS. Al-Baqarah: 267.

    “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

  2. Madu merupakan cairan yang keluar dari hewan

    Karena merupakan cairan yang keluar dari hewan, maka sama kedudukannya seperti susu hewan. Sedangkan susu itu sendiri berdasarkan ijma’ ulama tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi jika susu tersebut yang memang sejak awal dipersiapkan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan maka susu tersebut termasuk ke dalam obyek zakat dan obyek zakat tersebut dianalogikan ke dalam zakat perdagangan. Dalam penganalogian ini tentunya sama dengan madu, karena madu sendiri sama kedudukannya dengan susu.

Hanya terdapat ketentuan bahwa bila seorang Imam diberi zakat madu tersebut agar menerimanya, seperti Umar bin al-Khattab menerima dari Abu Uzab. Kemudian ia berkata, “Ketegasannya adalah bahwa tidak membayar zakat madu berarti mengurangi bakti kepada agama, tetapi memungutnya dengan paksa atau tidak, tidak ada dasarnya.”

Mengenai hal ini, madu merupakan cairan yang keluar dari hewan yang dengan demikian sama dengan susu, sedangkan susu disepakati tidak wajib zakat, maka jawaban dari pengarang al-Mughni, yaitu: “susu tidak wajib zakat karena dasarnya, yaitu bahwa peliharaannya, sudah wajib zakat, lain halnya dengan madu.”

Berdasarkan pada kedua perbedaan pendapat di atas, maka K.H. Didin Hafiduddin dalam bukunya Zakat dalam Perekonomian Modern menyatakan bahwa zakat madu dianalogikan pada zakat pertanian, baik dalam nishab-nya, yaitu senilai 653 Kg yang dikeluarkan tiap panen, maupun kadarnya atau persentasenya sebesar 10%. Akan tetapi, jika sejak dari awal diniatkan sebagai komoditas perdagangan, maka menurutnya zakat madu dianalogikan pada zakat perdagangan. Baik nishab-nya, yaitu senilai 85 gram emas, dan persentasenya 2,5%, dikeluarkan satu tahun sekali.

Dalam perspektif perekonomian modern, madu disamping diproduksi secara alami dan individual, kini dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi komoditas perdagangan. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila dilihat dari kajiannya sebagai objek zakat.

Penghitungan Zakat Aktivitas Produksi Madu


Aktivitas produksi madu meliputi:

  • Pembelian Lebah
  • Pengelolaannya di atas lahan pertanian
  • Sarang khusus agar lebah lebih mudah mencari makanannya

Aktivitas ini wajib dizakati, karena merupakan mustaghalat (barang yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan atau pendapatan dari suatu benda) yang berupa kepemilikan lebah dan atau lahannya dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan dan pemasukan berupa madu.

Penghitungan zakat aktivitas ini diatur berdasarkan hal-hal berikut:

  • Harga lebah dan perangkatnya seperti sarang, fasilitas alat, dan perabot serta mobil tidak wajib dizakati, karena ia merupakan harta yang dimiliki yang bukan untuk diperdagangkan (kecuali emas dan perak).

  • Harga produksi madu selama satu haul (setiap panen jika zakat madu termasuk ke dalam komoditas pertanian dan tiap tahun jika zakat madu termasuk ke dalam zakat perdagangan).

  • Harga produksi tersebut dikurangi pembiayaan dan pengeluaran riil, seperti biaya operasional (makanan tambahan lebah, obat-obatan, sewa tempat, pengemasan, dan sebagainya), pajak, retribusi, hutang, biaya hidup (jika produsen tidak memiliki sumber penghasilan lain).

  • Nishab madu diqiyas-kan dengan nishab harta mustaghâlat dan perdagangan yaitu senilai 85 gram emas 24 karat (jika madu termasuk ke dalam komoditas perdagangan) dan senilai 653 Kg padi/gabah atau gandum (jika hanya beternak saja).

  • Kadar zakat madu adalah 10% dari hasil bersih setelah dikurangi biaya operasional dan pengeluaran dalam memproses produksi madu.19 Sedangkan 2,5 % tiap tahun dari penghasilan bersih jika madu termasuk ke dalam komoditas perdagangan.

Nishab Zakat Madu


Tidak ada hadits yang menentukan tentang besarnya nishab madu, oleh karena itu para ulama berbeda-beda pendapat dalam masalah tersebut. Abu Hanifah berpendapat bahwa baik sedikit maupun banyak, zakatnya sepersepuluh, berdasarkan pada landasan biji-bijian dan buah-buahan.

Menurut Abu Yusuf, nishab madu diukur sama dengan nilai lima wasaq gandum yang paling rendah kualitasnya. Bila harganya mencapai nilai tersebut, wajib zakat sebesar sepersepuluh sedangkan bila tidak mencapai nishab maka tidak wajib pula zakatnya. Hal tersebut berdasarkan ketentuan nishab wasaq barang yang tidak bisa ditimbang.

Menurut Yusuf Qardhawi, nishab madu besarnya sama dengan harga lima wasaq (653 Kg atau 50 kail Mesir) makanan pokok tingkat sedang seperti gandum, karena gandum adalah makanan pokok tingkat sedang internasional. Syariat telah menetapkan besar nishab hasil tanaman dan buah-buahan lima wasaq sedangkan madu diqiyas-kan kepada hasil tanaman tersebut, karena itulah dipungut zakatnya sepersepuluh.

Akan tetapi, dalam hal di atas jika zakat madu dianalogikan kepada zakat pertanian. Lain halnya dengan zakat madu jika dianalogikan kepada zakat perdagangan. Jika zakat madu dianalogikan kepada zakat perdagangan, maka besar nishab dari zakat madu sesuai dengan besar nishab pada zakat perdagangan, yaitu senilai 85 gram emas dan nishab tersebut dihitung pada akhir tahun.

Referensi :

  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, diterjemahkan Mahyudin Syaf, Fiqh Sunnah 3, (Cet. 1; Bandung: PT. al-Ma’arif, 1978).
  • Hikmah Kurnia, A. Hidayat, Panduan Pintar Zakat; Harta Berkah, Pahala Bertambah Plus Cara Tepat & Mudah Menghitung Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008).
  • M. Ali Hasan, Zakat dan Infak; Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
  • Fakhruddin, Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia, (Cet.1, UIN Malang Press, Malang, 2008).
  • Wawan Shofwan Shalehuddin, Risalah Zakat, Infak & Sedekah, (Bandung, Tafakur (Kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi berkhitmat untuk umat, 2011).
  • M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa dan Zakat, (Jakarta: Srigunting, 1997).
  • Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002).